Selasa, 29 Mei 2018

BURUNG-BURUNG DATARAN TINGGI JAWA BARAT: CATATAN DI RANCA UPAS


Oleh: Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Foto Nisaetus bartelsi.  saya menjumpainya pertamakali saat mendapatkan foto ini
Pada April hingga Nopember angin timur yang bersifat kering berasal dari udara zona bertekanan tinggi di padang gurun Australia bergerak menyapu daerah disekitarnya; termasuk Nusa  Tenggara, selatan Sulawesi, Jawa hingga Sumatera bagian selatan. Dampaknya, mempengaruhi vegetasi yang bersifat kering pada daerah yang di laluinya. Jika kita melakukan perjalanan dari Timor hingga Jawa, jejak-jejak dampak  kekeringan tersebut dapat kita saksikan. Timor dan pulau-pulau di timur Nusa Tenggara merasakan dampak yang paling parah, sehingga vegetasi terbentuk di kawasan tersebut berupa hutan-hutan monsoon bersifat tandus dan kering. Semakin ke barat kondisi vegetasi  perlahan-lahan berubah semakin subur, masing-masing melewati barat Nusa Tenggara, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan  Jawa Barat. Sehingga diantara daerah tersebut, Jawa Barat yang paling subur vegetasinya, karena hanya merasakan sedikit dampak kekeringan tersebut. 

Dengan memiliki vegetasi yang lebih subur sehingga menyebabkan daerah ini memiliki kekayaaan burung yang lebih tinggi dari bagian lain di Jawa. Bahkan beberapa diantaranya endemik Jawa Barat, tercatat 22 jenis. Vegetasi subur ini menjadikan Jawa Barat sebagai “unit biogeografi” yang memiliki kekayaan endemisitas burung tertinggi di Jawa. Jenis-jenis tersebut memiliki habitat khusus berupa hutan tropis subur dan basah. Hal ini membuatnya “enggan” menyebar lebih jauh ke timur Jawa yang bervegetasi kering, merupakan bukan tipe habitat yang disukai, disamping karena adanya kompetisi.  
Dari fakta tersebut sebenarnya Jawa Barat merupakan kawasan sangat penting dan menarik bagi studi biogeografi, terutama biogeografi burung-burung di Jawa. Tetapi saat ini perhatian untuk hal itu belum menarik perhatian para ahli ornitologi maupun ahli biogeografi.   
Burung-burung pegunungan bawah (berketinggian 1500 s/d 2400), merupakan paling menarik diamati dan dipelajari di Jawa Barat, karena sangat beragam jenis dan tingginya tingkat endemisitasnya.       
Gambar 2.  Foto areal rawa di Ranca Upas
Diantara tempat paling favorit yang saya kunjungi di Jawa Barat adalah hutan Ranca Upas.  Daerah ini terletak di pegunungan bawah, diatas ketinggian 1700 m. Hutannya terhubung dengan kompleks hutan cukup luas di sekitarnya, sehingga menjadi hamparan hutan yang luas. Karena faktor tersebut menjadi alasan sehingga hampir setiap minggu saya mengunjungi tempat ini selama  kurun waktu Desember 2013 hingga Pebruari 2016, disamping karena lokasinya mudah dijangkau kendaraan dari Kota Bandung, dan di pinggiran areal hutan tersedia fasilitas sarana yang cukup memadai, terutama terdapat penjual makanan dan bahan kebutuhan sehari-hari. Bahkan kita dapat memesan makanan dan minuman diantar ke dalam hutan jika membutuhkan.
Gambar 3.  Foto Megalurus palustris sedang mencari kutu di tubuh Rusa
Saya cukup beruntung dapat melakukan pengamatan burung di Ranca Upas dengan jangka waktu cukup lama. Dengan demikian saya dapat melakukan pengamatan dan pengkajian di lapangan mengenai burung-burung di dataran tinggi Jawa dengan baik, sehingga saya dapat memamahi pengetahuan mengenai hal itu. Juga penting, dari perjalanan di tempat ini, saya dapat merasakan langsung perbedaan burung-burung dataran tinggi Jawa dan Sulawesi pada ketinggian yang sama.
Endemisitas dan jenis terancam punah
Di Ranca Upas saya berhasil mengamati 104 jenis burung. Tetapi hasil pengamatan tersebut belum menggambarkan keseluruhan jumlah jenis burung di Ranca Upas.   Beberapa   jenis   yang dijumpai   pengamat   lain, tidak saya jumpai. 
Gambar 4. Foto Rhipidura phoenicura sedang memberi makan anak Cacomantis variolosus
Terutama jenis pengunjung dari utara khatulistiwa saat musim dingin, jenis pengembara (nomadic) dan jenis yang sangat jarang dijumpai saat ini, tetapi dulu masih mudah dijumpai. Total saya berhasil mengumpulkan jumlah 112 jenis di Ranca Upas, ditambahkan dari catatan pengamat lain. Saya yakin jumlah ini akan bertambah, karena beberapa catatan pengamat lain tidak saya dapatkan.  
Gambar 5.  Foto Pteruthius flaviscapis jantan
Diantara avivauna tersebut, 24 jenis sangat mengagumkan, karena merupakan endemik Jawa, yaitu Arborophila javanica, Nisaetus bartelsi, Apalharpactes reinwardtii, Halcyon cyanoventris, Chrysophlegma mentale, Eurylaimus javanicus, Pteruthius flaviscapis, Rhipidura euryura, Rhipidura phoenicura, Ixos virescens, Phylloscopus grammiceps, Tesia superciliaris, Psaltria  exilis, Heleia javanica, Stachyris grammiceps, Stachyris thoracica, Pellorneum capistratum, Alcippe pyrrhoptera, Laniellus albonotatus, Cochoa azurea, Eumyias indigo, Brachypteryx Montana, Chloropsis cochinchinensis dan Aethopyga eximia (MacKinnon, dkk., 1992, del Hoyo, et al., 2014 dan 2016). Jumlah ini lebih dari 50% total keseluruhan endemik jenis burung-burung di Jawa.
Gambar 6. Foto Cochoa azurea sedang di sarang
Tetapi yang sangat membutuhkan perhatian ada 11 jenis, karena terancam punah. Diantaranya Nisaetus bartelsi yang paling prioritas, karena satu-satunya masuk kategori kritis (critically endangered). Selanjutnya dua jenis di kategori rentan (vulnerable), yaitu Apalharpactes reinwardtii dan Cochoa azurea dan delapan jenis  dikategorikan hampir terancam (near threatened), yaitu Chrysophlegma mentale, Eurylaimus javanicus, Chloropsis cochinchinensis, Pycnonotus bimaculatus, Phylloscopus grammiceps, Stachyris grammiceps, Laniellus albonotatus dan Sitta frontalis (del Hoyo, et al., 2014 dan 2016).
Insectivore
Avivauna Ranca Upas di dominasi penghuni hutan tropis primer, tercatat 84 jenis diantaranya. Sisanya 18 jenis hidup di areal terbuka dan pepohonan terbuka, lima jenis terikat areal berair/rawa dan lima jenis melakukan aktifitas di angkasa (tidak termasuk satu jenis Sterna sp.).
Gambar 7. Foto Ficedula hyperythra sangat umum dijumpai di Ranca Upas
Wajar jika burung-burung penghuni hutan tropis primer paling dominan di tempat  ini,  karena terdapat hamparan hutan primer cukup luas, yang tersambung dengan hutan disekitarnya, yang mendominasi vegetasi di tempat ini. Tetapi walaupun demikian, di beberapa tempat terdapat areal terbuka yang diselilingi pepohonan, akibat pembukaan hutan di konversi menjadi lahan budidaya, yang mengundang datangnya jenis menyukai areal terbuka, serta pepohonan terbuka dan areal berair dan berawa cukup luas. Areal rawa dijumpa sebelum memasuki hutan primer, yang dihuni lima jenis terikat hidupnya dengan areal berair atau rawa.   
Gambar 8.  Foto Alcippe pyrrhoptera sering dijumpai membentuk kelompok antar jenis
dengan burung insectivore lain
Diantara semua penghuni hutan tropis primer, saya sangat mengagumi jenis-jenis insectivore. Jenis-jenis insectivore sangat dominan di hutan ini, terdapat 58 jenis. Sisanya 26 jenis terdiri dari frugivore tujuh jenis, insectivore dua jenis, memakan mamalia/reptilia 18 jenis, dan memakan katak dan ikan satu jenis.
Gambar 9. Foto Culicicapa ceylonensis
Insectivore yang paling menonjol dari family Timaliidae, yaitu Stachyris grammiceps, Stachyris thoracica, Cyanoderma melanothorax dan Pellorneum capistratum. Dari family Pellorneidae, yaitu Malacocincla sepiaria dan Napothera epilepidota. Dari family Leiotrichidae, yaitu Alcippe pyrrhoptera dan Laniellus albonotatus. Ketiga family ini mungkin masih berkerabat dekat, dulu bahkan dimasukan dalam satu family Timaliidae. Anggotanya, kecuali Laniellus albonotatus adalah penghuni strata semak, walaupun kadang mengunjungi strata tajuk bawah hutan.
Gambar 10. Foto Pnoepyga pusilla suka menumpuk makanan di paruhnya
Jenis-jenis tersebut mudah dikenali saat mengunjungi hutan ini. Jika kita bermalam di dalam hutan, saat subuh suara Malacocincla sepiaria lebih awal memecahkan suara alam pada hampir di semua sudut hutan. Terdengar ramai dan ribut. Suaranya tetap terdengar di semua tempat saat kita melakukan perjalanan menjelajahi hutan hingga pagi hari. Suaranya merupakan suara penciri hutan setelah subuh hingga pagi hari. Walaupun suaranya sering terdengar, tetapi sangat sulit melihatnya langsung.
Saat menelusuri hutan akan mudah menjumpai jenis-jenis ketiga family tersebut, berburu serangga berkelompok kecil di semak-semak rapat, terutama Cyanoderma melanothorax dan Alcippe pyrrhoptera. Alcippe pyrrhoptera kadang naik berburu ke strata tajuk bawah saat mengikuti kawanan burung insectivore lain.
Gambar 11.  Foto Tesia superciliaris.  Endemik pegunungan Jawa Barat dan Tengah
Sebenarnya cukup banyak jenis insectivore lain yang melakukan aktifitas di strata semak dan lantai hutan dari family Scotocercinae, Turdidae dan muscicapidae, tetapi berikutnya saya hanya membahas lima jenis yang saya kagumi, yaitu Pnoepyga pusilla, Tesia superciliaris, Brachypteryx leucophrys, Brachypteryx montana dan Myiomela diana. Pnoepyga pusilla merupakan terrestrial mungil, jarang terlihat, tetapi suaranya umum terdengar. Sangat menarik aktifitasnya saat berburu makanan, sambil berburu ia akan menumpukkan makananya berupa serangga, cacing dan anthropoda lain di mulut. Mirip tingkah laku memakan Pitta. Warnanya tubuhnya yang mirip serasah akan membuatnya sulit terlihat saat diam di lantai hutan. Demikian juga Tesia superciliaris, merupakan terrestrial mungil, tetapi sering menaiki semak hingga setinggi dua meter. Walaupun lebih sering terdengar suaranya daripada terlihat langsung, tetapi lebih familiar dari Pnoepyga pusilla. Burung ini merupakan endemik dataran tinggi hutan primer Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi populasi di Jawa Tengah sedikit dibanding di Jawa Barat.
Gambar 12.  Foto Cinclidium diana.  Penghuni strata semak agak familiar pada manusia
Dua jenis terrestrial sejati lainnya; Brachypteryx leucophrys dan Brachypteryx montana juga menarik. Diantara keduanya, Brachypteryx montana paling favorit bagi pengamat dan fotografer burung, karena sangat jarang dijumpai serta statusnya merupakan endemik pegunungan Jawa. Sebelumnya bersama dengan Brachypteryx erythrogyna (Kalimantan) dan Brachypteryx saturata (Sumatera) dimasukkan dalam satu jenis, tetapi baru-baru ini terpisah masing-masing menjadi jenis tersendiri. Di Ranca Upas sangat jarang dijumpai. Saya hanya pernah mendengar sekali suaranya di tempat ini. Para fotografer sangat menginginkan bisa memotretnya. Kondisi ini bertolak belakang dengan Brachypteryx leucophrys. Jenis ini umum terdapat di Ranca Upas, tetapi sebagaimana karakter jenis terrestrial lebih sering terdengar suaranya.
Mungkin keduanya telah berkompetisi memperebutkan sumberdaya ekslusif di tempat-tempat yang lebih rendah, dan Brachypteryx montana kurang kompetitif sehingga populasinya sedikit, sementara Brachypteryx leucophrys lebih kompetitif sehingga populasinya banyak. Mungkin karena kalah berkompetisi sehingga Brachypteryx montana terdesak hidup di tempat-tempat lebih tinggi, diatas tempat penyebaran Brachypteryx leucophrys, atau hidup bersama dengan populasi sedikit. Menurut MacKinnon et al. (1992), di Jawa Brachypteryx leucophrys dijumpai dari ketinggi 900 m hingga 1.900 m sedangkan Brachypteryx montana di ketinggian 1.500 m. Tetapi dua jenis allopatrik Brachypteryx montana di Kalimatan dan Sumatera dijumpai di ketinggian 1.400 – 3.000 m. Hal ini dapat menggambarkan penyebaran Brachypteryx montana aslinya diatas ketinggian Brachypteryx leucophrys.
Dalam teori ekologi dua jenis burung dalam satu marga yang menghuni tempat yang sama akan berkompetisi ketat dalam memperebutkan sumberdaya. Karena jenis-jenis tersebut memiliki lebih spesifik kebutuhan sumberdaya yang sama. Dan dari beberapa penelitian dan pengamatan, jenis yang kalah berkompetisi akan terdesak hidup ke tempat yang lebih tinggi, meninggalkan sumberdaya ekslusif di tempat-tempat yang lebih rendah. Fenomena ini nampaknya terjadi pada kedua jenis Brachypteryx.        
Penghuni strata semak lainya adalah Myiomela diana. Juga agak jarang dijumpai di Ranca Upas. Tetapi secara keselurahan di dataran tinggi Jawa Barat umum dijumpai. Selama mengunjungi hutan Ranca Upas, saya baru menjumpai relatif belum lama. Tahun kedua sejak saya mengunjungi hutan ini. Mungkin merupakan pengembara (nomadic) lokal. Umumnya hidup soliter di semak-semak rendah dekat lantai hutan, kadang turun ke lantai hutan berburu serangga. Tidak sama dengan penghuni strata semak lain yang liar saat melakukan kontak dengan manusia, jenis ini lebih familiar didekati, sehingga lebih mudah di potret. 
Gambar 13. Foto Phylloscopus grammiceps
Jenis lain mengagumkan yang aktif di lantai hutan dan strata semak adalah Myophonus glaucinus. Endemik Jawa dan Bali.  Warnya biru kehitaman cukup indah  dan menyolok terlihat, tetapi kehadirannya lebih sering ditandai dengan suaranya yang hiruk pikuk. Sejatinya merupakan pemakan serangga dan anthropoda lain. Tetapi yang mengejutkan pada 21 Desember 2014 saya menjumpai sedang memangsa seekor ular berukuran kecil di Gunung Merapi, Yogyakarta. Selain melakukan aktifitas di lantai hutan dan strata semak, juga kadang mengunjungi strata tajuk bawah, terutama jika terganggu.
Beberapa jenis lain yang melakukan aktifitas di strata tajuk bawah juga sering berburu serangga di strata semak. Diantaranya yang menarik adalah Phylloscopus grammiceps dan Phyllergates cuculatus. Phylloscopus grammiceps, endemik  pegunungan Jawa. Mungkin jenis ini merupakan keluarga cikrak yang paling cantik di Sunda Besar. Umum dijumpai berbaur dengan burung insectivore lain. Burung ini cukup umum dijumpai. Phyllergates cuculatus, di Ranca Upas jarang dijumpai. Tetapi kadang terlihat diam-diam berburu serangga di strata semak dan strata tajuk bawah rapat soliter atau bercampur dengan jenis insectivore lain.
Jenis insectivore di strata tajuk bawah cukup banyak, mungkin lebih banyak jenisnya dibanding yang terdapat strata semak. Di strata ini, selain Apalharpactes reinwardtii, yang paling menarik adalah dua jenis kipasan; Rhipidura euryura dan Rhipidura phoenicura. Keduanya endemik pegunungan Jawa. Walaupun Rhipidura euryura di Jawa umum secara lokal, tetapi di Ranca Upas sangat jarang dijumpai. Saya hanya sekali mendengar suaranya di hutan Patenggang, dekat Ranca Upas. Di tempat ini jarang dijumpai Rhipidura phoenicura. Rhipidura phoenicura umum dijumpai Di Ranca Upas dan sekitarnya, sementara Rhipidura euryura tidak pernah dijumpai. Hal ini menggambarkan telah terjadi kompetisi antara keduanya, dan Rhipidura phoenicura lebih kompetitif sehingga populasinya lebih banyak. Mungkin kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana terjadinya asosiasi intraspesifik antara keduanya di seluruh tempat penyebarannya di Jawa.
Gambar 14.  Foto Eumyias indigo.  Endemik Jawa umum dijumpai di Ranca Upas
Anggota family Picidae (pelatuk) juga menarik. Tercatat ada empat jenis di tempat ini: Chrysocolaptes validus, Chrysophlegma miniaceum, Chrysophlegma mentale dan Picus puniceus. Chrysophlegma mentale merupakan endemik Jawa. Keseluruhan anggota family ini tidak umum dijumpai, mungkin karena merupakan pengembara lokal. Hal ini menyebabkan keempatnya sangat didambakan pengamat dan fotografer alam liar menjumpainya. Umumnya soliter atau dalam satu kelompok keluarga mencari makan dibatang-batang dan dahan-dahan pohon. Tetapi sering berbaur dengan kawanan antar-jenis burung insectivore.
Jenis pengembara lokal lain dari keluarga sepah dan kepudangsungu (family Champephagidae). Juga ada empat jenis, tetapi hanya Pericrocotus miniatus penetap, sehingga umum dijumpai setiap berkunjung ke hutan ini. Endemik pegunungan Jawa dan Sumatera ini umumnya berkelompok besar, kadang kecil mengunjungi tajuk pepohonanan berburu serangga. Tiga lainnya adalah jenis kepudangsungu (Coracina spp.), jarang dijumpai. Mungkin karena merupakan pengembara lokal. Ketiganya lebih sering dijumpai soliter atau berpasangan.
Empat jenis insectivore lain penghuni strata tajuk bawah yang juga menarik adalah Eurylaimus javanicus, Pteruthius flaviscapis, Laniellus albonotatus, dan Cochoa azurea. Eurylaimus javanicus merupakan endemik Jawa yang langka. Statusnya dikategorikan terancam (near threatened) oleh IUCN. Di Ranca Upas tidak umum. Suaranya sering terdengar, tetapi sulit terlihat langsung, karena sering bertengger diam-diam di dalam tajuk agak rapat. Pteruthius flaviscapis anggota family Vireonidae, merupakan endemik dataran tinggi Jawa. Umum dijumpai dan familiar dengan kehadiran manusia. Kadang dijumpai berburu serangga di strata semak dan strata tajuk bawah. Tetapi bersarang di strata semak. Jantan sangat cantik dengan adanya bulu tarsier coklat berangan keemasan, sehingga para fotografer selalu ingin memotretnya dari samping untuk menonjolkan warna tersebut. 
Laniellus albonotatus merupakan endemik Jawa termasuk langka. Statusnya dikategorikan terancam (near threatened) oleh IUCN. Di Ranca Upas tidak umum di jumpai.  Menariknya kerabat dekatnya (allopatrik) terdapat di Vietnam (L. langbianis). Dulu keduanya dianggap satu jenis, tetapi belum lama terpisah masing-masing menjadi jenis tersendiri. Kedua jenis berkerabat ini dipisahkan kawasan yang sangat jauh, melewati Sumatera, Kalimatan, dan Semenanjung Malaysia. Bagaimana jenis ini bisa tersebar dari Vietnam ke Jawa atau sebaliknya? Fenomena seperti ini banyak terjadi pada jenis burung di Jawa, termasuk beberapa jenis terdapat di Ranca Upas. Mungkin yang paling terkenal penyebaran Pavo muticus di Jawa. Populasi terdekatnya di Vietnam, Kamboja dan Thailand, sementara di Sumatera dan Kalimatan saat ini tidak tercatat.
Gambar 15.  Foto Sitta frontalis.  Jenis paling sering berbaur dengan
burung insectivore saat berburu serangga
Walaupun jenis ini penghuni strata tajuk bawah tetapi kerabatnya hampir seluruhnya penghuni lantai hutan dan strata semak, tergabung dalam family Leiotrichidae, mencakup juga Alcippe pyrrhoptera.
Demikian juga Cochoa azurea, sama seperti Laniellus albonotatus juga penghuni strata tajuk bawah, hingga strata tajuk atas, tetapi kerabatanya lebih banyak melakukan aktifitas dilantai hutan  dan strata semak, yang tergabung bersama berbagai jenis anis dalam family Turdidae. Merupakan endemik Jawa yang langka. Statusnya dikategorikan rentan (vulnerable) oleh IUCN.
Masih banyak jenis lain penghuni strata tajuk bawah anggota family Vireonidae, Vangidae, Dicruridae, Stenostiridae, Phylloscopidae, Zosteropidae, Sittidae, Muscicapidae. Anggotanya masing-masing hanya satu atau dua jenis saja, kecuali Muscicapidae beranggotakan cukup banyak.
Masalah menarik pada jenis insectivore yang saya rasakan adalah mengenai status kangkok (Cuculus) di Ranca Upas. Cuculus saturatus dipastikan secara rutin mengunjungi Ranca Upas saat musim dingin di utara khatulistiwa. Tetapi saya yakin selain Cuculus saturatus juga terdapat Cuculus lepidus, penetap di Jawa. Memang sepintas morfologi dan suaranya mirip, sehingga para pengamat yang tidak jeli mengamati akan mengabaikan kehadirannya. Cuculus sturatus saat berkunjung biasanya jarang bersuara. Saya mendengar suara Cuculus sepanjang tahun di Ranca Upas, dengan demikian kemungkinan besar jenis ini terdapat di tempat ini.
Baiknya dilakukan pengamatan status burung ini dengan mengidentifikasi suaranya lebih teliti. Saya mendeskripsikan beberapa suara keduanya dan terdapat perbedaan diantara keduanya. Suara Cuculus lepidus berupa --pupuuu-- atau --te-pupuuu--, dua atau tiga nada,  sedang  C. saturatus optatus diawali --pupupupupuupp--, dilanjutkan --pupuup--, bersambung dan lama, diulang setiap 1 menit dan C. saturatus saturatus; --te-pupupuuu---, empat nada, nada terakhir panjang. Jika akan melakukan pengamatan khusus keberadaan Cuculus lepidus di Ranca Upas, baiknya mempelajari suara kedua jenis ini, lalu membandingkannya di lapangan.
Saat mengamati kehidupan burung insectivore di Ranca Upas, saya sangat mengagumi kehidupan berkelompok antar-jenis burung insectivore saat berburu serangga. Setiap saya mengunjungi Ranca Upas saya menjumpai tiga hingga lima kali terbentuk kelompok antar-jenis. Saya telah mencatat jenis-jenis yang terlibat dalam beberapa kali peristiwa terbentuknya kelompok antar-jenis. Saya belum mendapatkan hasil penelitian atau pengamatan terjadinya interaksi ini di Jawa. Mungkin pernah dilakukan tetapi literaturnya belum saya didapatkan. Di hutan-hutan dataran tinggi Sulawesi pada 1979 Watling telah mencatat interaksi ini dengan baik (Whitten, A.J., dkk. 1987). Metode digunakan watling kemudian saya gunakan untuk mengamati peristiwa tersebut di beberapa tempat di Sulawesi dan di Jawa.  Watling membagi jenis-jenis yang terlibat dalam kelompok antar jenis tiga kelompok, yaitu jenis inti, jenis yang seringkali ikut serta dan jenis yang kadang saja ikut serta.
Gambar 16.  Foto Dicrurus leucophaeus.  Kadang berbaur dengan kelompok  antar-jenis
burung insectivore saat berburu serangga
Sebagaimana di Sulawesi, di Ranca Upas terjadinya proses pembentukan kelompok antar-jenis juga mencakup tiga kelompok tersebut. Jenis inti umumnya termasuk jenis  yang hidup berkelompok, ukurannya tidak terlalu besar dan rajin memasuki relung-relung tajuk dan semak rapat, misalnya Pericrocotus  miniatus, Alcippe pyrrhoptera dan Sitta azurea, sedangkan jenis yang seringkali ikut serta dan jenis yang kadang  saja ikut serta adalah umumnya soliter atau tidak selalu hidup berkelompok, ukuran agak besar, tidak terlalu aktif memasuki relung tajuk dan semak, terutama tajuk dan semak rapat, seperti Hemipus hirundinaceus, Rhipidura phoenicura, Culicicapa ceylonensis, Phylloscopus trivirgatus, Cyornis unicolor dan Ficedula westermanni.  Tetapi jenis yang kadang  saja ikut serta, jarang berbaur, karena umumnya adalah merupakan pengembara, seperti berbagai jenis pelatuk dan kepudangsungu, kecuali Dicrurus leucophaeus penetap umum di Ranca Upas, tetapi masuk kategori ini. (Mengenai hal ini akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri). 
Frugivore, nectarivore, nocturnal dan jenis lain
Cukup mengherankan bagi saya, sangat sedikit menjumpai frugivore di Ranca Upas. Tercatat hanya tujuh jenis (Arborophila javanica, Trerons sp.?, Psilopogon armilllaris, Loriculus pusillus, Oriolus chinensis, Ixos virescens dan Pycnonotus bimaculatus). Dan, diantaranya hanya Arborophila javanica dan Psilopogon armilllaris yang sering dijumpai dan mungkin penetap. Sebenarnya Arborophila javanica bukanlah murni frugivore, karena bisa juga dikategorikan omnivore. Sementaranya jenis lain jarang dijumpai. Mungkin jenis-jenis jarang dijumpai merupakan pengembara lokal mencari tumbuhan berbuah. Selama mengunjungi hutan ini masing-masing saya hanya sekali menjumpai Trerons sp.?, Loriculus pusillus, Oriolus chinensis, Ixos virescens dan Pycnonotus bimaculatus. Sebagian besar hanya berhasil mendengar suaranya.  
Gambar 17.  Psilopogon armilarris.  Frugivore umum dijumpai di Ranca Upas
Awal saya mulai memasuki hutan Ranca Upas, dibenak saya akan menjumpai banyak jenis merpati hutan, terutama dari marga Treron. Tetapi setelah enam bulan berlalu, saya menyadari sangat sulit menjumpai jenis frugivore, terutama merpati hutan. Timbulnya keinginan dalam benak tersebut, mungkin karena saya masih terbawa suasana saat menjelajahi  hutan-hutan Sulawesi pada ketinggian yang sama. Di Sulawesi jenis frugivore dataran tinggi cukup banyak jenisnya saya jumpai, populasinya cukup tinggi. Mungkin jenis frugivore dataran tinggi Sulawesi lebih kaya dari pada di Jawa. Sebagai perbandingan di Gunung Rorekatimbu pada ketinggian sama saya menjumpai 13 jenis frugivore, tujuh jenis diantaranya  merupakan keluarga merpati (Columbidae), dan hampir semuanya umum dijumpai.
Sepertinya jenis frugivore merupakan penghuni jarang di Ranca Upas. Mungkin hal ini dapat menggambarkan kondisi jenis frugivore di seluruh dataran tinggi Jawa. Jika ada perbedaan di tempat lain, hanya sedikit bergeser dari kondisi di Ranca Upas, terutama pada kompisisi jenis dan populasi jenis tertentu.
Jenis nectarivore hanya dijumpai dua jenis: Arachnothera longirostris dan Aethopyga eximia. Jenis disebut terakhir endemik pegunungan Jawa, hidup diatas ketinggian 1.200 m. Keduanya umum dijumpai, terutama saat mengunjungi tumbuhan berbunga, tetapi kadang juga memakan serangga. Khusus Arachnothera longirostris juga memakan laba-laba. Keduanya soliter atau kadang berpasangan aktif di strata tajuk bawah dan strata semak.  Arachnothera longirostris sering mengisap bunga pisang hutan (Musa sp.), sedangkan Aethopyga eximia sering juga mengunjungi tumbuhan merambat atau liana berbunga, selain tumbuhan pohon berbunga.
Gambar 18.  Foto Batrachostomus javensis.  Nocturnal tidak umum di Ranca Upas
Di Ranca Upas tercatat enam jenis nocturnal (Batrachostomus javensis, Phodilus badius, Otus lempiji, Bubo sumatranus, Ketupa ketupu dan Caprimulgus pulchellus).  Ada dua jenis yang menarik, yaitu Batrachostomus javensis dan Caprimulgus pulchellus. Batrachostomus javensis merupakan nocturnal insectivore penghuni strata semak. Di Ranca Upas jarang dijumpai, mungkin karena tubuhnya sering tersamar dedaunan dan ranting kering sehingga sulit terlihat. Untuk menandai kehadirannya lebih mudah mendengar suaranya. Para pengamat burung dan fotografer sangat memfavoritkan burung ini.  Caprimulgus pulchellus, lebih jarang lagi dijumpai. Hanya sekali teridentifikasi di Ranca Upas. Sejak penemuan tersebut saya sangat antusias ingin bertemu. Tetapi tidak berhasil.  Merupakan endemik Sumatera dan Jawa. Di seluruh tempat penyebarannya memang jarang dijumpai. Hal ini menyebabkan IUCN memasukannya termasuk jenis burung terancam punah kategori terancam (near threatened).
Walaupun Otus angelinae belum tercatat, saya menduga terdapat di Ranca Upas. Mungkin sering terlewati saat pengamatan. Ditambah lagi selama ini para pengamat jarang melakukan kegiatannya pada malam hari. Merupakan endemik pegunungan Jawa yang jarang tercatat, sehingga sedikit diketahui. Selama ini hanya tercatat di Gunung Salak, Gunung Pangrango, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Ciremai dan dataran Tinggi Ijen. Umumnya dapat teridentifikasi setelah tertangkap jala kabut. Hal ini mengindikasikan jenis ini sering terlewati saat pengamatan. IUCN memasukan jenis ini terancam punah kategori rentan (vulnerable).
Status Bubo sumatranus baiknya dilakukan pengamatan lebih lanjut untuk  memastikan keberadaannya di Ranca Upas, karena statusnya tercatat hanya berdasarkan suara sekali saya dengar.
Walaupun terdapat areal rawa cukup luas, tetapi jenis burung rawa sedikit dijumpai. Hal ini disebabkan di Jawa dan tempat lain di Indonesia burung rawa lebih banyak tersebar di dataran rendah. Di dataran tinggi hanya dijumpa jenis tertentu saja. Tidak ada yang menarik burung rawa di Ranca Upas, tetapi yang membutuhkan perhatian di kalangan pengamat dan fotografer adalah kesulitan mengidentifikasi berkik (Gallinago). Setiap berjumpa dengan berkik pasti ada keraguan untuk menentukan jenisnya. Memang diantara jenis berkik di Indonesia ciri morfologi, suara dan tingkah laku hampir sama, sehingga sulit diidentifikasi. Di Ranca Upas diyakini terdapat Gallingo stenura dan Gallinago megala. Diantara keduanya sulit dibedakan di lapangan.
Gambar 19.  Foto Gallinago stenura.  Sangat sulit membedakannya
dengan G. megala saat tidak tertangkap
Para ahli dapat membedakannya dengan melihat ciri morfologis pada bagian ekor. Tetapi hal itu sulit dilakukan kecuali menangkapnya. Mungkin cara mudah membedakannya di lapangan dengan melihat kaki yang menjulur di ujung ekor dan suaranya. G. stenura, ukuran ekor lebih pendek dari G. megala) dan ekor sedikit melampaui ujung lipatan sayap (G. megala lebih panjang melampaui), saat terbang kaki G. stenura menjulur lebih panjang di ujung ekor (G. megala sedikit menjulur). Saya mengumpulkan beberapa macam suara keduanya, dan ternyata ada    perbedaannya.   G. megala bersuara --ceek--, diulang  setiap 2 detik nada pertama, kedua  dan  ketiga, 3 detik nada keempat (saat terbang).  Sedangkan G. stenura bersuara setiap 1 detik (waktunya tetap stabil dari nada pertama sampai nada terakhir).
Mungkin di Ranca Upas juga terdapat Gallinago gallinago, tetapi untuk mamastikannya membutuhkan pengamatan lebih lanjut. Tetapi secara keseluruhan status berkik (Gallinago) di tempat ini perlu dilakukan pengamatan khusus. Studi ini bukan hanya berguna untuk memahami keberadaan keduanya di Ranca Upas, tetapi juga di tempat lain di Jawa.
Jenis raptor dan penghuni angkasa (walet, layang-layang dan kekep buah) tidak ada yang istimewa, kecuali hanya satu, yaitu  keberadaan Nisaetus bartelsi. Khusus Nisaetus bartelsi akan saya uraikan secara khusus bersama Apalharpactes reinwardtii.

Nisaetus bartelsi dan Apalharpactes reinwardtii yang mengagumkan

Diantaranya avivauna Ranca Upas yang paling saya kagumi adalah Nisaetus bartelsi dan Apalharpactes reinwardtii. Saat pertama menginjakkan kaki di Jawa saya mempunyai obsesi bertemu Nisaetus bartelsi. Saya harus bersabar menunggu selama dua tahun enam bulan tinggal di Jawa sebelum bertemu pertama kali di Ranca Upas.
Burung ini bisa dikatakan ikon avivauna Jawa. Selain karena menjadi lambang negara kita dan posturnya yang gagah sehingga membuatnya terkenal, juga karena sangat terancam punah, sehingga menjadi perhatian utama penggiat konservasi burung dunia. Memang burung ini sangat sulit dijumpai sekarang, karena diseluruh tempat penyebarannya populasinya tinggal sedikit, akibat perburuan untuk tujuan perdagangan dan habitatnya semakin berkurang.
Saya mempunyai obsesi ingin menjumpai Apalharpactes reinwardtii, setelah mendengar kecantikan burung ini, dari ceritera teman-teman di Bandung saat hunting di Ranca Upas. Walaupun Ranca Upas merupakan tempat penyebarannya, tetapi saya harus bersabar hampir dua tahun menjelajahi rutin hutan ini sebelum berhasil menjumpainya. Menurut saya burung ini merupakan “burung bidadari” di hutan-hutan dataran tinggi Jawa Barat dan barat Jawa Tengah. Diantara teman-teman pengamat dan fotografer alam liar, jenis ini lebih terkenal dibanding jenis-jenis lain di Jawa Barat.
Gambar 20.  Foto Apalharpactes reindwardtii
Selain kecantikannya, saya juga mengaguminya karena “keanehan penyebarannya”, yang merupakan kajian biogeografi yang menarik. Penyebarannya hanya terbatas di Jawa Barat ketinggian 900 – 2.500 m dan 1.400 m barat Jawa Tengah (Gunung Slamet). Saat draff tulisan ini hampir rampung, saya mendapat postingan foto penemuan burung ini di Gunung Slamet, sehingga saya menambahkan penyebarannya ke barat Jawa Tengah (Gunung Slamet), setelah sebelumnya saya hanya mencantumkan penyebarannya di Jawa Barat. Di luar Jawa Barat Ari Hidayat pertama kali menjumpai dan memotretnya pada 4 Agustus 2015 di Gunung Slamet.              Timbul pertanyaan kenapa jenis ini tidak tersebar lebih luas ke timur Jawa? Mungkin ada dua faktor paling berperan, yaitu karena jenis ini memiliki habitat khusus atau berkompetisi dengan Harpactes oreskions.
“Keanehan penyebaran” ini sebenarnya juga mencakup secara kolektif beberapa jenis burung lain. Seperti sudah saya singgung dari awal, pada vegetasi subur dan basah, terutama hutan tropis primer di Jawa Barat terdapat 22 jenis endemik kawasan ini, yaitu Trerons olax, Ducula badia, Ramphiculus jambu?, Aerodramus vulcanorum, Aerodramus maximus, Psilopogon pyrolophus, Psilopogon curvinus, Chrysocolaptes guttacristatus, Meiglyptes tristis, Mulleripicus pulverulentus, Loriculus galgulus (introd?), Pitta sordida, Dicrurus remifer, Cissa thalassina, Pycnonotus zeylanicus (punah), Stachyris grammiceps, Acridotheres melanopterus, Arachnothera chrysogenys, Leptocoma brasiliana, Ploceus hypoxanthus dan Lonchura leucogastra.  Dan bersama Apalharpactes reinwardtii juga terdapat sebelas jenis selain terdapat di Jawa Barat  juga tersebar di Jawa Tengah, terutama bagian barat Jawa Tengah, yaitu: Hemicircus concretus, Micropternus bracryurus, Lalage nigra, Tesia superciliaris, Psaltria  exilis, Malacopteron cinereum, Alcippe pyrrhoptera, Laniellus albonotatus, Garrulax rufifrons, Cochoa azurea  dan Myiomela Diana (MacKinnon, dkk., 1992, del Hoyo, et al., 2014 dan 2016). Umumnya keduabelas jenis tersebut (termasuk Apalharpactes reinwardtii) populasinya meningkat di Jawa Barat, tetapi semakin ke timur hingga batas penyebarannya di Jawa Tengah menurun, hingga sampai sangat jarang dijumpai.
Fenomena ini menggambarkan bahwa jenis-jenis tersebut mempunyai habitat  khusus di Jawa Barat. Mungkin vegetasi di Jawa Barat, terutama hutan yang lebih subur dan basah sangat cocok menjadi habitatnya. Dua belas jenis ini juga merupakan jenis bagian dari “unit beiogeografi” Jawa Barat, yang penyebarannya melebar ke kawasan Jawa Tengah, karena habitatnya masih mirip seperti di Jawa Barat, tetapi lebih kering. Sementara vegetasi hutan kering lebih ke timur tidak cocok menjadi habitatnya.
Walaupun demikian faktor-faktor lain juga mempengaruhi penyebarannya seperti adanya kompetisi tidak bisa diabaikan. Fenomena terebut juga dapat menjelaskan penyebaran Apalharpactes reinwardtii. Hal ini diperkuat fakta bahwa Apalharpactes mackloti, allopatric Apalharpactes reinwardtii, juga dijumpai pada hutan-hutan pegunungan tropis subur dan basah ketinggian 700-2300 m pegunungan bukit Barisan, Sumatera. Nampak keduanya hidup pada vegetasi lebih subur dan basah di dataran tinggi.
Gambar 21.  Foto Harpactes oreskios.  Saya mengamati di Taman Buru G. Masigit Kareumbi cukup umum di bawah ketinggian 1.000m.
Tetapi walaupun demikian tidak bisa dipungkiri penyebaran Apalharpactes reinwardtii juga dipengaruhi oleh Harpactes oreskions, karena keduanya masih satu marga, pasti membutuhkan kesamaan sumberdaya yang spesifik, yang menyebabkan terjadi kompetisi keduanya.  Di Ranca Upas Apalharpactes mackloti sangat jarang dijumpai dibanding Apalharpactes reinwardtii, tetapi di tempat-tempat lebih rendah ketinggiannya seperti Taman Buru Gunung Masigit, Kareumbi tidak dijumpai Apalharpactes reinwardtii, populasi Harpactes oreskions meningkat. Hal ini mengindikasikan keduanya teleh berkompetisi. Mungkin populasi Harpactes oreskions lebih meningkat di bagian tengah dan timur Jawa, kawasan sedikit populasi atau tidak terdapat Apalharpactes reinwardtii.

Kelestarian

Kebahagiaan saya melihat kekayaan burung Ranca Upas berubah miris setelah   melihat kondisi kelestariannya saat ini. Karena beberapa jenis sudah sulit dijumpai, dan jenis-jenis teramati umum sebenarnya juga menunjukkan populasi yang semakin berkurang. Hal ini disebabkan maraknya penangkapan dilakukan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini.
Saat saya melakukan kunjungan ke tempat ini, para penangkap burung berkeliaran di dalam hutan merupakan pamandangan  umum terlihat. Umumnya mereka menangkap burung dengan cara menorehkan lem di tempat hinggap dan menggunakan jala, dibentangkan pada tempat-tempat burung melakukan aktifitas. Tetapi mungkin jenis berukuran besar ditangkap menggunakan tali.
Pada 22 Maret 2014 saya berhasil memotret Nisaetus bartelsi, dari jarak cukup dekat. Hal itu merupakan kesempatan langka, mengingat burung ini jarang terlihat dekat. Tetapi tidak lama setelah itu individu tersebut tidak telihat lagi, diduga telah ditangkap. Beberapa jenis yang terancam punah, saya jumpai bersama tema-teman sedang bersarang. Setiap kunjungan perkembangannya kami pantau, agar tidak ditangkap,  tetapi saat anaknya mulai besar, ditangkap penangkap burung, bahkan beberapa kali kejadian hilang bersama induknya.
Gambar 22.  Foto sarang Brachypteryx leucophrys dalam kondisi kosong,
diduga anaknya diambil penangkap burung
Sebenarnya untuk melakukan penghentian penangkapan ini tidaklah sulit, jika ada upaya dari pihak pengelola hutan di Ranca Upas melaksanakannya. Para penangkap burung yang aktif jumlahnya hanya beberapa orang, dan mereka tinggal di desa-desa sekitar Ranca Upas. Identitasnya dapat dikenal jika dilakukan penelusuran. Jika diketahui identitas dan tempat tinggal mereka dapat dilakukan pendekatan secara persuasif, dan dilakukan sosialisasi tentang kelestarian burung tersebut dan ancaman  hukuman jika melakukan penangkapan lagi, yang disertai peringatan.
Selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap aktifitas mereka. Secara umum penghasilan mereka dapatkan dari hasil menangkap burung tidaklah besar. Karena burung mereka dapatkan sebagian besar tidak dihargai mahal dipasaran. Dan burung berharga mahal jarang mereka dapatkan. Dengan demikian mereka tidak akan terlalu ngotot melanjutnya penangkapan, jika dilakukan upaya tersebut. Karena jika dihitung secara ekonomi dan dibanding resiko mereka terima, maka mereka akan berfikir melakukannya kembali.   
Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak adanya kepedulian dilakukan langkah tersebut oleh pihak-pihak terkait pelestarian burung. Pihak pengelola kawasan Ranca Upas, hanya berorientasi mengenjot pemasukan income dari sektor pariwisata. Sementara upaya pelestarian terhadap flora dan fauna Ranca Upas, termasuk burung tidak menjadi bagian dari program mereka. Mungkin hal ini disebabkan karena kegiatan birdwatching bukan favorit yang dapat mendatangkan income pemasukan buat pihak pengelola.
Upaya konservasi terhadap burung-burung di Ranca Upas penting dilakukan saat ini, mengingat di tempat ini terdapat 11 jenis terancam punah menurut daftar diterbitkan IUCN. Konservasi tersebut terutama dilakukan terhadap Nisaetus bartelsi.
Artikel lengkap beserta tabel jenis jenis burung di Ranca Upas dapat dilihat disini.
Daftar Pustaka
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 2 Passerines. Lynx  and Birdlife International.
MacKinnon, J. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan
         Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacKinnon, J., Phillips, K., dan van Balen, B. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor. LIPI dan Birdlife-IP.
Mallo, F.N. 2016. Catatan Pengamatan Burung-burung di Jawa. Tidak dipublikasikan.
Mayr, E. and Diamond, J., 2001. The Bird of Northern Melanesia, Speciation, Ecologi & Biogeography. Oxford University Press.
Whittaker, R.J. and Fernandes-Falacois, J.M.  2013. Island Biogeography, Ecology, Evolution, and Conservation. Oxford University Press.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

3 komentar:

  1. REVISI TULISAN:
    Sehubungan ada beberapa kesalahan penulisan artikel ini, maka bersama ini saya merevisi.
    Revisi dilakukan; dalam tabel jumlah seluruh jenis burung terdata 112 (sebelumnya 111 jenis), ditambahkan Kadalan Birah (Phanicophaeus curvirostris) dan Ixobrychus sp.? (cinnamomeus). Dan satu jenis (Berkik (Gallinago sp.) sebelumnya tercantum jenis terhitung di Ranca Upas, tidak terhitung jenis lagi, dengan pertimbangan mungkin hal itu karena kesalahan mengamati salah satu dari kedua jenis Berkik yang sudah tercatat di Ranca Upas. Dan jumlah yang saya amati 104 jenis (ketambahan dua jenis dari sebelum revisi).

    BalasHapus
  2. Terima kasih bang, informasi yg dipaparkan sungguh menggugah rasa ingin ke lokasi. Mengamati dan mencatat temuan yg tersisa saat ini

    BalasHapus
  3. Saya tau Anda ahli biogeografi dan tau banyak jenis2 burung,, tapi ayolah pembaca artikelmu bukan orang2 sepertimu semua, menjelaskan nama burung dengan bahasa ilmiah semua, coba lah anda kasih kurung (nama burung sesuai daerah) jadi kita lebih tau nama2 burung tsb,,, ngerti kan maksud saya apa?

    BalasHapus