Selasa, 28 Mei 2019

KOMPETISI DAN PEMBAGIAN SUMBERDAYA CEKAKAK JAWA (HALCYON CYANOVENTRIS) DAN CAKAKAK SUNGAI (TODIRAMPHUS CHLORIS) DI JAWA


Oleh  Fachry Nur Mallo
Gambar 1.  Kontak fisik Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris di lahan  persawahan
 di kaki Gunung Papandayan Garut, Jawa Barat (@ Budi Hermawan)
A. Pendahuluan
Suara --cek-cek-cek--, atau --cekekk-cekekk--, diulang beberapa kali, penuh semangat, keras dan ribut, merupakan simponi alam saya dengar pertama kali disekitar kediaman saya di Lembah Palu dan Poso setiap bangun pagi.  Suara Todiramphus chloris ini nampak menonjol dari suara alam lain.  Suara ini selalu saya dengar saat melakukan kunjungan di semua tempat Sulawesi, terutama di dataran rendah; dari pulau-pulau kecil, pesisir pantai hingga ketinggian 1500 m, yang menunjukkan populasinya umum di tempat-tempat tersebut. 
Saat tinggal di Bogor, saya merasa ada sesuatu yang hilang di alam saat bangun pagi, suara tersebut tidak pernah saya dengan lagi, justru saat berjalan di sekitar vegetasi terpencil, terutama terdapat genangan air atau sungai kecil tidak jauh dari kediaman saya, kadang mendengar suara kerabat jauhnya –Halcyon cyanoventris–. Suasana ini juga saya rasakan saat mengunjungai banyak tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogyakarta.

Keheranan ini wajar muncul dalam benak saya, karena di Sulawesi Todiramphus chloris merupakan penguasa pada hampir semua tipe habitat burung; dari pulau-pulau kecil hingga ke dataran utama ketinggian 1500 m (penyebarannya juga hingga 1850 m), temasuk juga di tengah pemukiman, terutama pemukiman terpencil. Saking kagumnya saya dengan kemampuan adaptasi burung ini menghuni berbagai tipe habitat dan keunggulannya berkompetisi, sehingga saya menganggap burung ini tidak mempunyai saingan pada semua tepat penyebarannya, termasuk di Jawa.   
Awalnya saya menduga terbatasnya populasi Todiramphus chloris di Jawa karena maraknya penangkapan burung ini dan gangguan terhadap habitatnya. Tetapi setelah saya melakukan pengamatan dibeberapa tempat di Jawa, saya melihat relung (bahkan secara makro areal) dihuni Todiramphus chloris tidak dihuni Halcyon cyanoventris, atau sama-sama menghuni ruang dengan mengurangi populasinya masing-masing. Hal ini mengindikasikan terjadi kompetisi kedua jenis burung ini dalam memperebutkan sumberdaya, sehingga keduanya saling menghindari berkompetisi dengan dengan cara salah satunya menghindari menghuni ruang atau relung yang berbeda.
Dalam berkompetisi, saya tidak pernah melihat langsung terjadi pertarungan kedua jenis burung ini, tetapi saya yakin itu hal itu terjadi pada tempat bertemunya areal teritorial keduanya. Pembuktian dugaan ini sangat terbantu dengan foto jepretan Kang Budi Hermawan di kaki Gunung Papandayan, Garut.  Foto tersebut mendorong saya membuat tulisan ini.
B. Pengamatan dan pengumpulan data sekunder
Halcyon cyanoventris
Penyebaran dan habitat. Endemik daratan Jawa  dan Bali. Di beberapa tempat yang sering dijumpai sekarang sudah punah (MacKinnon, et al. 1992). Dijumpai dari pesisir pantai hingga ke pegunungan bawah ketinggian 1.700m (pengamatan di Ranca Upas) (Mallo, 2019). Habitatnya sangat beragam, berupa sungai kecil, kolam air tawar, tepi danau/sungai besar, lahan persawahan, rawa, lahan-budidaya, juga termasuk vegetasi dan kolam di pemukiman dan  pesisir pantai.
Gambar 2.  Halcyon cyanoventris burung endemik Jawa dan Bali (@Fachry Nur Mallo)
Perilaku. Soliter atau berpasangan berburu makanan. Saya mengamati hinggap di atas tanah hingga bertengger setinggi  + 5 m, sering 2 s/d 3 m (lebih rendah dari Todiramphus chloris). Lebih jarang bersuara dibanding Todiramphus chloris. Bertengger atau berburu diam-diam dan tidak menyolok. Sering bertengger dekat manusia yang tidak memperhatikannya, lebih berani mendekati manusia dibanding Todiramphus chloris.
Makanan. Terutama serangga yang diambil di darat, tetapi juga ikan, katak, udang air tawar, dan larva kumbang air (Dytiscidae) (Wodall, 2019). Menurut B. Hermawan yang mengamati dan memotret  burung ini sedang makan, saat berbiak di Yogyakarta makanannya terdiri dari ikan kecil (air tawar), kepiting kecil (air tawar), kadal/bunglon, cicak pohon, katak, tonggeret, kalajengking, jengkrik dan belalang (juga belalang sembah). Di tempat ini beberapa fotografer  memotret memakan lipan dan ular kecil.
Perkembangbiakan. lubang digali pada bagian bawah pohon atau tepi sungai, diletakkan dua atau tiga telur berwarna  putih (MacKinnon, 1991).   
Todiramphus chloris
Penyebaran. Tersebar luas dari Asia Selatan, Asia Tenggara,  Indonesia, Papua hingga Australia. Di Jawa dijumpai dari pesisir pantai hinggai ketinggian 1.200 m (MacKinnon, 1991).  Di Sulawesi dijumpai hingga ketinggian 1850 m (Coates and Bishop, 1997), dan umum menempati hampir semua tipe habitat hingga ketinggian 1.500 m.
Gambar 3.  Todiramphus chloris, tersebar luas di Indonesia (@Fachry Nur Mallo)
Perilaku. Soliter atau berpasangan berburu makanan, kadang berkelompok tidak terikat, saya mengamati hinggap di atas tanah (lebih jarang dari Halcyon cyanoventris) hingga  bertengger setinggi +10m, sering 4 s/d 6 m (lebih tinggi dari Halyon cyanoventris). Bertengger atau berburu di tempat terbuka. Walaupun sering melakukan aktifitas di sekitar areal dekat aktifitas manusia, tetapi dibanding Halyon cyanoventris lebih peka terhadap manusia.
Makanan. Di Sulawesi penulis (Mallo, 2019a) membagi tiga sumber makanannya, mungkin juga bisa berlaku di Jawa:
-   di pesisir pantai; di tempat ini terutama memakan kepiting kecil (khususnya Uca spp.), juga udang dan ikan kecil, diambil di tempat agak kering, tidak menyeburkan diri ke air.
-   lahan basah air tawar: di tempat ini umumnya memakan serangga besar yang aktif di air, temasuk larvanya, juga ikan kecil, katak dan reptil kecil. Dibanding dua tempat lain, areal ini lebih jarang dikunjungi
-   areal kering; berupa areal pada lahan budidaya, halaman rumah: umumnya memakan serangga besar dan kadang reptilia kecil.
Perkembangbiakan. Lobang sarang pada pohon alami atau lubang yang digali sendiri di pohon busuk, gundukan rayap (termitas) atau tepian tanah, diletakkan dua hingga tujuh telur berwarna keputihan (Wikipedia), dua atau tiga telur (MacKinnon, 1991). Lobang sarang umumnya terdapat pada areal kering, dalam hutan terbuka atau lahan budidaya, jarang atau tidak ada menggali lobang sarang di tepi sungai.
C. Hasil pengamatan
Pengamatan penulis
Dari hasil pengamatan penulis lakukan dapat diuraikan sebagai berikut:
A.   Pesisir pantai

No

Lokasi/waktu pengamatan
Jenis
Kondisi habitat
H. cyanoventris
T. chloris
1
Muara Angke  (01-09-2015)
-
-
Hutan mangrove dan rawa
2
Marunda, Jakarta (11-08-2012)
-
-
Tambak ikan
3
Pamanukan-Indramayu (2012)
-
Tidak umum
Tambak ikan, hutan mangrove tidak luas
4
Indramayu-Losari (2011-2012)
-
Tidak umum
Tambak ikan bercampur hutan mangrove tidak luas
5
Desa Tawangsari (Perbatasan Jabar-Jateng) (18-11-2015, 20-12-2015 & 10-01-2016)
-
3
Tambak ikan, dataran lumpur dan mangrove, vegetasi tepi pantai dekat muara
6
Muara Tawar, Bekasi
-
-
Hutan mangrove dan dataran Lumpur
7
Ngongap, Yogyakarta (20-12-2014)
-
1
Tebing karang, semak rendah, dan kering
8
Trisik, Yogyakarta (20-12-2014 dan 12-09-2015)
-
-
Delta sungai
Gambar 4.  Areal tambak dan hutan mangrove tidak dijumpi Halcyon  cyanoventris tetapi Todiramphus chloris agak umum (@ Fachry Nur Mallo)
B. Lahan basah luas jauh dari pesisir pantai

No

Lokasi/waktu pengamatan
Jenis
Kondisi habitat
H. cyanoventris
T. chloris
1
Waduk Mulur, Sukoharjo (24-01-2016)
-
-
Vegetasi  rawa tepi waduk/danau
2
Ranca Ekek, dekat Bandung
Umum
-
Lahan persawahan terdapat vegetasi rawa
3
Ranca Upas, Kab. Bandung ketinggian 1700 m (2014, 2015 dan 2016
Umum
-
Vegetasi hutan sekunder berbatasan rawa dan kolam
4
Plawangan, G. Merapi, Jateng (11-03-2016)
1
-
Sungai kecil di tepi hutan primer/sekunder tua
5
Pinggir, Bandar udara Adi Sucipto, Yogyakarta (20-12- 2014
-
1
Perkebunan tebu, sungai kecil dan lahan budidaya bercampur vegetasi semak rendah
C.  Areal bukan lahan basah jauh dari jauh dari pesisir pantai

No

Lokasi/waktu pengamatan
Jenis
Kondisi habitat
H. cyanoventris
T. chloris
1
Ciater, Lembang (21-12-2014)
-
4
Perkebunan teh
2
Panaruban, Jabar, 11-10-2015)
-
1
Perkebunan teh
3
Merapi, Jateng (21-12-2014)
-
-
Hutan primer
4
Ranca Upas  ketinggian 1700-1800 m  (2014, 2015 dan 2016),
-
-
Hutan primer, juga terdapat  sungai sangat kecil
5
Jalan Menuju Curug Seribu, T.N. Halimun (09-09-2012) 950 – 1000 m
-
-
Hutan primer
Gambar 5.  Areal lahan basah Ranca Upas ketinggian 1700 mdpl umum dijumpai
Haclyon cyanoventris (@ Fachry Nur Mallo)

D. Areal pemukiman 


No

Lokasi/waktu pengamatan
Jenis
Kondisi habitat
H. cyanoventris
T. chloris
1
Kota Bogor (2011 & 2012)
Umum
1 (terdapat di Kebun Raya, tidak dimasukan  data)
Tanaman  budidaya halaman rumah, lahan budidaya terlantar  dan sungai kecil
2
Gadog, puncak (2011)
Cukup umum
-
Vegetasi sekitar pemukiman
3
Kota Bandung (2014-2018)
Cukup umum
-
Vegetasi sekitar pemukiman, taman kota terdapat kolam dan rawa terpencil
4
Dekat Kota Kuningan (2013)
Cukup umum
-
Sungai kecil
Pengamatan lain
Selain pengamatan penulis lakukan, penulis juga berhasil mengumpulkan data pengamat lain di sembilan lokasi dengan beberapa tipe habitat. Data ini dapat mendukung hasil pengamatan penulis lakukan. Data tersebut dapat disajikan sebagai berikut:

No

Lokasi/waktu pengamatan
Jenis
Kondisi habitat
Ket.
H. cyanoventris
T. chloris
1
Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta (Des. 2013)
Umum
Tidak umum
Bagian bawah, banyak lahan yang ter-tutup, sedikit ruang terbuka, banyak terdapat akasia, dan gamal.
Putra  (2013)
2
Kampus ITB Janinangor (Peb- Juni 2014)
Skor 0,4
Skor 4,2
Area hutan campuran, area konservasi plasma nutfah dan bendungan, area hutan monokultur, area bekas sawah
Permadi, dkk, (2014)
3
Telaga Warna, Jabar, ketinggian ±1400 m
Nilai INP 3,35
-
Hutan hujan pegunungan dan topografi yang bergelombang di mana sebagian arealnya terdapat sebuah telaga
Ekowati, (2016)
4
Kawah G. Galunggung dan hutan Wana Wisata Galunggung, Desa Linggarjati, Tasikmalaya, ketinggian  727 s/d 1224 m.
(2014)  
9
4
Hutan alami dan hutan campuran
Widodo (2014). Total C. cya-noventris  19 & T. chloris 12. Blok III, tidak dima-sukan dalam data, karena tidak di-ketahui tipe habitatnya, dijumpai C. cyanoventris  3 & T. chloris  4.
5
2
Tepi sungai bervegetasi hutan bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara)
1
2
Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak
1
0
Bibir kawah ditumbuhi paku-pakuan dan pakis-pakisan (Cyathea sp). Sebagian ditumbuhi Imperata cylindrica, rumput lain. Tebing kawah ditumbuhi kaliandra. Terdapat danau kawah ketinggian 1124-1224 m
5
Resort Tapos, TN. Gede Pangrango
-
ada
Hutan primer
Hasibuan, dkk (2017)
6
Pantai Siung dan pantai Wedi Ombo, Gunung Kidul Yogyakarta, (2013)
Pantai Siung  3, pantai Wedi Ombo 3
Pantai Siung  10, pantai Wedi Ombo 7
Hutan pantai heterogen dan homogen 
Amna (2013)
7
CA. Muara Angke (25 Des. 2011)
-
Ada
Hutan mangrove dan rawa
Pramesti
8
Ketingan, Sidoarjo, Maret 2013
-
Ada
Hutan mangrove dan tambak
Admin Pro Fauna. (2013)
9
Kaki G. Papandayan, Garut
1
1
Areal persawahan di sekitarnya terdapat banyak pepohonan
B.Hermawan (pengamatan)
C. Analisa
Dari seluruh pengamatan penulis lakukan ditambah data hasil pengamatan pengamat lain, diketahui tipe habitat dan populasi Halyon cyanoventris dan Todiramphus chloris sebagai berikut:
No.
Tipe habitat
H. cyanoventris
T. chloris
A. Areal pesisir pantai
1
Hutan magrove
-
Tidak umum
2
Hutan pesisir pantai
6
17
3
Rawa terbuka tepi pantai
-
1
4
Tambak

Tidak umum
5
Dataran lumpur
-
Tidak umum
6
Tebing karang
-
1
B. Areal lahan basah air tawar


7
Lahan persawahan bercampur rawa/hutan/pepohonan
Umum
Sedikit
8
Vegetasi rawa
Tidak umum
-
9
Tepi sungai bervegetasi hutan
Umum hingga tidak umum
Sedikit
10
Tepi sungai bervegatsi hutan bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara)
5
2
11
Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak
1
2
12
Lahan basah ketinggian 1300 m >
Umum
-
13
Rawa tepi danau/waduk (terbuka)
-
-
C. Areal hutan


14
Area hutan campuran,  bendungan, hutan monokultur  dan bekas lahan persawahan
Sedikit
agak banyak
15
Hutan produksi bercampur hutan alam
9
4
16
Hutan primer
-
1
D. Areal terbuka luas


17
Perkebunan teh terbuka
-
2
E. Areal pusat pemukinan


18
Vegetasi dan lahan basah dipemukiman
Umum hingga tidak umum
-
Delapan belas tipe habitat berhasil diklasifikasikan dari data yang terkumpul, dibagi dalam lima tipe habitat makro, yaitu:
- Areal pesisir pantai,
Terdiri dari enam tipe habitat;
1.  Hutan mangrove
2.  Hutan pesisir pantai
3.  Rawa terbuka
4.  Tambak
5.  Dataran lumpur
6.  Tebing karang
Gambar 6.  Todiramphus chloris umumnya menghuni tempat terbuka (@ Fachry Nur Mallo)
Pada keenam tipe tersebut Todiramphus chloris dijumpai pada semua tipe habitat, tertinggi di tipe hutan pesisir pantai, sedangkan Halcyon cyanoventris hanya dijumpai di  hutan pesisir pantai (6), tetapi populasinya jauh lebih sedikit dibanding populasi Todiramphus chloris (17).
Secara umum areal pesisir pantai bukan tipe habitat disukai Halcyon cyanoventris. Walaupun ditemukan di hutan pesisir pantai, tetapi populasinya jauh lebih sedikit dari Todiramphus chloris, padahal hampir semua tipe habitat di pedalaman daratan Halcyon cyanoventris jauh lebih dominan dari Todiramphus chloris. Diduga hutan pesisir pantai dihuni Halcyon cyanoventris karena mirip tipe habitatnya di daratan.  Dengan demikian hal ini mengindikasikan Halcyon cyanoventris lebih cenderung menghuni habitat bervegetasi hutan pohon atau semak tinggi daripada areal terbuka dan vegetasi semak rendah. Sedangkan Todiromphus chloris umum hingga agak  umum dijumpai pada semua tipe habitat pesisir pantai, dengan demikian hal ini membuktikan burung ini menyukai areal terbuka.
- Areal lahan basah air tawar,
Terdiri dari tujuh tipe habitat;
1.  Lahan persawahan bercampur rawa/pepohonan/hutan
2.  Vegetasi rawa
3.  Tepi sungai bervegetasi hutan
4.  Tepi sungai bervegatasi hutan bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra   dan semak Lantana camara)
5.  Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak 
6.  Lahan basah ketinggian 1300 m> 
7.  Rawa tepi danau/waduk terbuka.
Dari tujuh tipe habitat ini, Halcyon cyanoventris dijumpai pada enam tipe habitat, sedangkan Todiramphus chloris hanya empat tipe habitat. Hanya satu tipe habitat tidak dijumpai Halcyon cyanoventris (rawa tepi danau/waduk terbuka). Populasi Halcyon cyanoventris paling tinggi  pada tepi sungai bervegetasi hutan, temasuk tepi sungai bervegetasi hutan bercampur semak, dan juga lahan persawahan bercampur rawa/pepohonan/hutan. Sedangkan Todiramphus chloris hanya dijumpai pada  lahan persawahan bercampur rawa, sungai bervegetasi hutan, tepi sungai hutan bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara) dan tepi sungai terbuka, terdapat vegetasi semak.  Dari keempat tipe ini hanya satu dijumpai lebih banyak sedikit  populasi Todiramphus chloris (vegetasi tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak) dari Halcyon cyanoventris, sedangkan ketiga tipe lain populasi Halcyon cyanoventris  jauh lebih dominan.
Dengan demikian secara keseluruhan habitat lahan basah air tawar terdapat vegetasi di tepi atau sekitarnya  merupakan tipe habitat disukai Halcyon cyanoventris.  Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak, satu-satunya tipe dijumpai sedikit dominan Todiramphus chloris daripada Halcyon cyanoventris, menunjukkan Todiramphus chloris menyukai areal vegetasi terbuka, semak rendah, sedangkan Halcyon cyanoventris kurang menyukainya.
Rawa tepi danau/waduk terbuka satu-satunya tipe habitat tidak terdapat kedua jenis tersebut. Mungkin karena waktu pengamatan yang singkat penulis dilakukan. Penulis menduga di tempat ini terdapat kedua jenis burung ini. Jika keduanya tidak terdapat habitat ini mungkin karena waduk ini ramai dikunjungi manusia. Sebagai catatan dari hasil penelitian Ekowati (2016) di Telaga Warna, Jawa Barat, ketinggian ±1400 m disekitarnya merupakan areal hutan hujan juga dijumpai Halcyon cyanoventris. Hal ini mengindikasikan pada danau atau waduk di tepi hutan dataran rendah juga terdapat burung ini.
Lahan basah ketinggian diatas 1.400 m tidak lagi dijumpai Todiramphus chloris, karena batas penyebarannya di bawah ketinggian tersebut, sementara Halcyon cyanoventris umum dijumpai.   
- Areal hutan,
Terdiri dari tiga tipe habitat; 
1.  Areal hutan campuran,  bendungan, hutan monokultur  dan bekas lahan persawahan,
2.  Hutan produksi bercampur hutan alam
3.  Hutan primer
Gambar 7.  Halcyon cyanoventris lebih sering bertengger diam-diam pada vegetasi tidak mencolok (@Fachry Nur Mallo)
Pada tipe habitat areal hutan campuran, bendungan, hutan monokultur  dan bekas lahan persawahan sedikit dijumpai Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris lebih banyak.  Pada tipe habitat hutan primer tidak dijumpai Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris sedikit dijumpai. Pada hutan produksi bercampur hutan alam dijumpai lebih dominan Halcyon cyanoventris daripada Todiramphus chloris.
Hal ini mengindikasikan tipe habitat disukai Halcyon cyanoventris berupa hutan produksi bercampur hutan alam, sedangkan hutan monokultur (mungkin juga hutan homogen) dan areal bekas persawahan (mungkin lokasi survei areal kering luas) tidak disukai, walaupun di sekitarnya terdapat hutan monokultur bercampur hutan campuran, dan hutan primer bukan habitat Halcyon cyanoventris. Sebaliknya di tipe habitat disebutkan pertama dijumpai lebih banyak Todiramphus chloris dibandingkan Halcyon cyanoventris dibanding dua tipe habitat lain, dan dijumpai sedikit di habitat hutan primer. Hal ini mengindikasikan Todiramphus chloris lebih menyukai tipe habitat lebih terbuka dan bersifat lebih kering, dan mungkin juga menyukai  tipe hutan monokultur dan homogen. Status keberadaannya di tipe habitat hutan primer terasa janggal, data tersebut hanya dari pengamatan di Resort Tapos, TN. Gede Panrango, tetapi di tiga lokasi lain (Gunung Merapi, TN. Gunung Halimun, dan Ranca Upas) tidak jumpai, hal ini mengindikasikan tipe habitat ini tidak disukai.  Mungkin burung ini terdapat di di Resort Tapos, TN. Gede Panrango, karena arealnya dekat tempat terbuka atau terpaksa beradaptasi untuk mengisi relung yang tidak ditempati Halcyon cyanoventris.     
- Areal terbuka luas,
Hanya satu tipe; perkebunan teh terbuka.  Pada tipe habitat ini tidak dijumpai Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris dijumpai.
Dengan demikian hal ini mengindikasikan areal terbuka luas dengan vegetasi semak rendah dan homogen tidak disukai Halcyon cyanoventris, sebagaimana pengamatan di lakukan pada dua perkebunan teh. Diduga vegetasi alang-alang juga vegetasinya terbuka dan rendah bukan habitat Halcyon cyanoventris. Hal ini menguatkan pendapat pada penjelasan sebelumnya bahwa pada tipe habitat dipesisir pantai dan tipe areal terbuka di pedalaman (di luar pesisir pantai) merupakan tipe habitat tidak disukai Halcyon cyanoventris. Satu-satunya areal terbuka disukai hanya pada areal  persawahan basah terdapat vegetasi rawa. Juga mengindikasikan Todiramphus chloris menyukai tipe habitat terbuka.
- Areal pusat pemukiman
Vegetasi dan lahan basah di pusat pemukiman umum hingga tidak umum dijumpai Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris tidak dijumpai. Mengagumkan Halcyon cyanoventris dapat hidup dengan baik di tipe  habitat ini, banyak jenis burung tidak mampu melakukannya, termasuk Todiramphus chloris.
Gambar 8. Halcyon cyanoventris sedang mengunjungi kolam di Taman Kota Maluku, Bandung (@ Fachry Nur Mallo)
Dengan demikian secara makro, areal pesisir pantai terbuka, tambak, hutan mangrove, tebing karang dan rawa terbuka di pesisir pantai bukan habitat Halcyon cyanoventris, kecuali hutan pesisir pantai, tetapi vegetasi ini bukan habitat ekslusif burung ini. Di pedalaman (di luar pesisir pantai) Halcyon cyanoventris menghuni sungai dan lahan basah lain ditepinya atau dekat vegetasi hutan dan hutan bercampur semak, persawahan terdapat hutan rawa/pepohonan/hutan, bahkan juga umum dan agak umum pada vegetasi pepohonan dan rawa, dan kolam terpencil di tengah pemukiman.  Sedangkan vegetasi terbuka dan hutan monokultur, mungkin juga hutan homogen sedikit, dan pada areal vegetasi semak rendah dan diduga padang rumput luas bukan habitatnya atau habitat tidak disukai.
Keterikatan Halcyon cyanoventris dengan lahan basah (terutama sungai) ditepinya atau dekat vegetasi hutan dan hutan bercampur semak, dan lahan persawahan terdapat rawa/pepohonan/hutan juga dapat dibuktikan burung ini umumnya bersarang di tepi sungai atau dekat tepi sungai pada vegetasi berhutan, dan juga jenis makanan primernya lebih menunjukkan hewan hidup di lahan basah berupa sungai, kolam dan lahan persawahan, dan areal berhutan.
Gambar 9.  Sarang Todiramphus chloris di sarang anai-anai pada lahan budidaya
(@ Dadang Dwi Putra)
Sedangkan Todiramphus chloris secara makro menghuni pesisir pantai terbuka, tambak, hutan mangrove, tebing karang dan rawa terbuka di pesisir pantai. Di pedalaman Todiramphus chloris menghuni vegetasi terbuka dan hutan monokultur dan pada areal vegetasi semak rendah dan diduga padang rumput luas. Pendapat ini didukung data bahwa tempat bersarang Todiramphus chloris di areal kering, hutan sekunder dekat areal terbuka, dan lahan budidaya, dan jenis makanan primernya lebih menunjukan hewan hidup di pesisir pantai dan tempat terbuka kering.
D. Terjadinya kompetisi dan pembagian sumberdaya
Di Jawa Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris telah melakukan kompetisi ketat dalam memperebutkan sumberdaya. Hal ini wajar terjadi mengingat kebutuhan sumberdaya kedua jenis burung ini secara makro hampir sama.
Beberapa ahli masih menempatkan kedua jenis burung ini dalam satu genus (Halcyon), walaupun sekarang lebih diterima terpisah (Halcyon dan Todiramphus).  Dengan demikian kekerabatan kedua jenis burung ini masih dekat. Dalam teori ekologi jika dua jenis burung masih dalam satu genus menghuni relung yang sama akan terjadi persaingan ketat dalam memperebutkan sumberdaya dibutuhkan.
Salah satu faktor penting mempengaruhi terjadinya kompetisi ketat pada kedua jenis burung ini adalah keduanya  memiliki ukuran tubuhnya hampir sama, termasuk ukuran paruh, sehingga kebutuhan sumberdaya hampir sama.  Menurut Eaton et al. (2016), Halcyon cyanoventris berukuran 27 cm, sedangkan Todiramphus chloris 23-25 cm, juga secara makro mempunyai tipe habitat dan jenis makanan yang hampir sama, juga mungkin lokasi sarang, tetapi faktor terakhir ini tidak sebesar faktor disebutkan sebelumnya, disamping juga faktor-faktor mikro lain yang juga berpengaruh.
Proses terjadinya kompetisi ini dapat dilihat bahwa kedua jenis burung ini menghuni masing-masing habitat secara mikro, dan pada habitat  terdapat keduanya, saling mengurangi populasinya masing-masing. Beberapa pengamat burung, temasuk B. Hermawan mengamati kedua burung ini saling mengusir atau juga bertarung saat bertemu.
Dalam kompetisi ini nampaknya Todiramphus chloris kalah bersaing dengan Halcyon cyanoventris.  Hal ini dapat dibuktikan Todiramphus chloris tidak dijumpai atau sedikit dijumpai pada habitat dijumpai umum atau agak umum Halcyon cyanoventris, yang merupakan habitat juga disukai Halcyon cyanoventris, yaitu pada persawahan bercampur rawa/pepohonan/hutan dan habitat lahan vegetasi rawa. Sedangkan tepi sungai terdapat vegetasi hutan, tepi sungai terdapat hutan bercampur semak dan hutan produksi bercampur hutan alam dijumpai lebih dominan Halcyon cyanoventris daripada Todiramphus chloris. Tetapi pada tipe habitat tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak, dan habitat areal hutan campuran, bendungan, hutan monokultur  dan bekas lahan persawahan sedikit dijumpai Halcyon cyanoventris dan areal vegetasi semak rendah  (misalnya perkebunan teh) luas tidak disukai Halcyon cyanoventris, tetapi dominan Todiramphus chloris. Diduga juga Todiramphus chloris dominan di pesisir pantai karena areal tersebut bukan habitat Halcyon cyanoventris.
Di Sulawesi Todiramphus chloris dapat tersebar luas dengan baik pada hampir semua semua tipe habitat dari pesisir pantai hingga ketinggian 1500 m karena tidak memiliki pesaing, sehingga menjadi penguasa di kawasan tersebut. Karena burung asli Sulawesi umumnya penghuni hutan primer dan sekunder tua.  Banyak tipe habitat di Sulawesi yang sama di Jawa disukai Todiramphus chloris, tetapi di Jawa tidak dijumpai, karena telah dihuni Halyon cyanoventris.  Nampaknya di Jawa Todiramphus chloris mengisi relung yang tidak dihuni oleh Halcyon cyanoventris, atau hidup bersama pada beberapa tempat dengan populasi sedikit.
Untuk menghindari saling berkompetisi, kedua burung ini menghuni tipe habitat berbeda. Secara makro Halcyon cyanoventris menghuni pedalaman (di luar pesisir pantai) Jawa, dari dataran rendah hingga ketinggian 1700 m, sedangkan Todiramphus chloris menghuni pesisir pantai. Walaupun demikian di pedalaman Todiramphus chloris juga dijumpai, tetapi hanya menghuni ruang habitat yang tidak dihuni Halcyon cyanoventris, atau menghuni ruang habitat yang sama dengan Halcyon cyanoventris, tetapi dengan populasi kecil. Di pedalaman, Halcyon cyanoventris menghuni lahan basah ditepinya bervegetasi hutan atau bervegetasi hutan bercampur semak, dan persawahan terdapat rawa/pepohonan/hutan, sedangkan Todiramphus chloris menghuni areal terbuka, vegetasi lebih terbuka dan semak rendah,  relung yang disisakan Halcyon cyanoventris.
Faktor perbedaan ketinggian tempat bertengger diduga menjadi faktor penyebab berkurangnya tingkat kompetisi kedua jenis burung ini.  Halcyon cyanoventris  bertengger lebih rendah dari Todiramphus chloris; Halcyon cyanoventris bertengger maksimal setinggi + 5 m, lebih sering 2 s/d 3 sedangkan  Todiramphus chloris maksimal  setinggi  + 10 m, lebih sering 4 s/d 6 m. Tetapi faktor ini pengaruhnya tidak sebesar adanya perbedaan tipe habitat.
Dahulu dibeberapa tempat di Jawa terdapat Halyon cyanoventris sekarang sudah punah, karena maraknya penangkapan dan perdagangan terhadap burung ini. Dibeberapa tempat di Jawa, burung ini merupakan salah satu jenis diperdagangkan. Kepunahan Halyon cyanoventris pada suatu tempat akan membuat relungnya menjadi kosong sehingga akan mendorong Todiramphus chloris mengisinya.
E. Rekomendasi
Data-data yang tersedia mungkin belum ideal untuk menganalisa kompetisi dan pembagian sumberdaya Halyon cyanoventris dan Todiramphus chloris, tetapi paling tidak dengan hasil analisa ini kita mempunyai gambaran minimal secara makro bagaimana kompetisi terjadi kedua jenis burung tersebut. Idealnya dilakukan analisa dengan menggunakan metode yang lebih baik dan akurat, dengan data banyak tersedia, tetapi hal itu sulit diwujudkan.
Biasanya para peneliti lebih tertarik meneliti burung yang sudah sudah populer dan menarik perhatian donatur. Sehingga jenis burung tidak menarik perhatian mereka tidak atau sangat jarang diteliti. Sebagian besar burung-burung di Indonesia, termasuk di Jawa datanya tidak tersedia, karena tidak dilakukan penelitian. Sementara data  tersebut sangat dibutuhkan saat ini.
Untuk mengisi kekosongan data tersebut, paling baik dilakukan survei dan pengamatan sederhana, tidak membutuhkan biaya mahal dengan metode sederhana sehingga memicu dilakukan pengumpulan data.  Data tersebut paling tidak secara makro  sudah menginformasi kehidupan suatu jenis burung.  Jika hal itu dilakukan oleh pengamat dan pemerhati burung di Indonesia, dengan jumlah pengamat dan pemerhati burung yang ada sekarang, maka akan tersedia banyak data burung di Indonesia. Sekecil apapun data yang kita tulis dalam jurnal ataupun hanya sekedar berbagi catatan, pasti akan sangat bermanfaat.
Oleh karena itu, direkomendasikan agar pengumpulan data kompetisi dan pembagian sumberdaya Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris dilakukan oleh pengamat, pemerhati atau biologiwan, dan alangkah baiknya jika dijadikan sebagai obyek studi dalam skripsi atau level di atasnya, maupun proyek penelitian, agar lebih banyak terungkap mengenai hal itu.
F. Ucapan terima kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu selama dilakukan pengamatan Halyon cyanoventris dan Todiramphus chloris di Jawa. Terutama Kang Budi Hermawan, selain sering bersama-sama melakukan pengamatan dan hunting fotorgrafer burung dibeberapa tempat (bahkan sering hanya berdua), juga terpenting telah mengizinkan menggunakan foto hasil jepretannya dan memberikan data lapangan kedua jenis burung tersebut; juga mas Riza Marlon, Kang Ader Rahmat, Kang Adi Sugiarto, Teh Dewi Wahyuni, Kang Radiktya Akasah dan Kang Whishal M. Dasanova, teman-teman Bandung Birding, teman-teman pengamat burung lain di Bandung, Yogyakarta dan Jakarta, yang telah bersama-sama mengunjungi beberapa tempat, sehingga saya berkesempatan mengamati kedua jenis burung tersebut;  juga Dadang Dwi Putra yang telah mengizinkan fotonya digunakan dalam tulisan ini; tidak kalah penting adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo, yang telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.
G. Daftar Pustaka
Admin Pro Fauna. 2013. Pengamatan Burung Ketingan, Sidoarjo. Pro Fauna.
Amna, M.M, 2013. Perbandingan Keanekaragaman Burung di Pantai Siung dan Pantai
Wedi Ombo Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universias Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.
Coates, B.J. and Bishop, K.D. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
Eaton, J.A, van Balen, B., Bricle, N.W., and Rheindt, F.E. 2016. Birds of the Indonesian Archipelago. Greater Sundas and Wallacea. Lynx Edicions. Barcelona.
Ekowati, A, Setiyani, Haribowo, D.R. dan Hidayah, K. 2016. Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Telaga Warna, Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor. Al-Kauniyah: Journal of Biology Website.
Hasibuan, R.S., Mulyadi dan Majid, I.A. 2017. Keanekaragaman Jenis Burung di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Seminar Nasional dan Gelar Produksi, 17-18 Oktober 2017.
MacKinnon, J., 1991. Panduan Lapangan Penenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali.  Gadjah Mada University Press.
MacKinnon, J. anda Phillips, K. 1992. Field Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali.  Oxford.
Mallo, F.N. 2019. Catatan Pengamatan Burung-Burung di Jawa. Tidak dipublikasikan.
Mallo, F.N., 2019a. Database Burung-Burung di Sulawesi. Dalam persiapan.
Permadi, D., Rasyidi, R., Primadieta, Nurrachman, M.H.Z., dan Ramadian, M.A,. 2014 Distribusi Burung di Kampus ITB Jatinagor Sebagai Kawasan Penyangga Hutan Lindung Gunung Manglayang: https://media.neliti.com
Pramesti, C.I., Fitriyani L., dan Nurhaqu, R. 2011. Laporan Hasil Pengamatan Burung di Suaka Margasatwa Muara Angke. Academia: www.academia.edu
Putra, M.S.,  2013.  Studi Keanekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Petak di Wanagama I, Gunung Kidul-Yogyakarta. Akademia:  www.academia,edu.
Widodo, W., 2014. Populasi dan Pola Sebaran Burung di Hutan Wanawisata           Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Biosaintifika. 6 (1) (2014)
Woodall, P.F. (2019). Javan Kingfisher (Halcyon cyanoventris). Dalam del Hoyo, J., Elliott, A., Sargatal, J., Christie, D.A. & de Juana, E. (eds.). Handbook of the Birds of the World Alive. Lynx Edicions, Barcelona. (diambil dari  https://www.hbw.com/node/55749 pada 22 Mei 2019).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar