Oleh Fachry
Nur Mallo
Gambar 1. Kontak fisik Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris di lahan persawahan di kaki Gunung Papandayan Garut, Jawa Barat (@ Budi Hermawan) |
A. Pendahuluan
Suara --cek-cek-cek--, atau
--cekekk-cekekk--, diulang beberapa kali, penuh semangat, keras dan ribut,
merupakan simponi alam saya dengar pertama kali disekitar kediaman saya di
Lembah Palu dan Poso setiap bangun pagi.
Suara Todiramphus chloris ini
nampak menonjol dari suara alam lain.
Suara ini selalu saya dengar saat melakukan kunjungan di semua tempat
Sulawesi, terutama di dataran rendah; dari pulau-pulau kecil, pesisir pantai
hingga ketinggian 1500 m, yang menunjukkan populasinya umum di tempat-tempat
tersebut.
Saat tinggal di Bogor, saya merasa ada
sesuatu yang hilang di alam saat bangun pagi, suara tersebut tidak pernah saya
dengan lagi, justru saat berjalan di sekitar vegetasi terpencil, terutama
terdapat genangan air atau sungai kecil tidak jauh dari kediaman saya, kadang
mendengar suara kerabat jauhnya –Halcyon
cyanoventris–. Suasana ini juga saya rasakan saat mengunjungai banyak
tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogyakarta.
Keheranan ini wajar muncul dalam benak
saya, karena di Sulawesi Todiramphus
chloris merupakan penguasa pada hampir semua tipe habitat burung; dari
pulau-pulau kecil hingga ke dataran utama ketinggian 1500 m (penyebarannya juga
hingga 1850 m), temasuk juga di tengah pemukiman, terutama pemukiman terpencil.
Saking kagumnya saya dengan kemampuan adaptasi burung ini menghuni berbagai
tipe habitat dan keunggulannya berkompetisi, sehingga saya menganggap burung
ini tidak mempunyai saingan pada semua tepat penyebarannya, termasuk di
Jawa.
Awalnya saya menduga terbatasnya populasi Todiramphus chloris di Jawa karena
maraknya penangkapan burung ini dan gangguan terhadap habitatnya. Tetapi
setelah saya melakukan pengamatan dibeberapa tempat di Jawa, saya melihat
relung (bahkan secara makro areal) dihuni Todiramphus
chloris tidak dihuni Halcyon
cyanoventris, atau sama-sama menghuni ruang dengan mengurangi populasinya
masing-masing. Hal ini mengindikasikan terjadi kompetisi kedua jenis burung ini
dalam memperebutkan sumberdaya, sehingga keduanya saling menghindari
berkompetisi dengan dengan cara salah satunya menghindari menghuni ruang atau
relung yang berbeda.
Dalam berkompetisi, saya tidak pernah
melihat langsung terjadi pertarungan kedua jenis burung ini, tetapi saya yakin
itu hal itu terjadi pada tempat bertemunya areal teritorial keduanya.
Pembuktian dugaan ini sangat terbantu dengan foto jepretan Kang Budi Hermawan
di kaki Gunung Papandayan, Garut. Foto
tersebut mendorong saya membuat tulisan ini.
B. Pengamatan dan pengumpulan data sekunder
Halcyon cyanoventris
Penyebaran dan habitat. Endemik daratan Jawa dan Bali. Di
beberapa tempat yang sering dijumpai sekarang sudah punah (MacKinnon, et al. 1992). Dijumpai dari pesisir
pantai hingga ke pegunungan bawah ketinggian 1.700m (pengamatan di Ranca Upas)
(Mallo, 2019). Habitatnya sangat beragam, berupa sungai kecil, kolam air tawar,
tepi danau/sungai besar, lahan persawahan, rawa, lahan-budidaya, juga termasuk
vegetasi dan kolam di pemukiman dan
pesisir pantai.
Gambar 2. Halcyon cyanoventris burung endemik Jawa dan Bali (@Fachry Nur Mallo) |
Perilaku. Soliter
atau berpasangan berburu makanan. Saya mengamati hinggap di atas tanah hingga
bertengger setinggi + 5 m, sering 2 s/d
3 m (lebih rendah dari Todiramphus
chloris). Lebih jarang bersuara dibanding Todiramphus chloris. Bertengger atau berburu diam-diam dan tidak
menyolok. Sering bertengger dekat manusia yang tidak memperhatikannya, lebih
berani mendekati manusia dibanding Todiramphus
chloris.
Makanan. Terutama
serangga yang diambil di darat, tetapi juga ikan, katak, udang air tawar, dan
larva kumbang air (Dytiscidae) (Wodall, 2019). Menurut B. Hermawan yang
mengamati dan memotret burung ini sedang
makan, saat berbiak di Yogyakarta makanannya terdiri dari ikan kecil (air
tawar), kepiting kecil (air tawar), kadal/bunglon, cicak pohon, katak,
tonggeret, kalajengking, jengkrik dan belalang (juga belalang sembah). Di
tempat ini beberapa fotografer memotret
memakan lipan dan ular kecil.
Perkembangbiakan.
lubang digali pada bagian bawah pohon atau tepi sungai, diletakkan dua atau
tiga telur berwarna putih (MacKinnon,
1991).
Todiramphus chloris
Penyebaran. Tersebar
luas dari Asia Selatan, Asia Tenggara,
Indonesia, Papua hingga Australia. Di Jawa dijumpai dari pesisir pantai
hinggai ketinggian 1.200 m (MacKinnon, 1991).
Di Sulawesi dijumpai hingga ketinggian 1850 m (Coates and Bishop, 1997),
dan umum menempati hampir semua tipe habitat hingga ketinggian 1.500 m.
Gambar 3. Todiramphus chloris, tersebar luas di Indonesia (@Fachry Nur Mallo) |
Perilaku. Soliter
atau berpasangan berburu makanan, kadang berkelompok tidak terikat, saya
mengamati hinggap di atas tanah (lebih jarang dari Halcyon cyanoventris) hingga
bertengger setinggi +10m, sering 4 s/d 6 m (lebih tinggi dari Halyon cyanoventris). Bertengger atau
berburu di tempat terbuka. Walaupun sering melakukan aktifitas di sekitar areal
dekat aktifitas manusia, tetapi dibanding Halyon
cyanoventris lebih peka terhadap manusia.
Makanan. Di Sulawesi
penulis (Mallo, 2019a) membagi tiga sumber makanannya, mungkin juga bisa berlaku
di Jawa:
- di
pesisir pantai; di tempat ini terutama memakan kepiting kecil (khususnya Uca
spp.), juga udang dan ikan kecil, diambil di tempat agak kering, tidak
menyeburkan diri ke air.
- lahan
basah air tawar: di tempat ini umumnya memakan serangga besar yang aktif di
air, temasuk larvanya, juga ikan kecil, katak dan reptil kecil. Dibanding dua
tempat lain, areal ini lebih jarang dikunjungi
- areal
kering; berupa areal pada lahan budidaya, halaman rumah: umumnya memakan
serangga besar dan kadang reptilia kecil.
Perkembangbiakan. Lobang sarang pada pohon
alami atau lubang yang digali sendiri di pohon busuk, gundukan rayap (termitas)
atau tepian tanah, diletakkan dua hingga tujuh telur berwarna keputihan
(Wikipedia), dua atau tiga telur (MacKinnon, 1991). Lobang sarang umumnya
terdapat pada areal kering, dalam hutan terbuka atau lahan budidaya, jarang
atau tidak ada menggali lobang sarang di tepi sungai.
C. Hasil pengamatan
Pengamatan penulis
Dari hasil pengamatan penulis lakukan
dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Pesisir pantai
No
|
Lokasi/waktu
pengamatan
|
Jenis
|
Kondisi
habitat
|
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
|||
1
|
Muara
Angke (01-09-2015)
|
-
|
-
|
Hutan mangrove dan rawa
|
2
|
Marunda,
Jakarta (11-08-2012)
|
-
|
-
|
Tambak ikan
|
3
|
Pamanukan-Indramayu
(2012)
|
-
|
Tidak umum
|
Tambak ikan, hutan mangrove
tidak luas
|
4
|
Indramayu-Losari
(2011-2012)
|
-
|
Tidak umum
|
Tambak ikan bercampur hutan
mangrove tidak luas
|
5
|
Desa
Tawangsari (Perbatasan Jabar-Jateng) (18-11-2015, 20-12-2015 &
10-01-2016)
|
-
|
3
|
Tambak ikan, dataran lumpur
dan mangrove, vegetasi tepi pantai dekat muara
|
6
|
Muara
Tawar, Bekasi
|
-
|
-
|
Hutan mangrove dan dataran
Lumpur
|
7
|
Ngongap,
Yogyakarta (20-12-2014)
|
-
|
1
|
Tebing karang, semak rendah,
dan kering
|
8
|
Trisik,
Yogyakarta (20-12-2014 dan 12-09-2015)
|
-
|
-
|
Delta sungai
|
Gambar 4. Areal tambak dan hutan mangrove tidak dijumpi Halcyon cyanoventris tetapi Todiramphus chloris agak umum (@ Fachry Nur Mallo) |
B. Lahan basah luas
jauh dari pesisir pantai
No
|
Lokasi/waktu
pengamatan
|
Jenis
|
Kondisi
habitat
|
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
|||
1
|
Waduk Mulur, Sukoharjo
(24-01-2016)
|
-
|
-
|
Vegetasi rawa tepi waduk/danau
|
2
|
Ranca Ekek, dekat Bandung
|
Umum
|
-
|
Lahan persawahan terdapat
vegetasi rawa
|
3
|
Ranca Upas, Kab. Bandung
ketinggian 1700 m (2014, 2015 dan 2016
|
Umum
|
-
|
Vegetasi hutan sekunder
berbatasan rawa dan kolam
|
4
|
Plawangan, G. Merapi, Jateng
(11-03-2016)
|
1
|
-
|
Sungai kecil di tepi hutan
primer/sekunder tua
|
5
|
Pinggir, Bandar udara Adi
Sucipto, Yogyakarta (20-12- 2014
|
-
|
1
|
Perkebunan tebu, sungai kecil
dan lahan budidaya bercampur vegetasi semak rendah
|
C. Areal
bukan lahan basah jauh dari jauh dari pesisir pantai
No
|
Lokasi/waktu
pengamatan
|
Jenis
|
Kondisi
habitat
|
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
|||
1
|
Ciater,
Lembang (21-12-2014)
|
-
|
4
|
Perkebunan
teh
|
2
|
Panaruban,
Jabar, 11-10-2015)
|
-
|
1
|
Perkebunan
teh
|
3
|
Merapi,
Jateng (21-12-2014)
|
-
|
-
|
Hutan
primer
|
4
|
Ranca
Upas ketinggian 1700-1800 m (2014, 2015 dan 2016),
|
-
|
-
|
Hutan primer, juga
terdapat sungai sangat kecil
|
5
|
Jalan
Menuju Curug Seribu, T.N. Halimun (09-09-2012) 950 – 1000 m
|
-
|
-
|
Hutan
primer
|
Gambar 5. Areal lahan basah Ranca Upas ketinggian 1700 mdpl umum dijumpai Haclyon cyanoventris (@ Fachry Nur Mallo) |
D. Areal pemukiman
No
|
Lokasi/waktu
pengamatan
|
Jenis
|
Kondisi
habitat
|
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
|||
1
|
Kota Bogor
(2011 & 2012)
|
Umum
|
1 (terdapat di Kebun Raya, tidak
dimasukan data)
|
Tanaman budidaya halaman rumah, lahan budidaya
terlantar dan sungai kecil
|
2
|
Gadog,
puncak (2011)
|
Cukup umum
|
-
|
Vegetasi
sekitar pemukiman
|
3
|
Kota
Bandung (2014-2018)
|
Cukup umum
|
-
|
Vegetasi
sekitar pemukiman, taman kota terdapat kolam dan rawa terpencil
|
4
|
Dekat Kota
Kuningan (2013)
|
Cukup umum
|
-
|
Sungai
kecil
|
Pengamatan lain
Selain pengamatan penulis
lakukan, penulis juga berhasil mengumpulkan data pengamat lain di sembilan
lokasi dengan beberapa tipe habitat. Data ini dapat mendukung hasil pengamatan
penulis lakukan. Data tersebut dapat disajikan sebagai berikut:
No
|
Lokasi/waktu
pengamatan
|
Jenis
|
Kondisi
habitat
|
Ket.
|
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
||||
1
|
Hutan Pendidikan Wanagama I,
Gunung Kidul, Yogyakarta (Des. 2013)
|
Umum
|
Tidak umum
|
Bagian bawah, banyak lahan
yang ter-tutup, sedikit ruang terbuka, banyak terdapat akasia, dan gamal.
|
Putra (2013)
|
2
|
Kampus ITB Janinangor (Peb-
Juni 2014)
|
Skor 0,4
|
Skor 4,2
|
Area hutan campuran, area konservasi plasma nutfah dan
bendungan, area hutan monokultur, area bekas sawah
|
Permadi, dkk, (2014)
|
3
|
Telaga Warna, Jabar, ketinggian
±1400 m
|
Nilai INP 3,35
|
-
|
Hutan hujan pegunungan dan topografi yang bergelombang di
mana sebagian arealnya terdapat sebuah telaga
|
Ekowati, (2016)
|
4
|
Kawah G. Galunggung dan hutan
Wana Wisata Galunggung, Desa Linggarjati, Tasikmalaya, ketinggian 727 s/d 1224 m.
(2014)
|
9
|
4
|
Hutan alami dan hutan campuran
|
Widodo (2014). Total C.
cya-noventris 19 & T. chloris 12. Blok
III, tidak dima-sukan dalam data, karena tidak di-ketahui tipe habitatnya,
dijumpai C. cyanoventris 3 & T. chloris 4.
|
5
|
2
|
Tepi sungai bervegetasi hutan bercampur semak (vegetasi
pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara)
|
|||
1
|
2
|
Tepi sungai
terbuka terdapat vegetasi semak
|
|||
1
|
0
|
Bibir kawah ditumbuhi paku-pakuan dan pakis-pakisan (Cyathea
sp). Sebagian ditumbuhi Imperata cylindrica, rumput lain. Tebing
kawah ditumbuhi kaliandra. Terdapat danau kawah ketinggian 1124-1224 m
|
|||
5
|
Resort Tapos, TN. Gede Pangrango
|
-
|
ada
|
Hutan primer
|
Hasibuan, dkk (2017)
|
6
|
Pantai Siung dan pantai Wedi
Ombo, Gunung Kidul Yogyakarta, (2013)
|
Pantai Siung 3, pantai Wedi Ombo 3
|
Pantai Siung 10, pantai Wedi Ombo 7
|
Hutan pantai heterogen dan
homogen
|
Amna (2013)
|
7
|
CA. Muara Angke (25 Des. 2011)
|
-
|
Ada
|
Hutan mangrove dan rawa
|
Pramesti
|
8
|
Ketingan, Sidoarjo, Maret 2013
|
-
|
Ada
|
Hutan mangrove dan tambak
|
Admin Pro Fauna. (2013)
|
9
|
Kaki G. Papandayan, Garut
|
1
|
1
|
Areal persawahan di sekitarnya terdapat banyak pepohonan
|
B.Hermawan (pengamatan)
|
C. Analisa
Dari seluruh pengamatan penulis
lakukan ditambah data hasil pengamatan pengamat lain, diketahui tipe habitat
dan populasi Halyon cyanoventris dan Todiramphus chloris sebagai berikut:
No.
|
Tipe habitat
|
H. cyanoventris
|
T. chloris
|
A. Areal pesisir pantai
|
|||
1
|
Hutan magrove
|
-
|
Tidak umum
|
2
|
Hutan pesisir pantai
|
6
|
17
|
3
|
Rawa terbuka tepi pantai
|
-
|
1
|
4
|
Tambak
|
Tidak umum
|
|
5
|
Dataran lumpur
|
-
|
Tidak umum
|
6
|
Tebing karang
|
-
|
1
|
B. Areal lahan
basah air tawar
|
|||
7
|
Lahan persawahan bercampur rawa/hutan/pepohonan
|
Umum
|
Sedikit
|
8
|
Vegetasi rawa
|
Tidak umum
|
-
|
9
|
Tepi sungai bervegetasi hutan
|
Umum hingga tidak umum
|
Sedikit
|
10
|
Tepi sungai bervegatsi hutan
bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana
camara)
|
5
|
2
|
11
|
Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak
|
1
|
2
|
12
|
Lahan basah ketinggian 1300 m >
|
Umum
|
-
|
13
|
Rawa tepi danau/waduk (terbuka)
|
-
|
-
|
C. Areal hutan
|
|||
14
|
Area hutan campuran, bendungan, hutan monokultur dan bekas lahan persawahan
|
Sedikit
|
agak banyak
|
15
|
Hutan produksi bercampur hutan alam
|
9
|
4
|
16
|
Hutan primer
|
-
|
1
|
D. Areal terbuka luas
|
|||
17
|
Perkebunan teh terbuka
|
-
|
2
|
E. Areal pusat pemukinan
|
|||
18
|
Vegetasi dan lahan basah dipemukiman
|
Umum hingga tidak umum
|
-
|
Delapan belas tipe habitat berhasil diklasifikasikan dari data yang
terkumpul, dibagi dalam lima tipe habitat makro, yaitu:
- Areal pesisir pantai,
Terdiri dari enam tipe
habitat;
1. Hutan mangrove
2. Hutan pesisir pantai
3. Rawa terbuka
4. Tambak
5. Dataran lumpur
6. Tebing karang
Gambar 6. Todiramphus chloris umumnya menghuni tempat terbuka (@ Fachry Nur Mallo) |
Pada keenam tipe tersebut Todiramphus
chloris dijumpai pada semua tipe habitat, tertinggi di tipe hutan pesisir
pantai, sedangkan Halcyon cyanoventris
hanya dijumpai di hutan pesisir pantai
(6), tetapi populasinya jauh lebih sedikit dibanding populasi Todiramphus chloris (17).
Secara umum areal pesisir pantai bukan tipe habitat disukai Halcyon cyanoventris. Walaupun ditemukan
di hutan pesisir pantai, tetapi populasinya jauh lebih sedikit dari Todiramphus chloris, padahal hampir
semua tipe habitat di pedalaman daratan Halcyon
cyanoventris jauh lebih dominan dari Todiramphus
chloris. Diduga hutan pesisir pantai dihuni Halcyon cyanoventris karena mirip tipe habitatnya di daratan. Dengan
demikian hal ini mengindikasikan Halcyon
cyanoventris lebih cenderung menghuni habitat bervegetasi hutan pohon atau
semak tinggi daripada areal terbuka dan vegetasi semak rendah. Sedangkan Todiromphus chloris umum hingga
agak umum dijumpai pada semua tipe
habitat pesisir pantai, dengan demikian hal ini membuktikan burung ini menyukai
areal terbuka.
- Areal lahan basah air tawar,
Terdiri dari tujuh tipe habitat;
1. Lahan persawahan bercampur rawa/pepohonan/hutan
2. Vegetasi rawa
3. Tepi sungai bervegetasi hutan
4. Tepi sungai bervegatasi hutan
bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara)
5. Tepi sungai terbuka terdapat vegetasi
semak
6. Lahan basah ketinggian 1300 m>
7. Rawa tepi danau/waduk terbuka.
Dari tujuh tipe habitat ini, Halcyon
cyanoventris dijumpai pada enam tipe habitat, sedangkan Todiramphus chloris hanya empat tipe
habitat. Hanya satu tipe habitat tidak dijumpai Halcyon cyanoventris (rawa tepi danau/waduk terbuka). Populasi Halcyon cyanoventris paling tinggi pada tepi sungai bervegetasi hutan, temasuk
tepi sungai bervegetasi hutan bercampur semak, dan juga lahan persawahan
bercampur rawa/pepohonan/hutan. Sedangkan Todiramphus
chloris hanya dijumpai pada lahan
persawahan bercampur rawa, sungai bervegetasi hutan, tepi sungai hutan
bercampur semak (vegetasi pinus bercampur Kaliandra dan semak Lantana camara) dan tepi sungai terbuka,
terdapat vegetasi semak. Dari keempat
tipe ini hanya satu dijumpai lebih banyak sedikit populasi Todiramphus
chloris (vegetasi tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak) dari Halcyon cyanoventris, sedangkan ketiga
tipe lain populasi Halcyon cyanoventris jauh lebih dominan.
Dengan demikian secara keseluruhan habitat lahan basah air tawar terdapat
vegetasi di tepi atau sekitarnya
merupakan tipe habitat disukai Halcyon
cyanoventris. Tepi sungai terbuka
terdapat vegetasi semak, satu-satunya tipe dijumpai sedikit dominan Todiramphus chloris daripada Halcyon cyanoventris, menunjukkan Todiramphus
chloris menyukai areal vegetasi terbuka, semak rendah, sedangkan Halcyon cyanoventris kurang menyukainya.
Rawa tepi danau/waduk terbuka satu-satunya tipe habitat tidak terdapat
kedua jenis tersebut. Mungkin karena waktu pengamatan yang singkat penulis
dilakukan. Penulis menduga di tempat ini terdapat kedua jenis burung ini. Jika
keduanya tidak terdapat habitat ini mungkin karena waduk ini ramai dikunjungi
manusia. Sebagai catatan dari hasil penelitian Ekowati (2016) di Telaga Warna,
Jawa Barat, ketinggian ±1400 m disekitarnya merupakan areal hutan hujan juga
dijumpai Halcyon cyanoventris. Hal ini mengindikasikan pada danau atau waduk di
tepi hutan dataran rendah juga terdapat burung ini.
Lahan basah ketinggian diatas 1.400 m tidak lagi dijumpai Todiramphus chloris, karena batas
penyebarannya di bawah ketinggian tersebut, sementara Halcyon cyanoventris umum dijumpai.
- Areal hutan,
Terdiri dari tiga tipe habitat;
1. Areal hutan campuran, bendungan, hutan monokultur dan bekas lahan persawahan,
2. Hutan produksi bercampur hutan alam
3. Hutan primer
Gambar 7. Halcyon cyanoventris lebih sering bertengger diam-diam pada vegetasi tidak mencolok (@Fachry Nur Mallo) |
Pada tipe habitat areal hutan campuran, bendungan, hutan monokultur dan bekas lahan persawahan sedikit dijumpai Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris lebih banyak. Pada tipe habitat hutan
primer tidak dijumpai Halcyon
cyanoventris, sedangkan Todiramphus
chloris sedikit dijumpai. Pada hutan produksi bercampur hutan alam dijumpai
lebih dominan Halcyon cyanoventris
daripada Todiramphus chloris.
Hal ini mengindikasikan
tipe habitat disukai Halcyon cyanoventris
berupa hutan produksi bercampur hutan alam, sedangkan hutan monokultur (mungkin
juga hutan homogen) dan areal bekas persawahan (mungkin lokasi survei areal
kering luas) tidak disukai, walaupun di sekitarnya terdapat hutan monokultur
bercampur hutan campuran, dan hutan primer bukan habitat Halcyon cyanoventris. Sebaliknya di tipe habitat disebutkan pertama
dijumpai lebih banyak Todiramphus chloris
dibandingkan Halcyon cyanoventris
dibanding dua tipe habitat lain, dan dijumpai sedikit di habitat hutan primer.
Hal ini mengindikasikan Todiramphus
chloris lebih menyukai tipe habitat lebih terbuka dan bersifat lebih
kering, dan mungkin juga menyukai tipe
hutan monokultur dan homogen. Status keberadaannya di tipe habitat hutan primer
terasa janggal, data tersebut hanya dari pengamatan di Resort Tapos, TN. Gede
Panrango, tetapi di tiga lokasi lain (Gunung Merapi, TN. Gunung Halimun, dan
Ranca Upas) tidak jumpai, hal ini mengindikasikan tipe habitat ini tidak
disukai. Mungkin burung ini terdapat di
di Resort Tapos, TN. Gede Panrango, karena arealnya dekat tempat terbuka atau terpaksa beradaptasi untuk mengisi relung yang
tidak ditempati Halcyon cyanoventris.
- Areal terbuka luas,
Hanya satu tipe; perkebunan teh terbuka.
Pada tipe habitat ini tidak dijumpai Halcyon
cyanoventris, sedangkan Todiramphus
chloris dijumpai.
Dengan demikian hal ini mengindikasikan areal terbuka luas dengan vegetasi
semak rendah dan homogen tidak disukai Halcyon
cyanoventris, sebagaimana pengamatan di lakukan pada dua perkebunan teh.
Diduga vegetasi alang-alang juga vegetasinya terbuka dan rendah bukan habitat Halcyon cyanoventris. Hal ini menguatkan
pendapat pada penjelasan sebelumnya bahwa pada tipe habitat dipesisir pantai
dan tipe areal terbuka di pedalaman (di luar
pesisir pantai) merupakan tipe habitat tidak disukai Halcyon cyanoventris. Satu-satunya areal terbuka disukai hanya pada
areal persawahan basah terdapat vegetasi
rawa. Juga mengindikasikan Todiramphus
chloris menyukai tipe habitat terbuka.
- Areal
pusat pemukiman
Vegetasi dan lahan basah di pusat pemukiman umum hingga tidak umum dijumpai
Halcyon cyanoventris, sedangkan Todiramphus chloris tidak dijumpai.
Mengagumkan Halcyon cyanoventris
dapat hidup dengan baik di tipe habitat
ini, banyak jenis burung tidak mampu melakukannya, termasuk Todiramphus chloris.
Gambar 8. Halcyon cyanoventris sedang mengunjungi kolam di Taman Kota Maluku, Bandung (@ Fachry Nur Mallo) |
Dengan demikian secara makro, areal pesisir pantai terbuka, tambak, hutan
mangrove, tebing karang dan rawa terbuka di pesisir pantai bukan habitat Halcyon cyanoventris, kecuali hutan
pesisir pantai, tetapi vegetasi ini bukan habitat ekslusif burung ini. Di pedalaman (di luar pesisir pantai) Halcyon cyanoventris menghuni sungai dan
lahan basah lain ditepinya atau dekat vegetasi hutan dan hutan bercampur semak,
persawahan terdapat hutan rawa/pepohonan/hutan, bahkan juga umum dan agak umum pada vegetasi
pepohonan dan rawa, dan kolam terpencil di tengah pemukiman. Sedangkan vegetasi
terbuka dan hutan monokultur, mungkin juga hutan homogen sedikit, dan pada
areal vegetasi semak rendah dan diduga padang rumput luas bukan habitatnya atau
habitat tidak disukai.
Keterikatan Halcyon cyanoventris
dengan lahan basah (terutama sungai) ditepinya atau dekat vegetasi hutan dan
hutan bercampur semak, dan lahan persawahan terdapat rawa/pepohonan/hutan juga dapat dibuktikan
burung ini umumnya bersarang di tepi sungai atau dekat tepi sungai pada
vegetasi berhutan, dan juga jenis makanan primernya lebih menunjukkan hewan hidup di lahan basah berupa sungai, kolam dan
lahan persawahan, dan areal berhutan.
Gambar 9. Sarang Todiramphus chloris di sarang anai-anai pada lahan budidaya (@ Dadang Dwi Putra) |
Sedangkan Todiramphus chloris
secara makro menghuni pesisir pantai terbuka, tambak, hutan mangrove, tebing
karang dan rawa terbuka di pesisir pantai. Di pedalaman Todiramphus chloris menghuni vegetasi terbuka dan hutan monokultur
dan pada areal vegetasi semak rendah dan diduga padang rumput luas. Pendapat
ini didukung data bahwa tempat bersarang Todiramphus
chloris di areal kering, hutan sekunder dekat areal terbuka, dan lahan
budidaya, dan jenis makanan primernya lebih menunjukan hewan hidup di pesisir
pantai dan tempat terbuka kering.
D. Terjadinya kompetisi dan pembagian sumberdaya
Di Jawa Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris telah melakukan
kompetisi ketat dalam memperebutkan sumberdaya. Hal ini
wajar terjadi mengingat kebutuhan sumberdaya kedua jenis burung ini secara
makro hampir sama.
Beberapa ahli masih menempatkan kedua jenis burung ini dalam satu genus (Halcyon), walaupun sekarang lebih
diterima terpisah (Halcyon dan
Todiramphus). Dengan demikian
kekerabatan kedua jenis burung ini masih dekat. Dalam teori ekologi jika dua
jenis burung masih dalam satu genus menghuni relung yang sama akan terjadi
persaingan ketat dalam memperebutkan sumberdaya dibutuhkan.
Salah satu faktor penting mempengaruhi terjadinya kompetisi ketat pada
kedua jenis burung ini adalah keduanya
memiliki ukuran tubuhnya hampir sama, termasuk ukuran paruh, sehingga
kebutuhan sumberdaya hampir sama. Menurut
Eaton et al. (2016), Halcyon cyanoventris berukuran 27 cm,
sedangkan Todiramphus chloris 23-25
cm, juga secara makro mempunyai tipe habitat dan jenis makanan yang hampir
sama, juga mungkin lokasi sarang, tetapi faktor terakhir ini tidak sebesar
faktor disebutkan sebelumnya, disamping juga faktor-faktor mikro lain yang juga
berpengaruh.
Proses terjadinya kompetisi ini dapat dilihat bahwa kedua jenis burung ini
menghuni masing-masing habitat secara mikro, dan pada habitat terdapat keduanya, saling mengurangi
populasinya masing-masing. Beberapa pengamat burung, temasuk B. Hermawan
mengamati kedua burung ini saling mengusir atau juga bertarung saat bertemu.
Dalam kompetisi ini nampaknya Todiramphus
chloris kalah bersaing dengan Halcyon
cyanoventris. Hal ini dapat
dibuktikan Todiramphus chloris tidak
dijumpai atau sedikit dijumpai pada habitat dijumpai umum atau agak umum Halcyon cyanoventris, yang merupakan
habitat juga disukai Halcyon cyanoventris,
yaitu pada persawahan bercampur rawa/pepohonan/hutan dan habitat lahan vegetasi rawa. Sedangkan
tepi sungai terdapat vegetasi hutan, tepi sungai terdapat hutan bercampur semak
dan hutan produksi bercampur hutan alam dijumpai lebih dominan Halcyon cyanoventris daripada Todiramphus chloris. Tetapi pada tipe
habitat tepi sungai terbuka terdapat vegetasi semak, dan habitat areal hutan
campuran, bendungan, hutan monokultur
dan bekas lahan persawahan sedikit dijumpai Halcyon cyanoventris dan areal vegetasi semak rendah (misalnya perkebunan teh) luas tidak disukai Halcyon cyanoventris, tetapi dominan Todiramphus chloris. Diduga juga Todiramphus chloris dominan di pesisir
pantai karena areal tersebut bukan habitat Halcyon
cyanoventris.
Di Sulawesi Todiramphus chloris
dapat tersebar luas dengan baik pada hampir semua semua tipe habitat dari
pesisir pantai hingga ketinggian 1500 m karena tidak memiliki pesaing, sehingga
menjadi penguasa di kawasan tersebut. Karena burung asli Sulawesi umumnya
penghuni hutan primer dan sekunder tua. Banyak tipe habitat di Sulawesi
yang sama di Jawa disukai Todiramphus
chloris, tetapi di Jawa tidak dijumpai, karena telah dihuni Halyon cyanoventris. Nampaknya di Jawa Todiramphus chloris mengisi relung yang tidak dihuni oleh Halcyon cyanoventris, atau hidup bersama
pada beberapa tempat dengan populasi sedikit.
Untuk menghindari saling berkompetisi, kedua burung ini menghuni tipe
habitat berbeda. Secara makro Halcyon
cyanoventris menghuni pedalaman (di luar pesisir pantai) Jawa, dari dataran
rendah hingga ketinggian 1700 m, sedangkan Todiramphus
chloris menghuni pesisir pantai. Walaupun demikian di pedalaman Todiramphus chloris juga dijumpai,
tetapi hanya menghuni ruang habitat yang tidak dihuni Halcyon cyanoventris, atau menghuni ruang habitat yang sama dengan Halcyon cyanoventris, tetapi dengan
populasi kecil. Di pedalaman, Halcyon
cyanoventris menghuni lahan basah ditepinya bervegetasi hutan atau
bervegetasi hutan bercampur semak, dan persawahan terdapat rawa/pepohonan/hutan, sedangkan Todiramphus chloris menghuni areal
terbuka, vegetasi lebih terbuka dan semak rendah, relung yang disisakan Halcyon cyanoventris.
Faktor perbedaan ketinggian tempat bertengger diduga menjadi faktor
penyebab berkurangnya tingkat kompetisi kedua jenis burung ini. Halcyon
cyanoventris bertengger lebih rendah
dari Todiramphus chloris; Halcyon cyanoventris bertengger maksimal
setinggi + 5 m, lebih sering 2 s/d 3 sedangkan
Todiramphus chloris
maksimal setinggi + 10 m, lebih sering 4 s/d 6 m. Tetapi faktor
ini pengaruhnya tidak sebesar adanya perbedaan tipe habitat.
Dahulu dibeberapa tempat di Jawa terdapat Halyon cyanoventris sekarang
sudah punah, karena maraknya penangkapan dan perdagangan terhadap burung ini.
Dibeberapa tempat di Jawa, burung ini merupakan salah satu jenis diperdagangkan.
Kepunahan Halyon cyanoventris pada suatu tempat akan membuat relungnya menjadi
kosong sehingga akan mendorong Todiramphus chloris mengisinya.
E. Rekomendasi
Data-data yang tersedia
mungkin belum ideal untuk menganalisa kompetisi dan pembagian sumberdaya Halyon cyanoventris dan Todiramphus chloris, tetapi paling tidak
dengan hasil analisa ini kita mempunyai gambaran minimal secara makro bagaimana
kompetisi terjadi kedua jenis burung tersebut. Idealnya dilakukan analisa
dengan menggunakan metode yang lebih baik dan akurat, dengan data banyak
tersedia, tetapi hal itu sulit diwujudkan.
Biasanya para peneliti
lebih tertarik meneliti burung yang sudah sudah populer dan menarik perhatian
donatur. Sehingga jenis burung tidak menarik perhatian mereka tidak atau sangat
jarang diteliti. Sebagian besar burung-burung di Indonesia, termasuk di Jawa
datanya tidak tersedia, karena tidak dilakukan penelitian. Sementara data tersebut sangat dibutuhkan saat ini.
Untuk mengisi kekosongan
data tersebut, paling baik dilakukan survei dan pengamatan sederhana, tidak
membutuhkan biaya mahal dengan metode sederhana sehingga memicu dilakukan
pengumpulan data. Data tersebut paling
tidak secara makro sudah menginformasi
kehidupan suatu jenis burung. Jika hal
itu dilakukan oleh pengamat dan pemerhati burung di Indonesia, dengan jumlah
pengamat dan pemerhati burung yang ada sekarang, maka akan tersedia banyak data
burung di Indonesia. Sekecil apapun data yang kita tulis dalam jurnal ataupun
hanya sekedar berbagi catatan, pasti akan sangat bermanfaat.
Oleh karena itu,
direkomendasikan agar pengumpulan data kompetisi dan pembagian sumberdaya Halcyon cyanoventris dan Todiramphus chloris dilakukan oleh
pengamat, pemerhati atau biologiwan, dan alangkah baiknya jika dijadikan
sebagai obyek studi dalam skripsi atau level di atasnya, maupun proyek
penelitian, agar lebih banyak terungkap mengenai hal itu.
F. Ucapan terima kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu
selama dilakukan pengamatan Halyon cyanoventris
dan Todiramphus chloris di Jawa.
Terutama Kang Budi Hermawan, selain sering bersama-sama melakukan pengamatan
dan hunting fotorgrafer burung dibeberapa tempat (bahkan sering hanya berdua),
juga terpenting telah mengizinkan menggunakan foto hasil jepretannya dan memberikan data lapangan kedua jenis burung tersebut; juga mas
Riza Marlon, Kang Ader Rahmat, Kang Adi Sugiarto, Teh Dewi Wahyuni, Kang
Radiktya Akasah dan Kang Whishal M. Dasanova, teman-teman Bandung Birding,
teman-teman pengamat burung lain di Bandung, Yogyakarta dan Jakarta, yang telah
bersama-sama mengunjungi beberapa tempat, sehingga saya berkesempatan mengamati
kedua jenis burung tersebut; juga Dadang
Dwi Putra yang telah mengizinkan fotonya digunakan dalam tulisan ini; tidak
kalah penting adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo, yang telah membantu mengedit dan
memposting tulisan ini. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan
namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.
G. Daftar Pustaka
Admin Pro Fauna. 2013. Pengamatan
Burung Ketingan, Sidoarjo. Pro Fauna.
Amna, M.M, 2013. Perbandingan
Keanekaragaman Burung di Pantai Siung dan Pantai
Wedi Ombo Gunung Kidul, D.I.
Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universias Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2013.
Coates, B.J. and Bishop, K.D. 1997. A
Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda
Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J. 2014. Illustrated Checklist of the Bird of the
World, Volume 1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
Eaton, J.A, van Balen, B., Bricle, N.W., and Rheindt, F.E. 2016. Birds of the Indonesian Archipelago.
Greater Sundas and Wallacea. Lynx Edicions. Barcelona.
Ekowati, A, Setiyani, Haribowo, D.R. dan Hidayah, K. 2016. Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan
Telaga Warna, Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor. Al-Kauniyah: Journal of
Biology Website.
Hasibuan, R.S., Mulyadi dan Majid, I.A. 2017. Keanekaragaman Jenis Burung di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Seminar Nasional dan Gelar Produksi, 17-18 Oktober 2017.
MacKinnon, J., 1991. Panduan
Lapangan Penenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press.
MacKinnon, J. anda Phillips, K. 1992. Field
Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford.
Mallo, F.N. 2019. Catatan Pengamatan
Burung-Burung di Jawa. Tidak dipublikasikan.
Mallo, F.N., 2019a. Database Burung-Burung di Sulawesi. Dalam persiapan.
Permadi, D., Rasyidi, R., Primadieta, Nurrachman, M.H.Z., dan Ramadian,
M.A,. 2014 Distribusi Burung di Kampus
ITB Jatinagor Sebagai Kawasan Penyangga Hutan Lindung
Gunung Manglayang: https://media.neliti.com
Pramesti, C.I., Fitriyani L., dan Nurhaqu, R. 2011. Laporan Hasil Pengamatan Burung di Suaka Margasatwa Muara Angke.
Academia: www.academia.edu
Putra, M.S., 2013. Studi
Keanekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Petak di Wanagama I, Gunung
Kidul-Yogyakarta. Akademia: www.academia,edu.
Widodo, W., 2014. Populasi dan Pola
Sebaran Burung di Hutan Wanawisata
Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Biosaintifika. 6 (1) (2014)
Woodall, P.F. (2019). Javan
Kingfisher (Halcyon cyanoventris). Dalam del Hoyo, J., Elliott, A.,
Sargatal, J., Christie, D.A. & de Juana, E. (eds.). Handbook of the Birds
of the World Alive. Lynx Edicions, Barcelona. (diambil dari https://www.hbw.com/node/55749 pada 22 Mei
2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar