Oleh: Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Foto Nisaetus bartelsi. saya menjumpainya pertamakali saat mendapatkan foto ini |
Pada April hingga Nopember angin
timur yang bersifat kering berasal dari udara zona bertekanan tinggi di padang
gurun Australia bergerak menyapu daerah disekitarnya; termasuk Nusa Tenggara, selatan Sulawesi, Jawa hingga
Sumatera bagian selatan. Dampaknya, mempengaruhi vegetasi yang bersifat kering pada
daerah yang di laluinya. Jika kita melakukan perjalanan dari Timor hingga Jawa,
jejak-jejak dampak kekeringan tersebut
dapat kita saksikan. Timor dan pulau-pulau di timur Nusa Tenggara merasakan
dampak yang paling parah, sehingga vegetasi terbentuk di kawasan tersebut berupa
hutan-hutan monsoon bersifat tandus dan kering. Semakin ke barat kondisi vegetasi
perlahan-lahan berubah semakin subur, masing-masing
melewati barat Nusa Tenggara, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sehingga diantara daerah
tersebut, Jawa Barat yang paling subur vegetasinya, karena hanya merasakan
sedikit dampak kekeringan tersebut.
Dengan memiliki vegetasi yang lebih
subur sehingga menyebabkan daerah ini memiliki kekayaaan burung yang lebih
tinggi dari bagian lain di Jawa. Bahkan beberapa diantaranya endemik Jawa Barat,
tercatat 22 jenis. Vegetasi subur ini menjadikan Jawa Barat sebagai “unit
biogeografi” yang memiliki kekayaan endemisitas burung tertinggi di Jawa. Jenis-jenis
tersebut memiliki habitat khusus berupa hutan tropis subur dan basah. Hal ini membuatnya
“enggan” menyebar lebih jauh ke timur Jawa yang bervegetasi kering, merupakan bukan
tipe habitat yang disukai, disamping karena adanya kompetisi.
Dari fakta tersebut sebenarnya
Jawa Barat merupakan kawasan sangat penting dan menarik bagi studi biogeografi,
terutama biogeografi burung-burung di Jawa. Tetapi saat ini perhatian untuk hal
itu belum menarik perhatian para ahli ornitologi maupun ahli biogeografi.
Burung-burung pegunungan bawah
(berketinggian 1500 s/d 2400), merupakan paling menarik diamati dan dipelajari
di Jawa Barat, karena sangat beragam jenis dan tingginya tingkat endemisitasnya.
Gambar 2. Foto areal rawa di Ranca Upas |
Diantara tempat paling favorit
yang saya kunjungi di Jawa Barat adalah hutan Ranca Upas. Daerah ini terletak di pegunungan bawah, diatas
ketinggian 1700 m. Hutannya terhubung dengan kompleks hutan cukup luas di
sekitarnya, sehingga menjadi hamparan hutan yang luas. Karena faktor tersebut menjadi
alasan sehingga hampir setiap minggu saya mengunjungi tempat ini selama kurun waktu Desember 2013 hingga Pebruari
2016, disamping karena lokasinya mudah dijangkau kendaraan dari Kota Bandung,
dan di pinggiran areal hutan tersedia fasilitas sarana yang cukup memadai,
terutama terdapat penjual makanan dan bahan kebutuhan sehari-hari. Bahkan kita
dapat memesan makanan dan minuman diantar ke dalam hutan jika membutuhkan.
Gambar 3. Foto Megalurus palustris sedang mencari kutu di tubuh Rusa |
Saya cukup beruntung dapat
melakukan pengamatan burung di Ranca Upas dengan jangka waktu cukup lama. Dengan
demikian saya dapat melakukan pengamatan dan pengkajian di lapangan mengenai
burung-burung di dataran tinggi Jawa dengan baik, sehingga saya dapat memamahi pengetahuan
mengenai hal itu. Juga penting, dari perjalanan di tempat ini, saya dapat
merasakan langsung perbedaan burung-burung dataran tinggi Jawa dan Sulawesi
pada ketinggian yang sama.
Endemisitas dan jenis terancam
punah
Di Ranca Upas saya berhasil
mengamati 104 jenis burung. Tetapi hasil pengamatan tersebut belum
menggambarkan keseluruhan jumlah jenis burung di Ranca Upas. Beberapa
jenis
yang
dijumpai
pengamat
lain,
tidak saya jumpai.
Gambar 4. Foto Rhipidura phoenicura sedang memberi makan anak Cacomantis variolosus |
Terutama jenis pengunjung dari utara khatulistiwa saat musim
dingin, jenis pengembara (nomadic)
dan jenis yang sangat jarang dijumpai saat ini, tetapi dulu masih mudah
dijumpai. Total saya berhasil mengumpulkan jumlah 112 jenis di Ranca Upas, ditambahkan
dari catatan pengamat lain. Saya yakin jumlah ini akan bertambah, karena
beberapa catatan pengamat lain tidak saya dapatkan.
Gambar 5. Foto Pteruthius flaviscapis jantan |
Diantara avivauna tersebut, 24 jenis
sangat mengagumkan, karena merupakan endemik Jawa, yaitu Arborophila javanica, Nisaetus
bartelsi, Apalharpactes reinwardtii,
Halcyon cyanoventris, Chrysophlegma mentale, Eurylaimus javanicus, Pteruthius flaviscapis, Rhipidura euryura, Rhipidura phoenicura, Ixos
virescens, Phylloscopus grammiceps,
Tesia superciliaris, Psaltria
exilis, Heleia javanica,
Stachyris grammiceps, Stachyris
thoracica, Pellorneum capistratum,
Alcippe pyrrhoptera, Laniellus albonotatus, Cochoa azurea, Eumyias indigo, Brachypteryx Montana,
Chloropsis cochinchinensis dan Aethopyga eximia (MacKinnon, dkk., 1992,
del Hoyo, et al., 2014 dan 2016). Jumlah ini lebih dari 50% total
keseluruhan endemik jenis burung-burung di Jawa.
Gambar 6. Foto Cochoa azurea sedang di sarang |
Tetapi yang sangat membutuhkan
perhatian ada 11 jenis, karena terancam punah. Diantaranya Nisaetus bartelsi yang paling prioritas, karena satu-satunya masuk
kategori kritis (critically endangered). Selanjutnya dua jenis di
kategori rentan (vulnerable), yaitu Apalharpactes reinwardtii dan Cochoa azurea dan delapan jenis dikategorikan
hampir terancam (near threatened), yaitu Chrysophlegma
mentale, Eurylaimus javanicus, Chloropsis cochinchinensis, Pycnonotus
bimaculatus, Phylloscopus grammiceps,
Stachyris grammiceps, Laniellus albonotatus dan Sitta frontalis (del Hoyo, et
al., 2014 dan 2016).
Insectivore
Avivauna Ranca Upas di dominasi
penghuni hutan tropis primer, tercatat 84 jenis diantaranya. Sisanya 18 jenis
hidup di areal terbuka dan pepohonan terbuka, lima jenis terikat areal
berair/rawa dan lima jenis melakukan aktifitas di angkasa (tidak termasuk satu
jenis Sterna sp.).
Gambar 7. Foto Ficedula hyperythra sangat umum dijumpai di Ranca Upas |
Wajar jika burung-burung
penghuni hutan tropis primer paling dominan di tempat ini, karena terdapat hamparan hutan primer cukup
luas, yang tersambung dengan hutan disekitarnya, yang mendominasi vegetasi di
tempat ini. Tetapi walaupun demikian, di beberapa tempat terdapat areal terbuka
yang diselilingi pepohonan, akibat pembukaan hutan di konversi menjadi lahan
budidaya, yang mengundang datangnya jenis menyukai areal terbuka, serta pepohonan
terbuka dan areal berair dan berawa cukup luas. Areal rawa dijumpa sebelum
memasuki hutan primer, yang dihuni lima jenis terikat hidupnya dengan areal
berair atau rawa.
Gambar 8. Foto Alcippe pyrrhoptera sering dijumpai membentuk kelompok antar jenis dengan burung insectivore lain |
Diantara semua penghuni hutan
tropis primer, saya sangat mengagumi jenis-jenis insectivore. Jenis-jenis
insectivore sangat dominan di hutan ini, terdapat 58 jenis. Sisanya 26 jenis
terdiri dari frugivore tujuh jenis, insectivore dua jenis, memakan mamalia/reptilia 18 jenis, dan memakan
katak dan ikan satu jenis.
Gambar 9. Foto Culicicapa ceylonensis |
Insectivore yang paling
menonjol dari family Timaliidae, yaitu Stachyris
grammiceps, Stachyris thoracica, Cyanoderma melanothorax dan Pellorneum capistratum. Dari family Pellorneidae, yaitu Malacocincla sepiaria dan Napothera epilepidota. Dari family Leiotrichidae, yaitu Alcippe pyrrhoptera dan Laniellus albonotatus. Ketiga family ini
mungkin masih berkerabat dekat, dulu bahkan dimasukan dalam satu family
Timaliidae. Anggotanya, kecuali Laniellus albonotatus adalah penghuni
strata semak, walaupun kadang mengunjungi strata tajuk bawah hutan.
Gambar 10. Foto Pnoepyga pusilla suka menumpuk makanan di paruhnya |
Jenis-jenis tersebut mudah
dikenali saat mengunjungi hutan ini. Jika kita bermalam di dalam hutan, saat subuh
suara Malacocincla sepiaria lebih
awal memecahkan suara alam pada hampir di semua sudut hutan. Terdengar ramai
dan ribut. Suaranya tetap terdengar di semua tempat saat kita melakukan
perjalanan menjelajahi hutan hingga pagi hari. Suaranya merupakan suara penciri
hutan setelah subuh hingga pagi hari. Walaupun suaranya sering terdengar,
tetapi sangat sulit melihatnya langsung.
Saat menelusuri hutan akan
mudah menjumpai jenis-jenis ketiga family tersebut, berburu serangga
berkelompok kecil di semak-semak rapat, terutama Cyanoderma melanothorax dan
Alcippe pyrrhoptera. Alcippe pyrrhoptera kadang naik berburu ke strata tajuk
bawah saat mengikuti kawanan burung insectivore lain.
Gambar 11. Foto Tesia superciliaris. Endemik pegunungan Jawa Barat dan Tengah |
Sebenarnya cukup banyak jenis insectivore
lain yang melakukan aktifitas di strata semak dan lantai hutan dari family Scotocercinae, Turdidae dan muscicapidae, tetapi berikutnya saya
hanya membahas lima jenis yang saya kagumi, yaitu Pnoepyga pusilla, Tesia
superciliaris, Brachypteryx leucophrys, Brachypteryx montana dan Myiomela diana. Pnoepyga pusilla merupakan terrestrial mungil, jarang terlihat,
tetapi suaranya umum terdengar. Sangat menarik aktifitasnya saat berburu makanan,
sambil berburu ia akan menumpukkan makananya berupa serangga, cacing dan
anthropoda lain di mulut. Mirip tingkah laku memakan Pitta. Warnanya tubuhnya
yang mirip serasah akan membuatnya sulit terlihat saat diam di lantai hutan.
Demikian juga Tesia superciliaris, merupakan
terrestrial mungil, tetapi sering menaiki semak hingga setinggi dua meter. Walaupun
lebih sering terdengar suaranya daripada terlihat langsung, tetapi lebih
familiar dari Pnoepyga pusilla.
Burung ini merupakan endemik dataran tinggi hutan primer Jawa Barat dan Jawa
Tengah, tetapi populasi di Jawa Tengah sedikit dibanding di Jawa Barat.
Gambar 12. Foto Cinclidium diana. Penghuni strata semak agak familiar pada manusia |
Dua jenis terrestrial sejati
lainnya; Brachypteryx leucophrys dan Brachypteryx montana juga menarik. Diantara
keduanya, Brachypteryx montana paling
favorit bagi pengamat dan fotografer burung, karena sangat jarang dijumpai
serta statusnya merupakan endemik pegunungan Jawa. Sebelumnya bersama dengan Brachypteryx erythrogyna (Kalimantan) dan
Brachypteryx saturata (Sumatera) dimasukkan dalam satu jenis, tetapi
baru-baru ini terpisah masing-masing menjadi jenis tersendiri. Di Ranca Upas
sangat jarang dijumpai. Saya hanya pernah mendengar sekali suaranya di tempat
ini. Para fotografer sangat menginginkan bisa memotretnya. Kondisi ini bertolak
belakang dengan Brachypteryx leucophrys. Jenis
ini umum terdapat di Ranca Upas, tetapi sebagaimana karakter jenis terrestrial lebih
sering terdengar suaranya.
Mungkin keduanya telah
berkompetisi memperebutkan sumberdaya ekslusif di tempat-tempat yang lebih
rendah, dan Brachypteryx montana kurang
kompetitif sehingga populasinya sedikit, sementara Brachypteryx leucophrys lebih kompetitif sehingga populasinya
banyak. Mungkin karena kalah berkompetisi sehingga Brachypteryx montana terdesak hidup di tempat-tempat lebih tinggi,
diatas tempat penyebaran Brachypteryx
leucophrys, atau hidup bersama dengan populasi sedikit. Menurut MacKinnon et al. (1992), di Jawa Brachypteryx leucophrys dijumpai dari
ketinggi 900 m hingga 1.900 m sedangkan Brachypteryx
montana di ketinggian 1.500 m. Tetapi dua jenis allopatrik Brachypteryx montana di Kalimatan dan
Sumatera dijumpai di ketinggian 1.400 – 3.000 m. Hal ini dapat menggambarkan penyebaran Brachypteryx montana aslinya
diatas ketinggian Brachypteryx
leucophrys.
Dalam teori ekologi dua jenis burung
dalam satu marga yang menghuni tempat yang sama akan berkompetisi ketat dalam
memperebutkan sumberdaya. Karena jenis-jenis tersebut memiliki lebih spesifik kebutuhan
sumberdaya yang sama. Dan dari beberapa penelitian dan pengamatan, jenis yang
kalah berkompetisi akan terdesak hidup ke tempat yang lebih tinggi,
meninggalkan sumberdaya ekslusif di tempat-tempat yang lebih rendah. Fenomena
ini nampaknya terjadi pada kedua jenis Brachypteryx.
Penghuni strata semak lainya
adalah Myiomela diana. Juga agak
jarang dijumpai di Ranca Upas. Tetapi secara keselurahan di dataran tinggi Jawa
Barat umum dijumpai. Selama mengunjungi hutan Ranca Upas, saya baru menjumpai
relatif belum lama. Tahun kedua sejak saya mengunjungi hutan ini. Mungkin
merupakan pengembara (nomadic) lokal. Umumnya hidup soliter di semak-semak
rendah dekat lantai hutan, kadang turun ke lantai hutan berburu serangga. Tidak
sama dengan penghuni strata semak lain yang liar saat melakukan kontak dengan
manusia, jenis ini lebih familiar didekati, sehingga lebih mudah di potret.
Gambar 13. Foto Phylloscopus grammiceps |
Jenis lain mengagumkan yang
aktif di lantai hutan dan strata semak adalah Myophonus glaucinus. Endemik Jawa dan Bali. Warnya biru kehitaman cukup indah dan menyolok terlihat, tetapi kehadirannya
lebih sering ditandai dengan suaranya yang hiruk pikuk. Sejatinya merupakan
pemakan serangga dan anthropoda lain. Tetapi yang mengejutkan pada 21 Desember
2014 saya menjumpai sedang memangsa seekor ular berukuran kecil di Gunung
Merapi, Yogyakarta. Selain melakukan aktifitas di lantai hutan dan strata semak,
juga kadang mengunjungi strata tajuk bawah, terutama jika terganggu.
Beberapa jenis lain yang
melakukan aktifitas di strata tajuk bawah juga sering berburu serangga di
strata semak. Diantaranya yang menarik adalah Phylloscopus grammiceps dan
Phyllergates cuculatus. Phylloscopus grammiceps, endemik pegunungan Jawa. Mungkin jenis ini merupakan keluarga
cikrak yang paling cantik di Sunda Besar. Umum dijumpai berbaur dengan burung
insectivore lain. Burung ini cukup umum dijumpai. Phyllergates cuculatus, di Ranca Upas jarang dijumpai. Tetapi kadang
terlihat diam-diam berburu serangga di strata semak dan strata tajuk bawah rapat
soliter atau bercampur dengan jenis insectivore lain.
Jenis insectivore di strata tajuk
bawah cukup banyak, mungkin lebih banyak jenisnya dibanding yang terdapat strata
semak. Di strata ini, selain Apalharpactes
reinwardtii, yang paling menarik adalah dua jenis kipasan; Rhipidura euryura dan Rhipidura phoenicura. Keduanya endemik
pegunungan Jawa. Walaupun Rhipidura
euryura di Jawa umum secara lokal, tetapi di Ranca Upas sangat jarang
dijumpai. Saya hanya sekali mendengar suaranya di hutan Patenggang, dekat Ranca
Upas. Di tempat ini jarang dijumpai Rhipidura
phoenicura. Rhipidura phoenicura umum dijumpai Di Ranca Upas dan sekitarnya,
sementara Rhipidura euryura tidak
pernah dijumpai. Hal ini menggambarkan telah terjadi kompetisi antara keduanya,
dan Rhipidura phoenicura lebih
kompetitif sehingga populasinya lebih banyak. Mungkin kondisi ini dapat menggambarkan
bagaimana terjadinya asosiasi intraspesifik antara keduanya di seluruh tempat
penyebarannya di Jawa.
Gambar 14. Foto Eumyias indigo. Endemik Jawa umum dijumpai di Ranca Upas |
Anggota family Picidae (pelatuk)
juga menarik. Tercatat ada empat jenis di tempat ini: Chrysocolaptes validus, Chrysophlegma miniaceum, Chrysophlegma mentale dan Picus puniceus. Chrysophlegma mentale merupakan endemik Jawa. Keseluruhan anggota
family ini tidak umum dijumpai, mungkin karena merupakan pengembara lokal. Hal
ini menyebabkan keempatnya sangat didambakan pengamat dan fotografer alam liar
menjumpainya. Umumnya soliter atau dalam satu kelompok keluarga mencari makan
dibatang-batang dan dahan-dahan pohon. Tetapi sering berbaur dengan kawanan
antar-jenis burung insectivore.
Jenis pengembara lokal lain
dari keluarga sepah dan kepudangsungu (family Champephagidae). Juga ada empat
jenis, tetapi hanya Pericrocotus miniatus
penetap, sehingga umum dijumpai setiap berkunjung ke hutan ini. Endemik
pegunungan Jawa dan Sumatera ini umumnya berkelompok besar, kadang kecil
mengunjungi tajuk pepohonanan berburu serangga. Tiga lainnya adalah jenis kepudangsungu
(Coracina spp.), jarang dijumpai.
Mungkin karena merupakan pengembara lokal. Ketiganya lebih sering dijumpai
soliter atau berpasangan.
Empat jenis insectivore lain
penghuni strata tajuk bawah yang juga menarik adalah Eurylaimus javanicus, Pteruthius flaviscapis, Laniellus albonotatus, dan
Cochoa azurea. Eurylaimus javanicus
merupakan endemik Jawa yang langka. Statusnya dikategorikan terancam (near threatened) oleh IUCN. Di Ranca
Upas tidak umum. Suaranya sering terdengar, tetapi sulit terlihat langsung, karena
sering bertengger diam-diam di dalam tajuk agak rapat. Pteruthius flaviscapis anggota family Vireonidae, merupakan endemik
dataran tinggi Jawa. Umum dijumpai dan familiar dengan kehadiran manusia.
Kadang dijumpai berburu serangga di strata semak dan strata tajuk bawah. Tetapi
bersarang di strata semak. Jantan sangat cantik dengan adanya bulu tarsier coklat
berangan keemasan, sehingga para fotografer selalu ingin memotretnya dari
samping untuk menonjolkan warna tersebut.
Laniellus albonotatus merupakan endemik Jawa termasuk langka. Statusnya
dikategorikan terancam (near threatened)
oleh IUCN. Di Ranca Upas tidak umum di jumpai. Menariknya kerabat dekatnya (allopatrik)
terdapat di Vietnam (L. langbianis). Dulu
keduanya dianggap satu jenis, tetapi belum lama terpisah masing-masing menjadi
jenis tersendiri. Kedua jenis berkerabat ini dipisahkan kawasan yang sangat
jauh, melewati Sumatera, Kalimatan, dan Semenanjung Malaysia. Bagaimana jenis ini
bisa tersebar dari Vietnam ke Jawa atau sebaliknya? Fenomena seperti ini banyak
terjadi pada jenis burung di Jawa, termasuk beberapa jenis terdapat di Ranca
Upas. Mungkin yang paling terkenal penyebaran Pavo muticus di Jawa. Populasi terdekatnya di Vietnam, Kamboja dan
Thailand, sementara di Sumatera dan Kalimatan saat ini tidak tercatat.
Gambar 15. Foto Sitta frontalis. Jenis paling sering berbaur dengan burung insectivore saat berburu serangga |
Walaupun jenis ini penghuni strata
tajuk bawah tetapi kerabatnya hampir seluruhnya penghuni lantai hutan dan strata
semak, tergabung dalam family Leiotrichidae, mencakup juga Alcippe pyrrhoptera.
Demikian juga Cochoa azurea, sama seperti Laniellus albonotatus juga penghuni strata
tajuk bawah, hingga strata tajuk atas, tetapi kerabatanya lebih banyak
melakukan aktifitas dilantai hutan dan strata
semak, yang tergabung bersama berbagai jenis anis dalam family Turdidae.
Merupakan endemik Jawa yang langka. Statusnya dikategorikan rentan (vulnerable) oleh IUCN.
Masih banyak jenis lain
penghuni strata tajuk bawah anggota family Vireonidae, Vangidae, Dicruridae,
Stenostiridae, Phylloscopidae, Zosteropidae, Sittidae, Muscicapidae. Anggotanya
masing-masing hanya satu atau dua jenis saja, kecuali Muscicapidae beranggotakan
cukup banyak.
Masalah menarik pada jenis
insectivore yang saya rasakan adalah mengenai status kangkok (Cuculus) di Ranca
Upas. Cuculus saturatus dipastikan
secara rutin mengunjungi Ranca Upas saat musim dingin di utara khatulistiwa.
Tetapi saya yakin selain Cuculus saturatus
juga terdapat Cuculus lepidus, penetap
di Jawa. Memang sepintas morfologi dan suaranya mirip, sehingga para pengamat
yang tidak jeli mengamati akan mengabaikan kehadirannya. Cuculus sturatus saat berkunjung biasanya jarang bersuara. Saya
mendengar suara Cuculus sepanjang tahun di Ranca Upas, dengan demikian
kemungkinan besar jenis ini terdapat di tempat ini.
Baiknya dilakukan pengamatan status
burung ini dengan mengidentifikasi suaranya lebih teliti. Saya mendeskripsikan
beberapa suara keduanya dan terdapat perbedaan diantara keduanya. Suara Cuculus lepidus berupa --pupuuu--
atau --te-pupuuu--, dua atau tiga nada, sedang C.
saturatus optatus diawali --pupupupupuupp--, dilanjutkan --pupuup--,
bersambung dan lama, diulang setiap 1 menit dan C. saturatus saturatus; --te-pupupuuu---, empat nada, nada terakhir
panjang. Jika akan
melakukan pengamatan khusus keberadaan Cuculus lepidus di Ranca Upas,
baiknya mempelajari suara kedua jenis ini, lalu membandingkannya di lapangan.
Saat mengamati kehidupan burung insectivore di
Ranca Upas, saya sangat mengagumi kehidupan berkelompok antar-jenis burung
insectivore saat berburu serangga. Setiap saya mengunjungi Ranca Upas saya
menjumpai tiga hingga lima kali terbentuk kelompok antar-jenis. Saya telah
mencatat jenis-jenis yang terlibat dalam beberapa kali peristiwa terbentuknya
kelompok antar-jenis. Saya belum mendapatkan hasil penelitian atau pengamatan
terjadinya interaksi ini di Jawa. Mungkin pernah dilakukan tetapi literaturnya belum
saya didapatkan. Di hutan-hutan dataran tinggi Sulawesi pada 1979 Watling telah
mencatat interaksi ini dengan baik (Whitten, A.J., dkk. 1987). Metode digunakan watling kemudian saya gunakan
untuk mengamati peristiwa tersebut di beberapa tempat di Sulawesi dan di Jawa. Watling membagi jenis-jenis yang terlibat
dalam kelompok antar jenis tiga kelompok, yaitu jenis inti, jenis
yang seringkali ikut serta dan jenis yang kadang saja ikut serta.
Gambar 16. Foto Dicrurus leucophaeus. Kadang berbaur dengan kelompok antar-jenis burung insectivore saat berburu serangga |
Sebagaimana di Sulawesi, di Ranca Upas
terjadinya proses pembentukan kelompok antar-jenis juga mencakup tiga kelompok
tersebut. Jenis inti umumnya termasuk jenis yang hidup berkelompok, ukurannya tidak
terlalu besar dan rajin memasuki relung-relung tajuk dan semak rapat, misalnya
Pericrocotus miniatus, Alcippe pyrrhoptera dan Sitta azurea, sedangkan jenis yang seringkali ikut serta
dan jenis yang kadang saja ikut serta
adalah umumnya soliter atau tidak selalu hidup berkelompok, ukuran agak besar, tidak
terlalu aktif memasuki relung tajuk dan semak, terutama tajuk dan semak rapat,
seperti Hemipus hirundinaceus, Rhipidura phoenicura, Culicicapa ceylonensis, Phylloscopus trivirgatus, Cyornis unicolor dan Ficedula westermanni. Tetapi
jenis yang kadang saja ikut serta,
jarang berbaur, karena umumnya adalah merupakan pengembara, seperti berbagai
jenis pelatuk dan kepudangsungu, kecuali Dicrurus leucophaeus penetap umum di Ranca Upas, tetapi masuk kategori
ini. (Mengenai hal ini akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri).
Frugivore, nectarivore,
nocturnal dan jenis lain
Cukup
mengherankan bagi saya, sangat sedikit menjumpai frugivore di Ranca Upas. Tercatat
hanya tujuh jenis (Arborophila javanica,
Trerons sp.?, Psilopogon armilllaris, Loriculus
pusillus, Oriolus chinensis, Ixos virescens dan Pycnonotus bimaculatus). Dan, diantaranya hanya Arborophila javanica dan Psilopogon armilllaris yang sering
dijumpai dan mungkin penetap. Sebenarnya Arborophila
javanica bukanlah murni frugivore, karena bisa juga dikategorikan omnivore.
Sementaranya jenis lain jarang dijumpai. Mungkin jenis-jenis jarang dijumpai merupakan
pengembara lokal mencari tumbuhan berbuah. Selama mengunjungi hutan ini masing-masing
saya hanya sekali menjumpai Trerons sp.?,
Loriculus pusillus, Oriolus chinensis, Ixos
virescens dan Pycnonotus bimaculatus.
Sebagian besar hanya berhasil mendengar suaranya.
Gambar 17. Psilopogon armilarris. Frugivore umum dijumpai di Ranca Upas |
Awal saya mulai
memasuki hutan Ranca Upas, dibenak saya akan menjumpai banyak jenis merpati
hutan, terutama dari marga Treron. Tetapi setelah enam bulan berlalu, saya
menyadari sangat sulit menjumpai jenis frugivore, terutama merpati hutan. Timbulnya
keinginan dalam benak tersebut, mungkin karena saya masih terbawa suasana saat menjelajahi
hutan-hutan Sulawesi pada ketinggian
yang sama. Di Sulawesi jenis frugivore dataran tinggi cukup banyak jenisnya
saya jumpai, populasinya cukup tinggi. Mungkin jenis frugivore dataran tinggi
Sulawesi lebih kaya dari pada di Jawa. Sebagai perbandingan di Gunung
Rorekatimbu pada ketinggian sama saya menjumpai 13 jenis frugivore, tujuh jenis
diantaranya merupakan keluarga merpati
(Columbidae), dan hampir semuanya umum dijumpai.
Sepertinya
jenis frugivore merupakan penghuni jarang di Ranca Upas. Mungkin hal ini dapat
menggambarkan kondisi jenis frugivore di seluruh dataran tinggi Jawa. Jika ada
perbedaan di tempat lain, hanya sedikit bergeser dari kondisi di Ranca Upas,
terutama pada kompisisi jenis dan populasi jenis tertentu.
Jenis nectarivore
hanya dijumpai dua jenis: Arachnothera
longirostris dan Aethopyga eximia. Jenis
disebut terakhir endemik pegunungan Jawa, hidup diatas ketinggian 1.200 m.
Keduanya umum dijumpai, terutama saat mengunjungi tumbuhan berbunga, tetapi
kadang juga memakan serangga. Khusus Arachnothera
longirostris juga memakan laba-laba. Keduanya soliter atau kadang
berpasangan aktif di strata tajuk bawah dan strata semak. Arachnothera
longirostris sering mengisap bunga pisang hutan (Musa sp.), sedangkan Aethopyga
eximia sering juga mengunjungi tumbuhan merambat atau liana berbunga,
selain tumbuhan pohon berbunga.
Gambar 18. Foto Batrachostomus javensis. Nocturnal tidak umum di Ranca Upas |
Di Ranca Upas
tercatat enam jenis nocturnal (Batrachostomus
javensis, Phodilus badius, Otus
lempiji, Bubo sumatranus, Ketupa
ketupu dan Caprimulgus pulchellus).
Ada dua jenis yang menarik, yaitu Batrachostomus javensis dan Caprimulgus pulchellus. Batrachostomus
javensis merupakan nocturnal insectivore penghuni strata semak. Di Ranca Upas jarang dijumpai, mungkin
karena tubuhnya sering tersamar dedaunan dan ranting kering sehingga sulit
terlihat. Untuk menandai kehadirannya lebih mudah mendengar suaranya. Para
pengamat burung dan fotografer sangat memfavoritkan burung ini. Caprimulgus
pulchellus, lebih jarang lagi dijumpai. Hanya sekali teridentifikasi di
Ranca Upas. Sejak penemuan tersebut saya sangat antusias ingin bertemu. Tetapi
tidak berhasil. Merupakan endemik
Sumatera dan Jawa. Di seluruh tempat penyebarannya memang jarang dijumpai. Hal
ini menyebabkan IUCN memasukannya termasuk jenis burung terancam punah kategori
terancam (near threatened).
Walaupun Otus angelinae belum tercatat, saya
menduga terdapat di Ranca Upas. Mungkin sering terlewati saat pengamatan.
Ditambah lagi selama ini para pengamat jarang melakukan kegiatannya pada malam
hari. Merupakan endemik pegunungan Jawa yang jarang tercatat, sehingga sedikit
diketahui. Selama ini hanya tercatat di Gunung Salak, Gunung Pangrango, Gunung
Tangkuban Perahu, Gunung Ciremai dan dataran Tinggi Ijen. Umumnya dapat teridentifikasi
setelah tertangkap jala kabut. Hal ini mengindikasikan jenis ini sering
terlewati saat pengamatan. IUCN memasukan jenis ini terancam punah kategori
rentan (vulnerable).
Status Bubo sumatranus baiknya dilakukan pengamatan
lebih lanjut untuk memastikan keberadaannya
di Ranca Upas, karena statusnya tercatat hanya berdasarkan suara sekali saya
dengar.
Walaupun terdapat
areal rawa cukup luas, tetapi jenis burung rawa sedikit dijumpai. Hal ini
disebabkan di Jawa dan tempat lain di Indonesia burung rawa lebih banyak tersebar
di dataran rendah. Di dataran tinggi hanya dijumpa jenis tertentu saja. Tidak
ada yang menarik burung rawa di Ranca Upas, tetapi yang membutuhkan perhatian
di kalangan pengamat dan fotografer adalah kesulitan mengidentifikasi berkik
(Gallinago). Setiap berjumpa dengan berkik pasti ada keraguan untuk menentukan
jenisnya. Memang diantara jenis berkik di Indonesia ciri morfologi, suara dan
tingkah laku hampir sama, sehingga sulit diidentifikasi. Di Ranca Upas diyakini
terdapat Gallingo stenura dan Gallinago megala. Diantara keduanya
sulit dibedakan di lapangan.
Gambar 19. Foto Gallinago stenura. Sangat sulit membedakannya dengan G. megala saat tidak tertangkap |
Para ahli dapat
membedakannya dengan melihat ciri morfologis pada bagian ekor. Tetapi hal itu
sulit dilakukan kecuali menangkapnya. Mungkin cara mudah membedakannya di
lapangan dengan melihat kaki yang menjulur di ujung ekor dan suaranya. G. stenura, ukuran ekor lebih pendek dari G. megala)
dan ekor sedikit melampaui ujung lipatan sayap (G. megala lebih panjang
melampaui), saat terbang kaki G. stenura menjulur lebih panjang di ujung
ekor (G. megala sedikit menjulur). Saya mengumpulkan beberapa macam
suara keduanya, dan ternyata ada perbedaannya.
G. megala bersuara --ceek--,
diulang setiap 2 detik nada pertama, kedua
dan ketiga, 3 detik nada keempat (saat terbang). Sedangkan G. stenura bersuara setiap 1
detik (waktunya tetap stabil dari nada pertama sampai nada terakhir).
Mungkin di Ranca
Upas juga terdapat Gallinago gallinago, tetapi untuk mamastikannya
membutuhkan pengamatan lebih lanjut. Tetapi secara keseluruhan status berkik (Gallinago)
di tempat ini perlu dilakukan pengamatan khusus. Studi ini bukan hanya berguna untuk
memahami keberadaan keduanya di Ranca Upas, tetapi juga di tempat lain di Jawa.
Jenis raptor
dan penghuni angkasa (walet, layang-layang dan kekep buah) tidak ada yang
istimewa, kecuali hanya satu, yaitu keberadaan
Nisaetus bartelsi. Khusus Nisaetus bartelsi akan saya uraikan
secara khusus bersama Apalharpactes
reinwardtii.
Nisaetus bartelsi dan Apalharpactes reinwardtii yang
mengagumkan
Diantaranya avivauna Ranca Upas
yang paling saya kagumi adalah Nisaetus
bartelsi dan Apalharpactes
reinwardtii. Saat pertama menginjakkan kaki di Jawa saya mempunyai obsesi
bertemu Nisaetus bartelsi. Saya harus
bersabar menunggu selama dua tahun enam bulan tinggal di Jawa sebelum bertemu
pertama kali di Ranca Upas.
Burung ini bisa dikatakan ikon
avivauna Jawa. Selain karena menjadi lambang negara kita dan posturnya yang
gagah sehingga membuatnya terkenal, juga karena sangat terancam punah, sehingga
menjadi perhatian utama penggiat konservasi burung dunia. Memang burung ini
sangat sulit dijumpai sekarang, karena diseluruh tempat penyebarannya populasinya
tinggal sedikit, akibat perburuan untuk tujuan perdagangan dan habitatnya
semakin berkurang.
Saya mempunyai obsesi ingin
menjumpai Apalharpactes reinwardtii,
setelah mendengar kecantikan burung ini, dari ceritera teman-teman di Bandung
saat hunting di Ranca Upas. Walaupun Ranca Upas merupakan tempat penyebarannya,
tetapi saya harus bersabar hampir dua tahun menjelajahi rutin hutan ini sebelum
berhasil menjumpainya. Menurut saya burung ini merupakan “burung bidadari” di
hutan-hutan dataran tinggi Jawa Barat dan barat Jawa Tengah. Diantara
teman-teman pengamat dan fotografer alam liar, jenis ini lebih terkenal dibanding
jenis-jenis lain di Jawa Barat.
Gambar 20. Foto Apalharpactes reindwardtii |
Selain kecantikannya, saya juga
mengaguminya karena “keanehan penyebarannya”, yang merupakan kajian biogeografi
yang menarik. Penyebarannya hanya terbatas di Jawa Barat ketinggian 900 – 2.500
m dan 1.400 m barat Jawa Tengah (Gunung Slamet). Saat draff tulisan ini hampir
rampung, saya mendapat postingan foto penemuan burung ini di Gunung Slamet, sehingga
saya menambahkan penyebarannya ke barat Jawa Tengah (Gunung Slamet), setelah
sebelumnya saya hanya mencantumkan penyebarannya di Jawa Barat. Di luar Jawa
Barat Ari Hidayat pertama kali menjumpai dan memotretnya pada 4 Agustus 2015 di
Gunung Slamet. Timbul pertanyaan kenapa jenis ini tidak tersebar lebih luas
ke timur Jawa? Mungkin ada dua faktor paling berperan, yaitu karena jenis ini memiliki
habitat khusus atau berkompetisi dengan Harpactes
oreskions.
“Keanehan penyebaran” ini
sebenarnya juga mencakup secara kolektif beberapa jenis burung lain. Seperti
sudah saya singgung dari awal, pada vegetasi subur dan basah, terutama hutan
tropis primer di Jawa Barat terdapat 22 jenis endemik kawasan ini, yaitu Trerons olax, Ducula badia, Ramphiculus
jambu?, Aerodramus vulcanorum, Aerodramus maximus, Psilopogon pyrolophus,
Psilopogon curvinus, Chrysocolaptes guttacristatus, Meiglyptes tristis,
Mulleripicus pulverulentus, Loriculus galgulus (introd?), Pitta sordida,
Dicrurus remifer, Cissa thalassina, Pycnonotus zeylanicus (punah), Stachyris
grammiceps, Acridotheres melanopterus, Arachnothera chrysogenys, Leptocoma
brasiliana, Ploceus hypoxanthus dan
Lonchura leucogastra. Dan bersama Apalharpactes reinwardtii juga terdapat sebelas jenis selain terdapat di Jawa Barat
juga tersebar di Jawa Tengah, terutama bagian
barat Jawa Tengah, yaitu: Hemicircus
concretus, Micropternus bracryurus, Lalage nigra, Tesia superciliaris, Psaltria exilis, Malacopteron cinereum, Alcippe
pyrrhoptera, Laniellus albonotatus, Garrulax rufifrons, Cochoa azurea dan
Myiomela Diana (MacKinnon, dkk., 1992, del Hoyo, et al., 2014 dan 2016). Umumnya keduabelas jenis tersebut (termasuk Apalharpactes reinwardtii) populasinya
meningkat di Jawa Barat, tetapi semakin ke timur hingga batas penyebarannya di
Jawa Tengah menurun, hingga sampai sangat jarang dijumpai.
Fenomena ini menggambarkan
bahwa jenis-jenis tersebut mempunyai habitat
khusus di Jawa Barat. Mungkin vegetasi di Jawa Barat, terutama hutan
yang lebih subur dan basah sangat cocok menjadi habitatnya. Dua belas jenis ini
juga merupakan jenis bagian dari “unit beiogeografi” Jawa Barat, yang
penyebarannya melebar ke kawasan Jawa Tengah, karena habitatnya masih mirip
seperti di Jawa Barat, tetapi lebih kering. Sementara vegetasi hutan kering lebih
ke timur tidak cocok menjadi habitatnya.
Walaupun demikian faktor-faktor
lain juga mempengaruhi penyebarannya seperti adanya kompetisi tidak bisa
diabaikan. Fenomena terebut juga dapat menjelaskan penyebaran Apalharpactes reinwardtii. Hal ini
diperkuat fakta bahwa Apalharpactes
mackloti, allopatric Apalharpactes
reinwardtii, juga dijumpai pada hutan-hutan pegunungan tropis subur dan
basah ketinggian 700-2300 m pegunungan bukit Barisan, Sumatera. Nampak keduanya
hidup pada vegetasi lebih subur dan basah di dataran tinggi.
Gambar 21. Foto Harpactes oreskios. Saya mengamati di Taman Buru G. Masigit Kareumbi cukup umum di bawah ketinggian 1.000m. |
Tetapi walaupun demikian tidak
bisa dipungkiri penyebaran Apalharpactes
reinwardtii juga dipengaruhi oleh Harpactes
oreskions, karena keduanya masih satu marga, pasti membutuhkan kesamaan
sumberdaya yang spesifik, yang menyebabkan terjadi kompetisi keduanya. Di Ranca Upas Apalharpactes mackloti sangat jarang dijumpai dibanding Apalharpactes reinwardtii, tetapi di tempat-tempat
lebih rendah ketinggiannya seperti Taman Buru Gunung Masigit, Kareumbi tidak
dijumpai Apalharpactes reinwardtii, populasi
Harpactes oreskions meningkat. Hal
ini mengindikasikan keduanya teleh berkompetisi. Mungkin populasi Harpactes oreskions lebih meningkat di
bagian tengah dan timur Jawa, kawasan sedikit populasi atau tidak terdapat Apalharpactes reinwardtii.
Kelestarian
Kebahagiaan saya melihat
kekayaan burung Ranca Upas berubah miris setelah melihat kondisi kelestariannya saat ini. Karena
beberapa jenis sudah sulit dijumpai, dan jenis-jenis teramati umum sebenarnya
juga menunjukkan populasi yang semakin berkurang. Hal ini disebabkan maraknya
penangkapan dilakukan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini.
Saat saya melakukan
kunjungan ke tempat ini, para penangkap burung berkeliaran di dalam hutan
merupakan pamandangan umum terlihat.
Umumnya mereka menangkap burung dengan cara menorehkan lem di tempat hinggap
dan menggunakan jala, dibentangkan pada tempat-tempat burung melakukan aktifitas.
Tetapi mungkin jenis berukuran besar ditangkap menggunakan tali.
Pada 22 Maret
2014 saya berhasil memotret Nisaetus
bartelsi, dari jarak cukup dekat. Hal itu merupakan kesempatan langka, mengingat
burung ini jarang terlihat dekat. Tetapi tidak lama setelah itu individu
tersebut tidak telihat lagi, diduga telah ditangkap. Beberapa jenis yang
terancam punah, saya jumpai bersama tema-teman sedang bersarang. Setiap kunjungan
perkembangannya kami pantau, agar tidak ditangkap, tetapi saat anaknya mulai besar, ditangkap
penangkap burung, bahkan beberapa kali kejadian hilang bersama induknya.
Gambar 22. Foto sarang Brachypteryx leucophrys dalam kondisi kosong, diduga anaknya diambil penangkap burung |
Sebenarnya untuk
melakukan penghentian penangkapan ini tidaklah sulit, jika ada upaya dari pihak
pengelola hutan di Ranca Upas melaksanakannya. Para penangkap burung yang aktif
jumlahnya hanya beberapa orang, dan mereka tinggal di desa-desa sekitar Ranca
Upas. Identitasnya dapat dikenal jika dilakukan penelusuran. Jika diketahui
identitas dan tempat tinggal mereka dapat dilakukan pendekatan secara persuasif,
dan dilakukan sosialisasi tentang kelestarian burung tersebut dan ancaman hukuman jika melakukan penangkapan lagi, yang disertai
peringatan.
Selanjutnya
dilakukan pemantauan terhadap aktifitas mereka. Secara umum penghasilan mereka
dapatkan dari hasil menangkap burung tidaklah besar. Karena burung mereka
dapatkan sebagian besar tidak dihargai mahal dipasaran. Dan burung berharga
mahal jarang mereka dapatkan. Dengan demikian mereka tidak akan terlalu ngotot
melanjutnya penangkapan, jika dilakukan upaya tersebut. Karena jika dihitung
secara ekonomi dan dibanding resiko mereka terima, maka mereka akan berfikir
melakukannya kembali.
Tetapi yang
menjadi masalah adalah tidak adanya kepedulian dilakukan langkah tersebut oleh
pihak-pihak terkait pelestarian burung. Pihak pengelola kawasan Ranca Upas,
hanya berorientasi mengenjot pemasukan income dari sektor pariwisata. Sementara
upaya pelestarian terhadap flora dan fauna Ranca Upas, termasuk burung tidak
menjadi bagian dari program mereka. Mungkin hal ini disebabkan karena kegiatan
birdwatching bukan favorit yang dapat mendatangkan income pemasukan buat pihak
pengelola.
Upaya konservasi
terhadap burung-burung di Ranca Upas penting dilakukan saat ini, mengingat di tempat
ini terdapat 11 jenis terancam punah menurut daftar diterbitkan IUCN.
Konservasi tersebut terutama dilakukan terhadap Nisaetus bartelsi.
Artikel lengkap beserta tabel jenis jenis burung di Ranca Upas dapat dilihat disini.
Artikel lengkap beserta tabel jenis jenis burung di Ranca Upas dapat dilihat disini.
Daftar Pustaka
del Hoyo, J. and Collar, N.J.
2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.
2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
2 Passerines. Lynx and Birdlife
International.
MacKinnon, J.
1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan
Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacKinnon, J., Phillips, K.,
dan van Balen, B. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan.
Bogor. LIPI dan Birdlife-IP.
Mallo, F.N. 2016. Catatan Pengamatan Burung-burung di Jawa.
Tidak dipublikasikan.
Mayr, E. and Diamond, J.,
2001. The Bird of Northern Melanesia,
Speciation, Ecologi & Biogeography. Oxford University Press.
Whittaker, R.J. and
Fernandes-Falacois, J.M. 2013. Island Biogeography, Ecology, Evolution, and
Conservation. Oxford University Press.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan
Enderson, G.S. 1987. Ekologi
Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
REVISI TULISAN:
BalasHapusSehubungan ada beberapa kesalahan penulisan artikel ini, maka bersama ini saya merevisi.
Revisi dilakukan; dalam tabel jumlah seluruh jenis burung terdata 112 (sebelumnya 111 jenis), ditambahkan Kadalan Birah (Phanicophaeus curvirostris) dan Ixobrychus sp.? (cinnamomeus). Dan satu jenis (Berkik (Gallinago sp.) sebelumnya tercantum jenis terhitung di Ranca Upas, tidak terhitung jenis lagi, dengan pertimbangan mungkin hal itu karena kesalahan mengamati salah satu dari kedua jenis Berkik yang sudah tercatat di Ranca Upas. Dan jumlah yang saya amati 104 jenis (ketambahan dua jenis dari sebelum revisi).
Terima kasih bang, informasi yg dipaparkan sungguh menggugah rasa ingin ke lokasi. Mengamati dan mencatat temuan yg tersisa saat ini
BalasHapusSaya tau Anda ahli biogeografi dan tau banyak jenis2 burung,, tapi ayolah pembaca artikelmu bukan orang2 sepertimu semua, menjelaskan nama burung dengan bahasa ilmiah semua, coba lah anda kasih kurung (nama burung sesuai daerah) jadi kita lebih tau nama2 burung tsb,,, ngerti kan maksud saya apa?
BalasHapus