NOTES BEHAVIOR, ECOLOGY AND BIOGEOGRAPHY DARK-EARED MYZA (Myza celebensis)
(Fachry Nur Mallo)
PENDAHULUAN
Myza celebensis
merupakan burung sangat khas Sulawesi. Saking khas sehingga endemisitasnya
sampai ke tingkat marga. Hanya berkerabat dekat dengan Myza sarasinorum, yang juga terbatas hidup di dataran
tinggi Sulawesi. Jika dibanding kerabatnya
di Indonesia bagian timur, burung ini terlihat sangat khas.
Sosoknya dominan coklat, bagian atas bercoret hijau, bagian bawah bercoret gelap dan tidak
memiliki warna terang. Melihatnya menimbulkan kesan merupakan burung purba
Sulawesi.
Foto 1. Myza celebensis sedang mengisap nektar bunga Rhododendron sp. |
Sangat disayangkan kehidupannya sangat jarang
diketahui, akibat kurangnya dilakukan
penelitian, untuk mengungkap kehidupannya. Maka tidak heran data burung ini
sangat kurang tersedia, terutama perilaku dan ekologinya, khususnya perkembangbiakannya.
Sejak tahun 1997 saya mengumpulkan data burung ini
bersama Myza
sarasinorum, bahkan saya sempat melakukan
penelitian ekologinya pada 1997, 1998
dan 1999. Dan berhasil terkumpul data tingkah laku, ekologi, dan biogeografi,
yang saya rangkum dalam tulisan ini. Data ini walaupaun sedikit tetapi saya
yakin akan sangat bermanfaat.
Data berbiaknya hanya dari empat catatan, termasuk satu
pengamatan saya lakukan bersama K.D. Bishop di hutan primer dekat Danau
Kalimpa’a, Taman Nasional Lore Lindu. Diantara keempat catatan
tersebut yang paling lengkap pengamatan saya lakukan, sementara tiga catatan
berbiak lain saya hanya mendapatkan data bulan berbiaknya.
TINGKAH LAKU
Cikarak Sulawesi umumnya hidup
soliter, kadang membentuk kelompok kecil tidak terikat mengunjungi tumbuhan
berbunga, mengisap nektarnya, terutama Alpinia sp. pada
vegetasi semak, serta beberapa jenis tumbuhan lain dan anggrek di strata tajuk
bawah, atau kadang mencari serangga pada
balik dedaunan, batang dan dahan pohon, tumpukan daun kering, serasah di tajuk.
Serangga yang ditemukan langsung ditangkap.
Foto 2. Myza celebensis sedang mendatangi bunga Alpinia sp. |
Saat mencari serangga
sering teramati membentuk kelompok antar-jenis
dengan beberapa jenis burung insectivore
dan semi insectivore. Pembentukan kelompok antar-jenis ini menurut Watling
(dalam Whitten, dkk., 1987) dibagi tiga kelompok; jenis inti, jenis yang seringkali ikut
serta dan jenis kadang saja
ikut serta. Menurut Mallo (2015) jenis inti merupakan
jenis yang menemukan dan mengusik serangga yang dijumpai. Umumnya jenis inti
mempunyai ciri-ciri:
-
aktif
mencari serangga hingga ke dalam relung-relung tajuk.
-
mempunyai
ukuran tubuh yang kecil.
-
aktif
mencari makan berkelompok.
Tabel 1. Daftar jenis burung terlibat pembentukan
kelompok antar-jenis dalam perburuan serangga di hutan tepi Danau Kalimpa’a
(ketinggian 1700 m).
Jenis Inti
|
Jenis yang seringkali
ikut serta
|
Jenis yang kadang saja ikut serta
|
-
Orthotomus cuculatus
-
Phylloscopus sarasinorum
-
Pachycephala sulfuriventer
-
Zosterops montanus
|
- Heinrichia callygina
-
Eumyias
panayensis
-
Ficedula
hyperythra
-
Ficedula
westermanii
-
Cyornis
hoevelli
-
Culicicapha
helianthea
-
Rhipidura
teysmanni
-
Myza
celebensis
|
-
Cacomantis
sepulcralis
-
Malia
grata
-
Enodes
erythropus
-
Dicrurus
hottentottus
|
Berdasarkan
tabel 1 tersebut di atas, burung ini masuk kategori jenis yang seringkali ikut
serta. Kategori ini merupakan jenis yang sering terlihat hadir bila terjadi
pembentukan kelompok antar-jenis dalam melakukan pencarian serangga, jenis yang
seringkali ikut serta sering mengikuti jenis inti saat melakukan perburuan
serangga, bila jenis inti mendapatkan serangga dalam jumlah banyak maka jenis kategori
ini, akan mendatangi tempat jenis inti menemukan serangga dan memangsa serangga
yang terbang karena terhalau jenis inti, sedangkan jenis yang kadang saja ikut serta adalah
jenis yang tidak sering dijumpai bergabung dalam kelompok antar-jenis saat
perburuan serangga.
Selain
berbaur dalam kelompok antar-jenis pada perburuan serangga, burung ini juga
kadang mengikuti bajing pada strata semak dan tajuk bawah saat berburu
serangga. Saat hewan tersebut bergerak di rerimbunan tajuk akan mengusik serangga
hingga terbang, sehingga serangga tersebut akan
mudah dilihat lalu disergap burung
ini.
Walaupun sering
bertengger menyolok, tetapi kehadirannya sering diketahui hanya dari suara yang
dikeluarkan, berupa --ceet-ceet--, panggilan serak, kasar diulang-ulang,
seperti suara bajing. Dikeluarkan pada saat di tempat memakan, atau terbang
dari tempat memakan.
EKOLOGI
a. Habitat
Burung ini tersebar dari ketinggian
800 hingga 2500 m. Tetapi jarang di bawah
ketinggian 1000 m, pada hutan hutan primer atau sekunder tua. Sebagian besar
menghabiskan waktunya di strata semak dan strata tajuk bawah dibanding strata
lain. Jika Alpinia sp. berbunga lebih banyak melakukan aktifitas di
vegetasi tumbuhan ini, pada strata semak. Sehingga hampir seluruh aktifitasnya
pada strata semak. Tetapi jika tidak berbunga persentasi menghuni strata semak
berkurang, dan persentasi menghuni strata tajuk bawah meningkat.
Populasi Alpinia
sp. sangat melimpah antara Danau Kalimpa’a hingga mendekati Puncak
Gunung Rorekatimbu. Diduga tingginya populasi tumbuhan ini menyebabkan tingginya
populasi burung ini di tempat tersebut, dibanding di tempat lain. Di tempat
lain yang tidak terdapat Alpinia sp. sedikit dijumpai populasi burung
ini. Adanya hubungan ekologi ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
b. Makanan
Makanan burung
ini paling favorit adalah Alpinia sp., merupakan tumbuhan endemik banyak
tersebar di Taman Nasional Lore Lindu. Herba ini merupakan kelompok
jahe-jahean, setinggi ± 3 m. Saat
berbunga tumbuhan ini, Myza celebensis menghabiskan banyak waktu aktifitas hariannnya mengisap nektar
dibunganya, dengan mengabaikan makanan lain.
Foto 3. Alpinia sp. sumber makanan utama Myza celebensis |
Selain Alpinia
sp., burung ini juga mengisap nektar di bunga Rhododendron spp., Arnesti
sp., beberapa jenis bunga tumbuhan menjalar pada strata tajuk bawah dan beberapa
jenis anggrek.
Foto 4. Dua jenis Rhododendron sumber makanan Myza celebensis |
Foto 5. Sketsa posisi menempelnya serbuk sari pada paruh Myza spp. dalam proses penyerbukan tumbuhan bertabung dangkal (A) pada tumbuhan berbunga tabung panjang (B) |
c. Perkembangbiakan
Pada 24 Juni
1995 saya bersama K.D. Bishop menemukan satu individu betina
sedang berada di sarangnya, di hutan primer dekat
Danau Tambing (Taman Nasional Lore
Lindu) ketinggian 1.700 m. Sarang diletakkan
pada tumbuhan semak setinggi + 3 – 4 m. Konstruksi
sarang berbentuk mangkuk cukup dalam yang diletakkan diantara beberapa cabang
kayu yang tumbuh tegak lurus (Mallo, 2015). Ketinggian sarang dari permukaan
tanah + 2 m. Material sarang berupa bagian-bagian tumbuhan yang halus,
dijalin cukup rapi. Setelah diperiksa di dalam sarang terdapat satu telur
berwarna putih agak merah muda, pada salah satu ujungnya berbintik kecoklatan.
Foto 6. Sketsa sarang Myza celebensis |
BIOGEOGRAFI
Myza celebesis salah satu diantara jenis burung nectarivore
penulis teliti terkait kompetisi burung-burung nectarivore di Taman Nasional
Lore Lindu pada 1997, 1998 dan 1999. Penelitian ini mencakup Myza celebensis
dan burung Nectarivore lain (Myza sarasinorum, Myzomela
chloroptera, Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan
Aethopyga siparaja). Keempat jenis disebut terakhir anggota Nectariniidae
(Mallo, 1999).
Hasil penelitian tersebut diketahui
perbedaan tempat pada setiap ketinggian dari permukaan laut sangat berpengaruh
bagi pembagian sumberdaya Myza celebensis dan keenam jenis burung
nectarivore lain; empat jenis famili nectariniidae penyebarannya tidak sampai
pada tempat penyebaran Myza celebensis (ketinggian 1400 – 1700 m), Myza
sarasinorum (ketinggian diatas 1700 m) dan Myzomela chloroptera
(ketinggian 1400 – 2000 m). Di tempat
lain Sulawesi walaupun Myza spp. dan Myzomela chloroptera juga
dijumpai pada dataran rendah, tetapi di lokasi penelitian mulai dijumpai
diketinggian di atas 1000 m, bahkan mulai dijumpai secara umum pada ketinggian
1500 m.
Relung hutan tropis dihuni Anthreptes
malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja
di dataran rendah digantikan Myza spp., dan Myzomela chloroptera
di dataran tinggi. Dengan demikian
antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera, dan Anthreptes
malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja
melakukan pembagian sumberdaya,
dengan cara menghuni tempat berbeda berdasarkan ketinggian tempat dari
permukaan laut.
Foto 7. Grafik jumlah "jam hewan" penggunaan strata hutan tropis Myza spp. dan Myzomela chloroptera |
Mekanisme pembagian sumberdaya
serupa juga terjadi antara Myza celebensis dan Myza sarasinorum. Myza
celebensis menghuni hutan tropis dataran tinggi pada tempat yang lebih rendah
ketinggiannya dari Myza sarasinorum; Myza celebensis menghuni
ketinggian 1400 m–1700 m, sementara Myza sarasinorum pada tempat yang
lebih tinggi diatas 1700 m. Adanya perbedaan letak ketinggian dari permukaan
laut tempat dihuni kedua jenis burung ini akan menyebabkan kedua jenis burung
ini tidak berkompetisi atau mengurangi tingkat kompetisi. Tetapi pada 2015, penulis
mengamati kedua burung tersebut kadang bertemu pada ketinggian yang sama di
Gunung Rorekatimbu dan mengunjungi sumber makanan yang sama, tetapi teramati
keduanya melakukan aktifitas tersebut dengan waktu kunjungan berbeda.
Persaingan memperoleh sumberdaya
lebih ketat terjadi antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera.
Penyebaran Myzomela chloroptera dan kedua Myza spp.
tumpang tindih. Myzomela chloroptera dijumpai mulai dari ketinggian
1000-2000 m. Dengan demikian penyebarannya mencakup tempat penyebaran Myza
celebensis dan Myza sarasinorum. Hal ini menyebabkan terjadi kompetisi antara Myza
spp. dan Myzomela chloroptera. Kemungkinan agar ketiga jenis burung
tersebut tetap hidup bersama-sama dengan cara melakukan pembagian jenis
makanan, melakukan aktifitas dengan waktu berbeda dan melakukan aktifitas pada
strata lapisan hutan yang berbeda.
Dari hasil perhitungan jumlah jam
hewan dipakai Myza spp. dan Myzomela chloroptera melakukan waktu
aktifitas mencari dan memakan makanan dikunjungi, nampak terdapat perbedaan
sumber makanan. Myza spp. lebih banyak mengkonsumsi bunga bertabung,
sementara Myzomela chloroptera lebih banyak mengkonsumsi bunga tidak bertabung
atau bertabung pendek. Adanya perbedaan jenis ini ditunjang perbedaan panjang
paruh. Paruh Myzomela chloroptera lebih pendek dibanding paruh kedua Myza.
Dengan demikian lebih cocok mengisap bunga tidak bertabung atau maksimal bunga
bertabung pendek, sementara kedua Myza memiliki paruh agak panjang lebih
cocok mengisap bunga bertabung panjang. Selain itu, bunga sumber makanan Myzomela
chloroptera ukurannya lebih kecil, hal ini disesuaikan dengan ukuran paruhnya
lebih pendek dibanding ukuran paruh Myza spp. yang lebih panjang
sehingga mengisap bunga lebih besar dan bertabung lebih panjang.
Selain adanya pembagian jenis dan
bentuk ukuran makanan, Myza spp. dan Myzomela chloroptera juga
telah membagi ruang secara vertikal dalam strata lapisan hutan tropis. Myza spp. lebih banyak melakukan
aktifitas di semak disamping tajuk bawah, sementara Myzomela chloroptera
lebih banyak melakukan aktifitas di tajuk bawah dan tajuk atas. Dengan demikian
antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera. dapat membagi ruang pada hutan tropis dataran
tinggi dengan cara melakukan aktifitas pada masing-masing strata hutan tropis
yang berbeda.
Foto 8. Grafik jumlah "jam hewan" yang digunakan Myza spp. dan Myzomela choloroptera melakukan aktifitas mencari dan memakan makanan |
Dari penelitian ini dapat diketahui Myza
spp. dan Myzomela chloroptera telah melakukan pembagian sumberdaya
melalui perbedaan macam dan ukuran pakan serta pemisahan ruang hutan secara
vertikal.
Myza merupakan marga endemik daratan Sulawesi, yang hanya beranggotakan
dua jenis, juga termasuk Myza
sarasinorum, yang terbatas hidup di dataran
tinggi daratan Sulawesi. Myza berkerabat dekat dengan meliphaga (Meliphaga spp.),
isap-madu (Lichenostomus
spp.) dan cikukua (Philemon spp.),
tergabung dalam famili Meliphagidae, famili yang beranggotakan cukup banyak jenis, hanya
tersebar di kawasan Australo-Papuan. Beberapa jenis tersebar di luar kawasan
tersebut, terutama di Wallacea.
Burung ini dideskripsi oleh A.B.
Meyer and Wiglesworth pada tahun 1894 dengan nama Arachnothera? Celebensis,
dari specimen didapatkan di Pegunungan Bone, Gorontalo, Utara Sulawesi (del
Hoyo, et al, 2016).
Diantara populasi Myza
celebesis sudah saling terisolasi, hal ini menyebabkan telah terbentuk dua
subjenis:
1. celebensis:
tersebar pada kawasan bagian utara, tengah dan tenggara Sulawesi, dan
2. meridionalis:
tersebar pada bagian barat daya Sulawesi.
Populasi di Gunung Tanke, Sulawesi
Tenggara diusulkan menjadi subjenis tersendiri, parvirostris, tetapi termasuk dalam celebensis
(del Hoyo, et al, 2016). Populasi
di bagian barat daya Sulawesi sudah lama terisolasi secara geografis dari
populasi di kawasan lain daratan Sulawesi, sehingga dapat dipastikan membentuk
sub jenis tersendiri (meridionalis). Kawasan barat daya, terutama Pegunungan
Lompobattang, sudah lama terisolir dari kawasan lain di Sulawesi, sehingga
terjadi spesiasi beberapa jenis burung di kawasan tersebut.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Saya
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu selama
saya melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi pengamatan. Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada
Pak K.D. Bishop yang telah melibatkan saya dalam perjalanannya “birdwatching”
di Taman Nasional Lore Lindu tahun 1999,
Dadang Dwi Putra yang telah bersama-sama melakukan survei di beberapa
lokasi di Taman Nasional Lore Lindu, Pak Litho yang telah menemani saya melakukan
pengamatan di Gunung Rorekatimbu, Juga Adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo, telah
membantu mengedit dan mangupload tulisan ini. Serta semua pihak yang tidak
sempat saya sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu saya selama
melakukan kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Coates,
B.J. and Bishop, K.D.. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea
(Sulawesi, the Moluccas and the Lesser
Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J. 2016. Illustrated Checklist of the Bird of the
World, Volume
2 Passerines. Lynx and Birdlife International.
Mallo, F.N. 2015. Burung-Burung di Taman Nasional Lore Lindu, catatan
ekologi, konservasi dan status keberadaan jenis.
Bandung.
Celebes Bird Club (CBC) – Program Study Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL)
Universitas Padjadjaran.
Mallo, F.N. 1999c. Ekologi dan Konservasi Burung Myza spp.
di dataran Tinggi Taman Nasional
Lore Lindu. Tidak dipublikasikan.
Pitopang,
R., Ihsan M., Burhanuddin, I.F. (Penyusun), Sangadji, M.N. (Editor). 2014. Panduan
Pengenalan Flora Fauna Endemik Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sigi.
Whitten,
A.J., Mustafa, M. dan Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi.
Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar