Pendahuluan
Danau Towuti, merupakan bagian kompleks Danau Malili. Kompleks Danau Malili terdiri dari lima danau purba yang saling terhubungkan sungai-sungai (Danau Matano, Danau Towuti, Danau Mahalona, Danau Lontoa/Danau Wawontoa dan Danau Masapi). Kompleks danau ini merupakan danau purba, yang lama terisolasi, sehingga tidak heran memiliki banyak hewan akuatik (terutama ikan, udang, kepiting, dan siput) endemic sendiri kawasan ini. Di kompleks Danau Malili terdapat tiga genus endemic sendiri, meliputi 22 jenis Telmatherina, Paratherina dan Tominanga; Telmatherina terdiri dari 16 jenis, Paratherina 4 jenis, Tominanga 2 jenis. Selain itu, di kawasan ini juga dihuni genus lain, merupakan jenis endemic kompleks Danau Malili, yaitu Nomorhamphus dua jenis, Oryzias lima jenis, dan gobi sembilan jenis. Endemesitas hewan akuatik lain (kepiting, udang dan siput) juga tinggi, bahkan beberapa genus juga endemik tersendiri kawasan ini (kepiting dan siput).
![]() |
Gambar 1. Foto bagan ditempatkan di kedalaman lebih 80 m Danau Towuti |
Danau
Towuti seluas 561,1 km2, merupakan danau terluas kedua di Indonesia setelah
Danau Toba, memiliki kedalaman hingga 203 m. Penduduk asli kompleks Danau Malili adalah
Suku Podo’e, berkerabat dengan suku Mori dan Bungku di Morowali, dan suku Tolaki
di Sulawesi Tenggara. Selain juga Suku Bugis sebagai pendatang cukup banyak
jumlahnya di kawasan ini.
Mata
pencaharian utama penduduk menetap di tepi kompleks danau ini adalah nelayan,
dan bertani. Dalam menjalankan aktifitasnya sebagai nelayan, mereka menggunakan
beragam alat tangkap ikan, yaitu pancing, pukat, bagan, panah, tombak,
perangkap, dan sebagainya. Menurut Samuel et al. 2017, bahwa jaring dan
bagan merupakan alat tangkap yang dominan digunakan oleh para nelayan untuk
menangkap ikan endemik.
Dalam
tulisan berikut ini penulis akan menguraikan khusus penggunaan bagan sebagai
alat tangkap ikan di Danau Towuti.
Dari
hasil pendataan penulis lakukan, tercatat lima jenis ikan ditangkap para
nelayan menggunakan bagan di perairan Danau Towuti, yaitu Pangkilang (Tominanga
aurea), Karopa Kuning (Tominanga sanguicauda), Bonti-Bonti (Paratherina
striata), Dui-Dui (Nomorhamphus megarrhamphus), dan Boto-Boto (Glossogobius
matanensis). Seluruhnya endemik sistem Danau Malili.
Untuk
mendapatkan data tulisan ini; aktifitas penempatan bagan, aktifitas persiapan
dan paska penangkapan ikan, proses pengeringan, dan juga penting data dan foto
jenis ikan di tangkap di bagan, penulis mengunjungi langsung ke bagan di
tempatkan di tengah Danau Towuti (bagan milik Bapak Fadlan), pada tanggal 29 -
30 Juni 2024.
Penangkapan
ikan menggunakan bagan
Bagan
merupakan alat tangkap ikan yang menggunakan jaring dan lampu sehingga bisa
digunakan untuk light fishing (pemancingan cahaya). Umumnya berbentuk perahu
berukuran persegi, terdapat pondok kecil, ditempatkan pinggiran atau tengah
perairan.Gambar 2. Foto Bagan setelah selesai dibuat atau diperbaiki di daratan dibawa ke perairan dengan cara didorong menggunakan katinting
Bagan
di Danau Towuti termasuk jenis bagan perahu, yang komponennya terdiri
dari jaring bagan,
rumah bagan, sero, dan lampu.
Mata jaring berukuran kecil, cocok menangkap ikan sejenis teri, terbuat dari
nilon. Jaring diikatkan pada sema-sema bagan berbentuk bujur sangkar terbuat
dari kayu kuat. Pada bagian tengah bagan terdapat alat penggulung (roller)
digerakkan manual tenaga manusia, berfungsi menurunkan dan menaikan jaring
bagan. Jaring diletakkan melingkari bagan, tetapi saat ditarik akan terkumpul
masing-masing pada sisi kiri kanan bagan. Gambar 3. Pemilik Bagan melepas ikatan jaring diikat di sema-sema bagan
![]() |
Gambar 4. Pemilik bagan melepaskan jaring ke dalam danau |
![]() |
Gambar 5. Pemilik bagan memperbaiki jaring robek sebelum diturunkan |
![]() |
Gambar 6. Rumah bagan berfungsi sebagai tempat tidur, shalat dan memasak |
Dibandingkan
bagan sejenis di perairan laut, bagan di Danau Towuti berukuran kecil, sehingga
mudah dioperasikan dibanding bagan di perairan laut; bagan ini dapat
dioperasikan satu orang, tetapi idealnya dioperasikan tiga
hingga empat orang, tetapi karena
untuk menghemat biaya operasional maka beberapa pemilik bagan mengoperasikan
seorang diri. Selain itu keuntungan membuat bagan berukuran kecil dapat lebih
efisien memindahkan dari satu tempat ke tempat lain, serta biaya pembuatan
relatif lebih murah (hanya di bawah Rp. 100.000.000,-). Bandingkan biaya
membuat bagan di perairan laut mencapai miliaran rupiah.Gambar 7. Lampu dinyalakan di sekeliling bagan untuk menarik perhatian ikan
![]() |
Gambar 8. Lampu tengah dinyalakan setelah ikan terkumpul di dalam jaring dan lampu sekeliling bagan dimatikan |
Bagan
di buat di daratan. Setelah bagan siap dioperasikan, lalu menggunakan katinting
di bawa ke perairan dekat tepi danau atau ke tengah danau. Karena ukurannya
kecil sehingga cara membawa katinting cukup didorong menggunakan katinting.
Berbeda bagan di perairan laut, di tarik menggunakan katinting berukuran besar,
karena ukurannya besar. Setelah ditemukan lokasi ideal lalu jangkar diturunkan.Gambar 9. Pemilik bagan menjemur ikan di pinggir sema-sema bagan
![]() |
Gambar 10. Ikan hasil tangkapan dijemur di pinggir sema-sema bagan |
Lokasi
paling baik menangkap ikan di danau ini adalah kedalaman di atas 70 m. Pada
kedalaman tersebut banyak ditangkap ikan Pangkilang, yang merupakan fovorit
para nelayan, karena harganya lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lain,
sedangkan Karopa Kuning banyak dijumpai kedalaman di bawah 70 m. Di kedalaman
lebih dari 70 m juga banyak dijumpai Bonti Bonti. Tanjung Mere dan Lengkona
merupakan lokasi paling favorit para nelayan menangkap ikan, karena di tempat
tersebut banyak terdapat Pangkilang, juga terdapat Karopa Kuning dan
Bonti-Bonti, tetapi tidak sebanyak Pangkilang. Dalam sehari jaring ditarik tiga
kali; jam 19.00/20.00, 00.00, dan 04.00/04.30.Gambar 11. Ikan Pangkilang (Tominanga aurea)
![]() |
Gambar 12. Ikan Bonti-bonti (Paratherina striata) |
![]() |
Gambar 13. Ikan Karopa kuning (Paratherina sanguicauda) |
Sore
hari, jaring diturunkan, agar lebih mudah tenggelam maka pada jaring diikat
pemberat dari batu berukuran sedang. Menjelang jaring diangkat seluruh lampu
bagan dimatikah, hanya menyisakan lampu di bagian tengah, setelah kurang lebih
½ hingga 1 jam jaring masing-masing pada sisi kanan dan kiri bagan perlahan
diangkat/ditarik. Hingga seluruh ikan tangkapan terkumpul pada masing-masing
jaring kanan dan kiri.Gambar 14. Ikan Dui-dui (Nomorhamphus megarrhamphus)
![]() |
Gambar 15. Ikan Boto-boto (Glossogobius matanensis) |
Hasil
tangkapan para nelayan, setelah terkumpul lalu dikeringkan langsung di samping
bagan, setelah kering ikan dikumpulkan. Dalam beberapa hari, ikan terkumpul
dalam jumlah banyak lalu dibawa ke daratan, dan dijual kepada para pengumpul
atau pedagang di pasar atau kios-kios.
Menurut
Pak Fadlan, pemilik bagan di Desa Timampu, bahwa saat ini sejumlah 40 bagan
yang beroperasi di Danau Towuti, bertambah banyak dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Bagan-bagan ini ditempatkan tersebar dekat tepi danau hingga di
kedalaman mendekati 200 m. Walaupun jumlah bagan di danau Towuti tetap
bertambah, tetapi hasil tangkapan nelayan tidak berkurang.Gambar 16. Ikan Karopa kuning dikeringkan
![]() |
Gambar 17. Ikan pangkilang dikeringkan |
Pangkilang,
Karopa Kuning dan Bonti-Bonti merupakan jenis ikan tangkapan utama nelayan,
sedangkan Dui-Dui dan Boto-Boto ikut terjaring saat menangkap jenis ikan utama,
sehingga jumlahnya hanya beberapa ekor. Dui-Dui terkena jaring karena tertarik
cahaya lampu, sedangkan Boto-Boto karena berburu ikan ditangkap nelayan.
Para
nelayan mendapatkan tangkapan ikan, terutama pangkilang rata-rata 10 kg kering
dalam satu hari, kadang kurang atau lebih dari jumlah tersebut. Satu kilogram
Pangkilang kering dijual seharga Rp. 100.000,- sedangkan Karopa Kuning dan
Bonti Bonti seharga Rp. 50.000,- sehingga dalam sehari mereka mendapatkan
penghasilan Rp. 500.000,- hingga 1.000.000,- Di pasar dan kios-kios di tepi
Danau Towuti, terutama di Desa Timampu harga Pangkilang Rp. 120.000,- hingga
Rp. 130.000,- /kg, sedang Karopa Kuning dan Bonti-Bonti Rp. 70.000,- hingga Rp.
90.000,-
Ucapan
Terima KasihGambar 18. Ikan Pangkilang dijual di kios Desa Timampu
Penulis
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Daniel F. Mokodongan, atas informasi
tentang ikan endemik sistem Danau Malili diberikan kepada penulis sebelum
penulis berangkat ke lokasi, Bapak Fadlan bersama keluarga atas kebaikan
menjamu penulis selama di Desa Timampu, bahkan dengan rela hati mengizinkan
penulis ikut bersama menginap di bagan miliknya, serta memberikan banyak
informasi tentang penangkapan ikan menggunakan bagan di Danau Towuti, dan Pak
Ahmad bersama stafnya di Wawondula, telah membantu penulis mendapatkan banyak
jenis ikan dan udang endemik system Danau Malili. Juga Moh. Ihsan Nur Mallo,
yang telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini. Serta semua pihak yang
tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama
melakukan kegiatan di lapangan.
Daftar
Pustaka
Kottelat, M., &
Whitten, A.J. (1993). Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi.
Periplus edition.
Miesen, F.W.,
Droppelmann, F., Hüllen, S., Hadiaty, R.K. & Herder, F. (2016). An
annotated checklist of the inland fishes of Sulawesi. Bonn zoological Bulletin
64 (2): 77–106. March 2016.
Samuel, S., Husna,
H., & Makmur S. (2017). Perikanan Tangkap di Danau Matano, Mahalona dan
Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Perikanan Indonesia. Pebruari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar