Oleh : Fachry Nur Mallo
Gambar 1: Foto Myza celebensis, jenis Meliphagidae di dataran tinggi |
Pendahuluan
Pulau Sulawesi sangat menarik perhatian para ornitolog sejak beberapa abad yang lalu hingga sekarang,
karena memiliki kekayaan endemisitas burung yang tinggi. Dari
462 jenis
burung yang tercatat
di pulau ini (Mallo, dkk. 2017), 134 jenis diantaranya endemik kawasan ini (del Hoyo, et al., 2014, 2016), dan
menjadi penyumbang terpenting kekayaan burung endemik di Indonesia. Yang
lebih menarik, kawasan ini memiliki banyak jenis yang khas.
Hal ini tercermin dengan terdapatnya satu famili endemik
kawasan ini; Hylocitreidae, beranggotakan
dua jenis, dan 17 marga endemik; Macrocephalon,
Cryptophaps, Rhampococcyx, Aramidopsis, Meropogon, Cittura, Myza,
Coracornis, Celebesica, Eutrichomyias, Malia, Streptocitta,
Enodes, Scissirostrum, Geomalia,
Cataponera dan Heinrichia.
Hal ini menyebabkan para
ornitolog dan biologiwan banyak yang tertarik
melakukan penelitian terhadap burung-burung Sulawesi. Dari waktu ke
waktu para ornitolog tak henti-hentinya mengunjungi hutan-hutan Sulawesi untuk
melakukan misi tersebut. Tetapi walaupun demikian penelitian terhadap kompetisi
dan pembagian sumberdayanya sangat jarang dilakukan. Mungkin penelitian mengenai
hal ini hanya di lakukan Sunarto pada Nopember 1994 hingga Maret 1995 tentang
pembagian sumberdaya rajaudang di Cagar Alam
Tangkoko-Dua Sudara dan penelitian yang saya lakukan 1997, 1998, 1999
tentang kompetisi dan pembagian sumberdaya jenis-jenis Nectariniidae dan
Meliphagidae di Taman Nasional Lore Lindu.
Dalam menguraikan mengenai
materi tulisan ini, selain dari hasil kedua penelitian tersebut, juga diuraikan
hasil pengamatan saya lakukan pada beberapa tempat di Sulawesi.
Kompetisi dan pembagian sumberdaya
Banyak ahli
percaya bahwa kompetisi antar-jenis merupakan faktor utama yang mempengaruhi
organisasi struktural dan organisasi ekosistem (McNaughton, et al., (1992). Dengan demikian
kompetisi antar-jenis pada burung-burung Sulawesi merupakan faktor utama yang
sangat berpengaruh pada ekosistem burung-burung di Sulawesi.
Gambar 2: Foto Cinnyris jugularis, burung madu paling umum di dataran rendah |
Kompetisi jenis-jenis Nectariniidae
dan Meliphagidae telah penulis teliti di
Taman Nasional Lore Lindu
pada 1997, 1998 dan 1999. Obyek penelitian terdiri empat jenis Nectariniidae; Anthreptes
malacensis, Leptocoma cericea, Cinnyris jugularis dan
Aethopyga siparaja, tiga jenis Meliphagidae; Myza celebensis, Myza
sarasinorum dan Myzomela chloroptera. Diantara ketujuh jenis tersebut telah
terjadi kompetisi dalam memperebutkan sumberdaya. Tetapi walaupun demikian
jenis-jenis tersebut telah mengurangi kompetisi dengan melakukan pembagian
sumberdaya.
Gambar 3: Jumlah "jam hewan" digunakan Myza spp dan Myzomela chloroptera mencari dan memakan makanan |
Perbedaan tempat pada setiap ketinggian dari permukaan laut sangat
berpengaruh bagi pembagian sumberdaya. Anggota Nectariniidae
penyebarannya tidak sampai pada tempat penyebaran Myza celebensis (ketinggian 1400 - 1700 mdpl), Myza sarasinorum (ketinggian di atas
1700 mdpl) dan Myzomela
chloroptera (ketinggian 1000 - 2000 mdpl). Di tempat lain Sulawesi,
walaupun ketiga jenis disebut
terakhir juga dijumpai pada dataran
rendah, tetapi di lokasi penelitian baru
dijumpai di atas ketinggian 1000 mdpl, bahkan umum di atas 1500 mdpl. Dengan demikian di lokasi penelitian ketiganya dimasukkan penghuni dataran tinggi. Relung hutan dihuni Anthreptes
malacensis, Leptocoma
cericea, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja di
dataran rendah digantikan Myza spp., dan Myzomela chloroptera di dataran tinggi. Dengan demikian Myza spp., Myzomela chloroptera, dan Anthreptes malacensis, Leptocoma
cericea, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja melakukan pembagian sumberdaya dengan cara
menghuni tempat berbeda
berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Mekanisme pembagian sumberdaya serupa juga terjadi
antara Myza celebensis dan Myza sarasinorum. Myza celebensis umumnya menghuni tempat lebih rendah ketinggiannya (1400-1700 mdpl) dari Myza sarasinorum (di atas
1700 mdp). Adanya perbedaan
letak ketinggian tempat kedua
jenis ini akan menghindari keduanya berkompetisi memperebutkan sumberdaya.
Gambar 4: Jumlah "jam hewan" digunakan Myza spp dan Myzomela chloroptera beraktivitas di strata hutan |
Kompetisi memperoleh sumberdaya lebih ketat
terjadi antara Myzomela chloroptera dan kedua jenis Myza. Selama dilakukan penelitian, terlihat tempat
penyebaran ketiganya tumpang-tindih, karena dua diantara
ketiganya secara bergantian
sering dijumpai hidup dalam satu habitat (coexistence). Myzomela chloroptera dijumpai dari ketinggian 1000- di atas
2000 mdpl. Dengan
demikian penyebarannya
mencakup tempat kedua jenis Myza. Hal ini menyebabkan terjadi kompetisi antara Myzomela
chloroptera dan kedua jenis Myza tersebut.
Jika tempat penyebaran Myzomela chloroptera
meliputi tempat penyebaran kedua jenis Myza, maka kemungkinan dilakukan agar tetap
hidup bersama-sama adalah melakukan pembagian jenis pakan, melakukan kegiatan
dalam waktu berbeda atau
melakukan kegiatan pada strata lapisan hutan berbeda. Dari hasil perhitungan jumlah “jam hewan” digunakan, Myza spp. dan Myzomela chloroptera dalam melakukan aktifitas mencari dan
memakan makanan yang dikunjungi, nampak antara ketiganya mempunyai perbedaan sumber makanan. Myza spp. lebih banyak mengkonsumsi tumbuhan berbunga tabung, sementara Myzomela chloroptera lebih banyak
mengkonsumsi jenis tumbuhan memiliki bentuk bunga tak berbentuk tabung.
Adanya perbedaan jenis makanan antara Myzomela chloroptera dan Myza
spp. ini ditunjang perbedaan
panjang paruhnya. Myza chloroptera paruhnya agak pendek dibanding paruh Myza spp. Dengan demikian lebih cocok mengisap bunga tidak bertabung atau bunga
bertabung pendek, sementara kedua jenis Myza
yang memiliki bentuk paruh agak panjang, sehingga lebih cocok mengisap bunga bertabung panjang (lihat
gambar 3). Selain faktor tersebut,
selama dilakukan penelitian jenis bunga yang menjadi sumber makanan Myzomela chloroptera ukurannya
lebih kecil, dibanding ukuran bunga sumber makanan Myza spp.
Selain adanya pembagian jenis dan bentuk ukuran
pakan, antara Myzomela chloroptera
dan Myza spp., telah membagi ruang secara vertikal dalam strata
lapisan hutan yang berbeda. Myza spp. lebih banyak
melakukan aktifitas di semak disamping
tajuk bawah, sementara Myzomela chloroptera lebih
banyak melakukan aktifitas di tajuk bawah
dan tajuk atas (lihat gambar 4).
Gambar 5: Foto Alcedo atthis, rajaudang paling umum di dataran rendah selain Todiramphus chloris |
Pola pembagian
sumberdaya pada jenis-jenis Nectariniidae dan Meliphagidae, juga terjadi pada Alcedinidae, berdasarkan
penelitian Sunarto di Cagar Alam
Tangkoko-Duasudara. Menurut
Sunarto (1996), di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara terdapat sembilan jenis
rajaudang (Ceyx fallax, Alcedo atthis, Pelargopsis
melanorhyncha, Halcyon coromanda, Actenoides monachus, Actenoides princeps,
Todiramphus chloris, Todiramphus sanctus dan Cittura
cyanotis). Ceyx fallax, Pelargopsis melanorhyncha, Actenoides
monachus, Actenoides princeps dan Cittura cyanotis adalah
endemik Sulawesi.
Komposisi jenis-jenis
rajaudang ditemukan pada tiap tipe habitat adalah khas; Ceyx fallax dan
Actenoides monachus ijumpai di hutan dataran rendah, Alcedo atthis dijumpai di sungai dan daerah pesisir pantai, Halcyon coromanda di hutan pantai dan
sungai, Actenoides princeps di hutan
pegunungan, Todiramphus chloris di tepi pantai, sungai dan tempat-tempat terbuka lain dan Cittura cyanotis tersebar mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan pantai.
Di cagar alam
ini rajaudang endemik Sulawesi lebih banyak ditemukan daripada raja udang
kosmopolit. Semuanya kecuali satu jenis endemik Sulawesi (Actenoides princeps) menghuni habitat hutan jauh dari perairan.
Beragam cara pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh rajaudang di Tangkoko.
Hal-hal yang mendukung keragaman cara tersebut antara lain adalah sebaran yang
berbeda, baik secara horizontal dalam transek maupun secara fertikal dalam
strata ketinggian hinggap atau terbang: perbedaan ukuran pohon yang digunakan,
serta perbedaan kepadatan populasi antar jenis di habitat yang sama dan/atau
jenis yang sama di habitat berbeda.
Pembagian
sumberdaya tampaknya telah terjadi pada jenis-jenis rajaudang di Cagar alam Tangkoko-Dua Sudara yang ada
demikian beragam, tetapi masing-masing memiliki keperluan akan sumberdaya
yang berbeda-beda, sehingga jenis-jenis
burung tersebut tetap dapat hidup berdampingan.
Dua jenis rangkong di Sulawesi Rhabdotorrhinus
exarhatus dan Aceros
cassidix juga membagi sumberdaya dengan cara
melakukan pembagian strata lapisan hutan primer dan sekunder tua secara vertikal. Aceros cassidix lebih sering menghuni lapisan tajuk atas dibanding strata lainnya,
sementara Rhabdotorrhinus exarhatus lebih sering menghuni strata lapisan hutan tajuk bawah dibanding strata lapisan hutan lain. Aceros
cassidix hidup berkelompok
kecil hingga besar, sedangkan Rhabdotorrhinus exarhatus hanya hidup berkelompok kecil.
Gambar 6: Foto Trichoglossus ornatus, jenis perkici yang berhasil berkompetisi dengan Trichoglossu meyeri |
Kompetisi
antara jenis Trichoglossus di daratan Sulawesi dan Kepuluan Sula juga cukup
menarik. Di daratan Sulawesi dan Kepulauan Sula terdapat tiga jenis, yaitu Trichoglossus ornatus, Trichoglossus meyeri dan Trichoglossus flavoviridis. Trichoglossus ornatus dan Trichoglossus meyeri menghuni daratan
Sulawesi. Keduanya berkompetisi ketat,
dan Trichoglossus ornatus lebih kompetitif sehingga hidup tersebar luas di dataran rendah
dengan populasi tinggi, sedangkan Trichoglossus meyeri tidak mampu berkompetisi untuk mendapatkan
sumberdaya eksklusif di dataran rendah dan
terdesak menyebar dari batas tertinggi penyebaran Trichoglossus ornatus hingga
ke puncak-puncak gunung ketinggian 2.400 m. Sementara Trichoglossus flavoviridis
(allopatrik Trichoglossus
meyeri) hidup bebas tanpa pesaing utama Trichoglossus ornatus di Kepulauan Sula, sehingga tersebar luas
dari pesisir pantai hingga puncak tertinggi 1.650 m Kepulauan Sula di Pulau
Taliabu, dengan populasi tinggi. Fenomena penyebaran Trichoglossus flavoviridis di Kepulauan Sula dapat menggambarkan
bahwa kawasan dataran rendah daratan
Sulawesi merupakan tempat-tempat dibutuhkan Trichoglossus meyeri.
Gambar 7: Foto Corvus enca salah satu burung yang sukses berkompetisi |
Kompetisi sesama anggota marga Corvus telah
diamati di Pulau Peleng, Kepulauan Banggai. Di Pulau Peleng terdapat dua jenis marga corvus (Corvus unicolor dan Corvus enca). Saat ini Corvus unicolor tersebar terbatas di barat dan tengah
Pulau Peleng dari ketinggian 300-915 mdpl, sedangkan Corvus enca tersebar lebih luas di seluruh wilayah Kepulauan
Banggai-Sula, terutama diketinggian yang rendah. Telah terjadi kompetisi dalam memperoleh sumberdaya antara Corvus uncolor dan Corvus enca. Diduga
Corvus unicolor kalah
berkompetisi dengan Corvus enca,
sehingga Corvus unicolor terdesak
hidup menempati habitat yang tidak ditempati Corvus enca. Hal
ini disebabkan karena Corvus enca memiliki
kemampuan adaptasi lebih baik terhadap lingkungannya, sehingga dapat hidup
dengan baik pada berbagai tipe habitat yang memiliki sumberdaya terbatas;
habitat yang jarang ditempati burung, misalnya di pusat
pemukiman atau kawasan tandus dan kering yang kurang ditumbuhi tumbuhan, serta lebih kompetitif terhadap
pesaingnya dalam memperebutkan sumberdaya.
Selain kurang
adaptif dibanding Corvus enca, diduga Corvus
unicolor kalah berkompetisi dengan Corvus
enca, karena Corvus enca hidup berkelompok kecil hingga besar, sementara Corvus unicolor hidup soliter,
berpasangan atau berkelompok
kecil tiga hingga empat individu saja. Jadi, wajar bila Corvus unicolor
kalah berkompetisi dengan Corvus enca dalam memperebutkan
sumberdaya yang dibutuhkannya di Pulau Peleng.
Walaupun
demikian, diperkirakan antara keduanya kadang hidup dalam satu tempat (coexistensi),
karena saat dilakukan
pengamatan kadang keduanya dijumpai pada tempat yang berdekatan. Dalam kondisi
demikian keduanya dapat mengurangi
atau memperkecil kompetisi antar-jenis dengan cara pemisahan ruang berdasarkan ketinggian zona hutan primer
dan hutan sekunder tua secara
horizontal. Hal ini dapat dilihat pada pengamatan Corvus unicolor di Dusun Tunggaling, dijumpai pada tajuk
pohon-pohon yang berukuran
tinggi (ketinggian 25 s/d 30
m dari permukaan tanah) pada zona tajuk atas, dan berdasarkan
wawancara pada masyarakat kadang menempati tajuk pohon yang lebih rendah pada
zona tajuk bawah, sementara Corvus enca
ditempat tersebut hidup secara
umum pada pohon-pohon yang lebih rendah, yaitu berketinggian 5 s/d 25 meter
dari permukaan tanah, pada zona semak dan tajuk bawah hutan primer dan
hutan sekunder tua, tetapi kadang
hidup ditajuk atas dan permukaan tanah.
Di Dusun
Tunggaling dan Dusun Kokolomboi juga teramati Corvus unicolor tersebar hanya pada hutan primer dan hutan sekunder
tua, sedangkan Corvus enca tersebar
pada areal terbuka; di pesisir pantai, areal lahan budidaya, areal persawahan,
areal dekat pemukiman, disamping juga kadang pada hutan primer dan sekunder
tua. Dengan demikian keduanya membagi sumberdaya dengan menghuni tipe habitat
yang berbeda.
Di Kepulauan
Banggai-Sula kompetisi antara Pachycephala griseonota dan Pachycephala
pectoralis juga menarik. Di Pulau Peleng Pachycephala griseonota populasinya sedikit, hanya dijumpai pada
ketinggian 900-1000 mdpl, sedangkan Pachycephala pectoralis umum di jumpai pada ketinggian 600-1000 mdpl. Di
Pulau Taliabu Pachycephala griseonota populasinya
sedikit di jumpai dari ketinggian 0-1000 mdpl, sedangkan Pachycephala
pectoralis dijumpai pada
ketinggian 0-1300 mdpl dengan populasi lebih banyak daripada Pachycephala griseonota. Dari fakta
tersebut dapat menggambarkan bahwa Pachycephala griseonota kalah berkompetisi
dengan Pachycephala pectoralis.
Gambar 8: Foto Ducula luctuosa, jenis pergam yang tidak kompetitif di daratan Sulawesi |
Pada anggota Columbidae kompetisi dan pembagian sumberdaya lebih rumit terjadi. Anggota Ducula berkompetisi
ketat dalam memperoleh sumberdaya,
terutama makanan. Di Sulawesi, sesama anggota Ducula tidak pernah atau
jarang dijumpai hidup bersama-sama
dalam satu areal. Antara Ducula bicolor dan Ducula luctuosa telah melakukan pembagian sumberdaya dengan cara
menempati tempat berbeda, Ducula bicolor
menempati areal pada pesisir
pantai dan pulau-pulau kecil dekat pesisir pantai, sementara Ducula luctuosa menempati areal agak jauh sedikit dari pesisir pantai dibelakang areal Ducula bicolor.
Kompetisi antara Ducula aenea, Ducula luctuosa dan Ducula bicolor lebih menarik, karena Ducula aenea menempati tempat Ducula luctuosa dan Ducula bicolor. Tetapi
kompetisi lebih ketat terjadi antara Ducula
aenea dan Ducula bicolor dibanding Ducula aenea dan Ducula luctuosa, hal ini dibuktikan penyebaran Ducula
aenea menempati areal agak jauh sedikit dibelakang areal Ducula bicolor, untuk menghindari kompetisi
ketat dengan Ducula bicolor.
Tetapi pada beberapa tempat, Ducula aenea juga dijumpai pada pesisir pantai
yang tidak ditempati Ducula bicolor. Di Teluk Tomori (dekat Cagar Alam Morowali) beberapa kali terlihat Ducula
bicolor yang telah mapan menghuni pulau-pulau kecil mengusir Ducula aenea yang datang mengunjungi
pulau-pulau kecil yang di tempati Ducula
bicolor.
Di kawasan Taman Nasional Lore Lindu marga Ducula
saling menghindari berkompetisi
dengan menghuni tempat
berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, disamping menghuni relung hutan dan
areal berbeda bila menghuni ketinggian yang sama. Di kawasan ini terdapat empat jenis Ducula; Ducula fosteni, Ducula radiata, Ducula aenea, Ducula luctuosa ditambah Cryptophaps
poecilorrhoa masih
berkerabat. Diantara semua
marga Ducula tersebut Ducula aenea
paling sukses melakukan kompetisi. Ducula
aenea tersebar di dataran
rendah dengan populasi
tinggi. Ducula luctuosa yang juga tersebar di dataran rendah nampaknya kalah berkompetisi dengan
Ducula aenea. Hal ini menyebabkan populasinya
sedikit, dan menempati areal tidak
ditempati Ducula aenea. Keadaan ini
juga terlihat di beberapa tempat lain Sulawesi; Ducula luctuosa tersebar di dataran rendah dengan mengisi areal dan relung tidak di tempati Ducula aenea atau hidup dengan populasi kecil
di areal ditempati Ducula aenea.
Sebenarnya dari pengamatan di pesisir pantai
Sulawesi, Ducula aenea hanya
melakukan kompetisi ketat dengan Ducula
bicolor. Ducula forsteni dan Ducula radiata juga menghindari
berkompetisi dengan Ducula aenea,
dengan menghuni areal di
tempat lebih tinggi dari Ducula aenea.
Sementara Cryptophaps poecilorrhoa merupakan penghuni asli dataran tinggi. Ducula aenea tersebar dari pesisir
pantai hingga 600 m (Kamarora), sementara Ducula
forsteni dan Ducula radiata
tersebar mulai dari ketinggian sekitar 600 m. hingga diatas 2000 m. Padahal di
tempat lain di Sulawesi kedua jenis tersebut tersebar mulai dari ketinggian 150 mdpl (Ducula
forsteni) dan 200 mdpl (Ducula radiata).
Gambar 9: Foto Ducula radiata, pergam penghuni dataran tinggi |
Di dataran tinggi Ducula forsteni, Ducula
radiata dan Cryptophaps poecilorrhoa tidak terlalu ketat berkompetisi, mungkin karena ketiga jenis tersebut hidup soliter, berpasangan atau berberkelompok kecil. Sering teramati Ducula forsteni hidup pada zona tajuk atas,
sementara Ducula radiata dan Cryptophaps
poecilorrhoa hidup di zona
tajuk bawah hingga semak. Mungkin ketiga jenis ini menghindari berkompetisi dengan menghuni
tajuk berbeda untuk mendapatkan sumberdaya. Selain itu populasi Ducula forsteni cukup tinggi di
ketinggian 600-700 mdpl.
Sementara Ducula radiata dan Cryptophaps
poecilorrhoa lebih umum dijumpai di atas ketinggian 1700 mdpl. Sedangkan di ketinggian
1700 mdpl hingga sedikit di bawah 1700 mdpl
jarang dijumpai.
Pembagian sumberdaya antara Ducula radiata dan Cryptophaps poecilorrhoa tidak pernah teramati, karena Cryptophaps poecilorrhoa jarang dijumpai, tetapi mungkin keduanya menghindari berkompetisi dengan melakukan
waktu kunjungan berbeda pada sumber makanan atau Ducula radiata menghuni relung atau areal yang tidak ditempat Cryptophaps
poecilorrhoa, seperti
yang dilakukan Rampiculus fischeri dan
Ptilinopus temminckii di dataran tinggi.
Di Kepulauan
Banggai-Sula anehnya sedikit dijumpai Ducula
bicolor, padahal jenis ini umum dijumpai hampir pada seluruh pesisir pantai
Sulawesi dan pulau-pulau kecil. Mungkin kalah berkompetisi dengan Ducula luctuosa dan Ducula aenea.
Di Kepulauan
ini, penyebaran Ducula aenea menempati habitat agak jauh sedikit dibelakang habitat
Ducula luctuosa, untuk
menghindari kompetisi yang ketat dengan Ducula
luctuosa. Pada beberapa tempat, Ducula aenea juga dijumpai pada pesisir pantai yang tidak ditempati
Ducula luctuosa. Dengan demikian diduga Ducula aenea mengisi bagian-bagian areal
yang tidak ditempati Ducula luctuosa.
Di Pulau Taliabu, Ducula luctuosa
hanya tersebar di pesisir pantai hingga ketinggian 100 mdpl, sedangkan Ducula aenea dijumpai di pesisir pantai
hingga ketinggian 400 mdpl. Demikian juga di Pulau Peleng Ducula luctuosa tersebar dari pesisir pantai hingga ketinggian
300 mdpl, sedangkan Ducula aenea
tersebar dari pesisir pantai hingga ketinggian di atas 300 mdpl.
Gambar 10: Foto Ptilinopus melanospilus, merpati hutan yang mampu beradaptasi pada beragam habitat |
Pada
merpati hutan berukuran kecil kompetisi tidak seketat pada Ducula, bahkan dua
anggota Treron, selalu dijumpai hidup bersama-sama memakan buah Ficus spp.,
bahkan tidak jarang Macropygia amboinensis, Treron
vernans, Treron griseicauda dan Ptilinopus melanospilus, kadang Toracoena
manadensis dijumpai bersama-sama mengunjungi satu pohon Ficus spp atau pohon saling berdekatan. Di dataran tinggi Rampiculus fischeri dan
Ptilinopus temminckii tidak pernah dijumpai mencari makan bersama-sama, tetapi sering
mengunjungi pohon yang sama dengan waktu kunjungan berbeda, terutama Schefflera spp. Mungkin keduanya telah
melakukan pembagian sumberdaya berdasarkan pembagian waktu kunjungan. Dari
fakta tersebut di atas dapat diketahui
tumbuhan yang menyediakan buah berukuran kecil sebagai sumber makanan burung
melimpah tersedia di dataran rendah, sedangkan di dataran tinggi jarang.
Kompetisi
ketat juga terjadi antara Chalcophaps indica dan Chalcophaps stephani,
tetapi keduanya telah melakukan pembagian sumberdaya dengan
menghuni tempat yang berbeda; Chalcophaps
indica lebih sering menghuni areal semak, lahan budidaya di sekitarnya masih ditumbuhi semak atau hutan dekat lahan budidaya, sedangkan Chalcophaps stephani menempati areal sedikit di belakang tempat penyebaran Chalcophaps
indica, pada hutan primer maupun sekunder agak jauh dari pemukiman dan lahan budidaya.
Mungkin kompetisi antara keduanya
dan
Gallicolumba tristigmata juga
terjadi. Di Taman Nasional Lore Lindu kompetisi tersebut
dapat dihindari dengan melakukan pembagian sumberdaya, menempati tempat berbeda
berdasarkan ketinggian dari permukaan laut; kedua jenis Chalcophaps hidup tersebar pada dataran rendah hingga ketinggian 600 mdpl, sedangkan Gallicolumba tristigmata
umum tersebar pada
daerah yang lebih tinggi diatas 700 mdpl. Padahal di tempat
lain di Sulawesi, Gallicolumba tristigmata juga tersebar dari hutan
dekat pesisir pantai hingga ketinggian 2000 m.
Streptopelia
tranquebarica dan Spilopelia chinensis sering dijumpai membentuk kelompok antar-jenis memakan buah Jastopha
spp. di hutan monsoon utara Taman Nasional Lore Lindu dan memakan buah
padi tercecer pada lahan persawahan (paska panen) di persawahan Desa Torue dan
barat leher Sulawesi. Dengan demikian keduanya tersebut tidak ketat melakukan kompetisi untuk mendapatkan makanan.
Gambar 11: Foto Zosterops chloris, kacamata yang paling mampu berkompetisi terutama di dataran rendah, pesisir pantai dan pulau pulau kecil |
Kompetisi pada jenis Zosteropidae juga terjadi.
Saya telah mengamati kompetisi Zosterops
chloris dan Zosterops atrifrons
di beberapa tempat. Dari enam jenis Zosteropidae daratan Sulawesi (Heleia squamiceps, Zosterops montanus,
Zosterops chloris, Zosterops
consobrinorum, Zosterops anomalus dan Zosterops atrifrons),
Zosterops chloris dan Zosterops
atrifrons tersebar lebih luas dan paling berhasil dalam melakukan kompetisi dibanding
jenis Zosteropidae lain. Penyebaran
keduanya saling tumpang
tindih, karena keduanya penghuni dataran rendah Sulawesi. Zosterops chloris umumnya tersebar pada pulau-pulau kecil dekat
pesisir pantai, areal pesisir pantai, terutama pada hutan bakau dan dataran rendah (terutama
pada areal kering), sementara Zosterops atrifrons tersebar dibelakang habitat Zosterops chloris di areal agak jauh dari pesisir pantai, tetapi
pada beberapa tempat di Sulawesi, termasuk Taman Nasional Lore Lindu Zosterops chloris juga dijumpai pada tempat yang dihuni Zosterops atrifrons atau yang tidak dihuni Zosterops atrifrons jauh dari pesisir pantai hingga
ketinggian 1700 m.
Nampaknya bila melihat fakta tersebut, Zosterops chlrois lebih kompetitif dibanding Zosterops
atrifrons. Mungkin populasi Zosterops
chloris dan Zosterops atrifrons yang menempati habitat yang tumpang tindih ini telah mengurangi kompetisi dalam
memperebutkan sumberdaya dengan cara melakukan pembagian waktu kunjungan pada sumber makanan, atau Zosterops chloris menempati areal yang tidak ditempati Zosterops atrifrons, begitupula
sebaliknya.
Gambar 12: Foto Zosterops atrifrons, kompetitor utama Zosterops chloris di dataran rendah |
Di pulau-pulau
berukuran kecil dan areal kering seperti Lembah Palu sangat melimpah populasi Zosterops chloris dan tidak dijumpai Zosterops atrifrons. Termasuk di
Semenanjung barat daya yang kering juga umum dijumpai, dari hutan sekunder,
lahan budidaya hingga di areal pemukiman perkotaan dan pedesaan. Di kawasan ini Zosterops chloris berkompetisi dengan penghuni asli (endemik)
Semananjung barat daya, Zosterops
anomalus.
Yang mengherankan
Di Kepulauan Banggai-Sula, Zosterops
chloris jarang dijumpai. Mungkin karena relung-relung kepulauan ini telah
dikuasai Zosterops atrifrons dan
telah hidup mapan, jauh sebelum Zosterops chloris menginvasi kepulauan
tersebut.
Terjadinya kompetisi pada anggota Strigiformes
(burung hantu) juga menarik untuk diketahui. Saya telah melakukan banyak
pengamatan di Taman Nasional Lore Lindu mengenai kompetisi kelompok burung ini.
Di kawasan ini terdapat delapan jenis Strigiformes; Tyto longimembris, Tyto
inexpectata, Tyto rosenbergii, Ninox japonica, Ninox
ochracea, Ninos
ios, Ninox punctulata dan Otus
manadensis.
Ketiga jenis Tyto telah melakukan kompetisi dalam memperoleh sumberdaya, dan Tyto
rosenbergii yang paling sukses berkompetisi. Di Sulawesi jenis ini tersebar
luas di seluruh daratan hingga ke Pulau Sangihe dan Pulau Peleng dengan
populasi cukup tinggi, dari dekat pesisir pantai hingga ketinggian 1200 mdpl, tetapi lebih umum di dataran rendah.
Sedangkan tiga jenis Tyto lain (Tyto longimembris, Tyto
nigrobrunnea dan Tyto inexpectata) tersebar terbatas pada tempat tertentu saja,
dengan populasi yang sedikit. Nampaknya ketiga jenis Tyto tersebut kalah berkompetisi dengan Tyto ronsenbergii, sehingga tidak
tersebar luas, populasi sedikit dan hanya memanfaatkan relung yang tidak dihuni
Tyto ronsenbergii; Tyto longimembris hanya dijumpai pada
tempat tertentu dengan populasi sedikit, sedangkan Tyto inexpectata terbatas hanya dijumpai pada hutan primer di tempat
tertentu Semenanjung utara, bagian tengah Sulawesi dan timur
Sulawesi dengan populasi sedikit, dan Tyto nigrobrunnea hidup terisolasi di hutan
primer Pulau Taliabu dengan populasi sedikit dan tidak tersebar ke Kepulauan
Banggai dan daratan Sulawesi, karena Tyto
rosenbergii telah mapan hidup di tempat tersebut. Di Taman Nasional Lore Lindu Tyto rosenbergii umum di dataran rendah,
jarang bahkan mungkin tidak ada di dataran tinggi. Menghuni tempat terbuka; tepi hutan, dekat lahan
budidaya, lahan persawahan terdapat pepohonan, padang alang-alang hingga
pemukiman di pedesaan dengan populasi tinggi. Tyto inexpectata tersebar pada ketinggian 750 (?)-1700 mdpl, dengan populasi sedikit dan hanya
menghuni hutan primer, sedangkan Tyto
longimembris dijumpai pada ketinggian 600 mdpl dan 1400 mdpl (Sedoa) pada lahan budidaya dan pemukiman
di pedesaan. Nampaknya di
Taman Nasional Lore Lindu kompetisi ketat terjadi antara Tyto rosenbergii dan Tyto
longimembris, karena keduanya memiliki tipe habitat yang sama; menghuni areal terbuka; tepi hutan dan pemukiman. Mungkin untuk
menghindari kompetisi keduanya, dengan menghuni tempat yang berbeda
berdasarkan ketinggian dari
permukaan laut; Tyto rosenbergii umum dijumpai di dataran rendah di bawah ketinggian 1000 mdpl, sedangkan populasi Tyto
longimembris mungkin
meningkat jumlahnya di atas ketinggian
1000 m.
Kompetisi jenis Strigiformes berukuran kecil di daratan
Sulawesi tidak seketat yang
berukuran besar. Diantara anggota Strigiformes berukuran kecil, kompetisi
pada marga Ninox yang menarik dibanding Otus, karena di kawasan ini dijumpai empat jenis
Ninox, sedangkan
Otus hanya satu jenis.
Dalam beberapa
kali pengamatan di dataran rendah, dijumpai Ninox scutulata,
Ninox ochracea dan Ninox punctulata pada areal yang sama
saling berdekatan, bahkan sering
dijumpai Ninox ochracea dan Ninox punctulata menghuni pohon yang
sama atau pohon saling
berdekatan. Sedangkan Ninox ios dan Ninox punctulata di dataran tinggi
sering dijumpai menempati pohon di hutan primer saling
berdekatan.
Daftar Pustaka
Coates, B.J. and Bishop, K.D.
1997. A Guide to the Bird of
Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the
Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
Coates, B.J. dan Bishop, K.D.
2000. Panduan Lapangan
Burung-burung di Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Terjemahan. Bogor. Birdlife-Indonesia
Programme dan Dove Publication.
del Hoyo, J., and Collar, N.J.
2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
1 Non Passerines. Birdlife International.
del Hoyo, J., and Collar, N.J.
2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
2 Passerines. Birdlife International.
Mallo,
F.N. 1999. Ekologi dan Konservasi Burung Myza spp. di
dataran tinggi Taman Nasional Lore Lindu. Tidak dipublikasikan. Palu.
Mallo,
F.N. 2015. Burung-Burung di Taman Nasional Lore Lindu, Catatan
Ekologi, Konservasi dan Status Keberadaan Jenis. Bandung. Celebes Bird Club (CBC) dan Program
Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran.
Mallo,
F.N., Putra, D.D., Rahman, A., Mallo, M.I.N, dan Herlina. 2015A. Gagak
Banggai dan Burung-Burung di Kepulauan
Banggai-Sula. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
(PSMIL) Universitas Padjadjaran.
Mallo,
F.N., Putra, D.D., Rahman, A, Mallo, M.I.N, dan Sahardin. 2016. Burung-Burung di Cagar Alam
Morowali, Catatan Ekologi, Konservasi
dan Status Keberadaan Jenis. Celebes Bird Club
(CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas
Padjadjaran.
Mallo,
F.N. dan D.D. Putra. 2018. Panduan
Burung-Burung di Sulawesi. Belum
dipublikasikan. Celebes Bird
Club (CBC). Palu
McNaughton, S.J. and Wolf, L.L.
1992. Ekologi Umum. Gadjah
Mada Universitas Press. Yogyakarta.
Raharjaningtrah, W.,
Mawengko, C., Putra,
D.D., Tinulele, I., Ma’dika, B., and Mallo, F.N. 2002., The Bird of Lore Lindu National Park. A Report Preparing for the Nature
Conservancy. The Nature Conservancy. Palu
Sunarto. 1996. Pembagian Sumberdaya pada Burung-Burung
Rajaudang di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara. Skripsi.
Universitas Indonesia, Depok.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan
Enderson, G.S. 1987. Ekologi
Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar