Selasa, 30 April 2019

CATATAN TINGKAH LAKU, EKOLOGI DAN BIOGEOGRAFI CIKARAK SULAWESI (Myza celebensis)


NOTES  BEHAVIOR, ECOLOGY AND BIOGEOGRAPHY DARK-EARED MYZA (Myza celebensis)
(Fachry Nur Mallo)
PENDAHULUAN
Myza celebensis merupakan burung sangat khas Sulawesi. Saking khas sehingga endemisitasnya sampai ke tingkat marga. Hanya berkerabat dekat dengan Myza sarasinorum, yang juga  terbatas hidup di dataran tinggi Sulawesi. Jika dibanding kerabatnya  di Indonesia bagian timur, burung ini terlihat sangat khas.
Sosoknya dominan coklat, bagian atas bercoret hijau, bagian bawah bercoret gelap dan tidak memiliki warna terang. Melihatnya menimbulkan kesan merupakan burung purba Sulawesi.
Foto 1.  Myza celebensis sedang mengisap nektar bunga Rhododendron sp.
Sangat disayangkan kehidupannya sangat jarang diketahui, akibat kurangnya dilakukan penelitian, untuk mengungkap kehidupannya. Maka tidak heran data burung ini sangat kurang tersedia, terutama perilaku dan ekologinya, khususnya perkembangbiakannya.

Sejak tahun 1997 saya mengumpulkan data burung ini bersama Myza sarasinorum, bahkan saya sempat melakukan penelitian ekologinya pada 1997, 1998  dan 1999. Dan berhasil terkumpul data tingkah laku, ekologi, dan biogeografi, yang saya rangkum dalam tulisan ini. Data ini walaupaun sedikit tetapi saya yakin akan sangat bermanfaat.
Data berbiaknya hanya dari empat catatan, termasuk satu pengamatan saya lakukan bersama K.D. Bishop di hutan primer dekat Danau Kalimpa’a, Taman Nasional Lore Lindu.  Diantara keempat catatan tersebut yang paling lengkap pengamatan saya lakukan, sementara tiga catatan berbiak lain saya hanya mendapatkan data bulan berbiaknya.
TINGKAH LAKU
Cikarak Sulawesi umumnya hidup soliter, kadang membentuk kelompok kecil tidak terikat mengunjungi tumbuhan berbunga, mengisap nektarnya, terutama Alpinia sp. pada vegetasi semak, serta beberapa jenis tumbuhan lain dan anggrek di strata tajuk bawah,  atau kadang mencari serangga pada balik dedaunan, batang dan dahan pohon, tumpukan daun kering, serasah di tajuk. Serangga yang ditemukan langsung ditangkap.
Foto 2.  Myza celebensis sedang mendatangi bunga Alpinia sp.
Saat mencari serangga sering teramati  membentuk kelompok antar-jenis dengan beberapa jenis  burung insectivore dan semi insectivore. Pembentukan kelompok antar-jenis ini menurut Watling (dalam Whitten, dkk., 1987) dibagi tiga kelompok; jenis inti, jenis yang seringkali  ikut  serta  dan  jenis  kadang  saja  ikut  serta.  Menurut Mallo (2015) jenis inti merupakan jenis yang menemukan dan mengusik serangga yang dijumpai. Umumnya jenis inti mempunyai ciri-ciri:
-          aktif mencari serangga hingga ke dalam relung-relung tajuk.
-          mempunyai ukuran tubuh yang kecil.
-          aktif mencari makan berkelompok.  
Tabel 1.  Daftar jenis burung terlibat pembentukan kelompok antar-jenis dalam perburuan serangga di hutan tepi Danau Kalimpa’a (ketinggian 1700 m).
Jenis Inti
Jenis yang seringkali
ikut serta
Jenis yang kadang saja ikut serta
            - Orthotomus cuculatus
           - Phylloscopus sarasinorum
           - Pachycephala sulfuriventer
            - Zosterops montanus
-    Heinrichia callygina
-    Eumyias panayensis
-    Ficedula hyperythra
-    Ficedula westermanii
-    Cyornis hoevelli
-    Culicicapha helianthea
-    Rhipidura teysmanni
-    Myza celebensis
-    Cacomantis sepulcralis
-    Malia grata
-    Enodes erythropus
-    Dicrurus hottentottus



Berdasarkan tabel 1 tersebut di atas, burung ini masuk kategori jenis yang seringkali ikut serta. Kategori ini merupakan jenis yang sering terlihat hadir bila terjadi pembentukan kelompok antar-jenis dalam melakukan pencarian serangga, jenis yang seringkali ikut serta sering mengikuti jenis inti saat melakukan perburuan serangga, bila jenis inti mendapatkan serangga dalam jumlah banyak maka jenis kategori ini, akan mendatangi tempat jenis inti menemukan serangga dan memangsa serangga yang terbang karena terhalau jenis inti, sedangkan  jenis yang kadang saja ikut serta adalah jenis yang tidak sering dijumpai bergabung dalam kelompok antar-jenis saat perburuan serangga.
Selain berbaur dalam kelompok antar-jenis pada perburuan serangga, burung ini juga kadang mengikuti bajing pada strata semak dan tajuk bawah saat berburu serangga. Saat hewan tersebut bergerak di rerimbunan tajuk akan mengusik serangga hingga terbang, sehingga serangga tersebut akan  mudah  dilihat lalu disergap burung ini.
Walaupun sering bertengger menyolok, tetapi kehadirannya sering diketahui hanya dari suara yang dikeluarkan, berupa --ceet-ceet--, panggilan serak, kasar diulang-ulang, seperti suara bajing. Dikeluarkan pada saat di tempat memakan, atau terbang dari tempat memakan.
EKOLOGI
a.      Habitat
Burung ini tersebar dari ketinggian 800 hingga 2500 m. Tetapi jarang di bawah ketinggian 1000 m, pada hutan hutan primer atau sekunder tua. Sebagian besar menghabiskan waktunya di strata semak dan strata tajuk bawah dibanding strata lain. Jika Alpinia sp. berbunga lebih banyak melakukan aktifitas di vegetasi tumbuhan ini, pada strata semak. Sehingga hampir seluruh aktifitasnya pada strata semak. Tetapi jika tidak berbunga persentasi menghuni strata semak berkurang, dan persentasi menghuni strata tajuk bawah  meningkat. 
Populasi Alpinia sp. sangat melimpah antara Danau Kalimpa’a hingga mendekati Puncak Gunung Rorekatimbu. Diduga tingginya populasi tumbuhan ini menyebabkan tingginya populasi burung ini di tempat tersebut, dibanding di tempat lain. Di tempat lain yang tidak terdapat Alpinia sp. sedikit dijumpai populasi burung ini. Adanya hubungan ekologi ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
b.      Makanan
Makanan burung ini paling favorit adalah Alpinia sp., merupakan tumbuhan endemik banyak tersebar di Taman Nasional Lore Lindu. Herba ini merupakan kelompok jahe-jahean,  setinggi ± 3 m. Saat berbunga tumbuhan ini, Myza celebensis menghabiskan banyak waktu aktifitas hariannnya mengisap nektar dibunganya, dengan mengabaikan makanan lain.
Foto 3.  Alpinia sp. sumber makanan utama Myza celebensis
Selain Alpinia sp., burung ini juga mengisap nektar di bunga Rhododendron spp., Arnesti sp., beberapa jenis bunga tumbuhan menjalar pada strata tajuk bawah dan beberapa jenis anggrek.


Foto 4.  Dua jenis Rhododendron sumber makanan Myza celebensis
Foto 5.  Sketsa posisi menempelnya serbuk sari pada paruh Myza spp.
  dalam proses penyerbukan tumbuhan bertabung dangkal (A)
pada tumbuhan berbunga tabung panjang (B)
Serangga dan anthropoda lain juga makanan penting bagi burung ini.  Serangga  yang dikonsumsi terutama kumbang berukuran kecil (Coleoptera), lalat buah dan semut. Anthropoda lain dikonsumsi adalah laba-laba terutama jenis Araneae.
c.       Perkembangbiakan
        Pada 24 Juni 1995 saya bersama K.D. Bishop menemukan satu individu betina sedang berada di sarangnya, di hutan primer dekat Danau Tambing (Taman Nasional Lore Lindu)  ketinggian 1.700 m.  Sarang diletakkan pada tumbuhan semak setinggi + 3 – 4 m.  Konstruksi sarang berbentuk mangkuk cukup dalam yang diletakkan diantara beberapa cabang kayu yang tumbuh tegak lurus (Mallo, 2015). Ketinggian sarang dari permukaan tanah + 2 m. Material sarang berupa bagian-bagian tumbuhan yang halus, dijalin cukup rapi. Setelah diperiksa di dalam sarang terdapat satu telur berwarna putih agak merah muda, pada salah satu ujungnya berbintik kecoklatan.
       
Foto 6.  Sketsa sarang Myza celebensis
Menurut de Hoyo,
et al, 2016, burung ini juga tercatat berbiak pada Maret dua kali dan Juli satu kali. Dengan demikian dapat diketahui waktu berbiak burung ini pada Maret dan Juni. Juli.
BIOGEOGRAFI
Myza celebesis salah satu diantara jenis burung nectarivore penulis teliti terkait kompetisi burung-burung nectarivore di Taman Nasional Lore Lindu pada 1997, 1998 dan 1999. Penelitian ini mencakup Myza celebensis dan burung Nectarivore lain (Myza sarasinorum, Myzomela chloroptera, Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja). Keempat jenis disebut terakhir anggota Nectariniidae (Mallo, 1999).
Hasil penelitian tersebut diketahui perbedaan tempat pada setiap ketinggian dari permukaan laut sangat berpengaruh bagi pembagian sumberdaya Myza celebensis dan keenam jenis burung nectarivore lain; empat jenis famili nectariniidae penyebarannya tidak sampai pada tempat penyebaran Myza celebensis (ketinggian 1400 – 1700 m),  Myza  sarasinorum  (ketinggian   diatas 1700 m) dan Myzomela chloroptera (ketinggian 1400 – 2000 m).  Di tempat lain Sulawesi walaupun Myza spp. dan Myzomela chloroptera juga dijumpai pada dataran rendah, tetapi di lokasi penelitian mulai dijumpai diketinggian di atas 1000 m, bahkan mulai dijumpai secara umum pada ketinggian 1500 m.
Relung hutan tropis dihuni Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja di dataran rendah digantikan Myza spp., dan Myzomela chloroptera di dataran tinggi.  Dengan demikian antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera, dan Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga siparaja  melakukan pembagian sumberdaya, dengan cara menghuni tempat berbeda berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Foto 7.  Grafik jumlah "jam hewan" penggunaan strata hutan tropis
Myza spp. dan Myzomela chloroptera 
Mekanisme pembagian sumberdaya serupa juga terjadi antara Myza celebensis dan Myza sarasinorum. Myza celebensis menghuni hutan tropis dataran tinggi pada tempat yang lebih rendah ketinggiannya dari Myza sarasinorum; Myza celebensis menghuni ketinggian 1400 m–1700 m, sementara Myza sarasinorum pada tempat yang lebih tinggi diatas 1700 m. Adanya perbedaan letak ketinggian dari permukaan laut tempat dihuni kedua jenis burung ini akan menyebabkan kedua jenis burung ini tidak berkompetisi atau mengurangi tingkat kompetisi. Tetapi pada 2015, penulis mengamati kedua burung tersebut kadang bertemu pada ketinggian yang sama di Gunung Rorekatimbu dan mengunjungi sumber makanan yang sama, tetapi teramati keduanya melakukan aktifitas tersebut dengan waktu kunjungan berbeda.
Persaingan memperoleh sumberdaya lebih ketat terjadi antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera. Penyebaran Myzomela chloroptera dan kedua Myza spp. tumpang tindih. Myzomela chloroptera dijumpai mulai dari ketinggian 1000-2000 m. Dengan demikian penyebarannya mencakup tempat penyebaran Myza celebensis dan Myza sarasinorum.  Hal ini menyebabkan terjadi kompetisi antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera. Kemungkinan agar ketiga jenis burung tersebut tetap hidup bersama-sama dengan cara melakukan pembagian jenis makanan, melakukan aktifitas dengan waktu berbeda dan melakukan aktifitas pada strata lapisan hutan yang berbeda.
Dari hasil perhitungan jumlah jam hewan dipakai Myza spp. dan Myzomela chloroptera melakukan waktu aktifitas mencari dan memakan makanan dikunjungi, nampak terdapat perbedaan sumber makanan. Myza spp. lebih banyak mengkonsumsi bunga bertabung, sementara Myzomela chloroptera lebih banyak mengkonsumsi bunga tidak bertabung atau bertabung pendek. Adanya perbedaan jenis ini ditunjang perbedaan panjang paruh. Paruh Myzomela chloroptera  lebih pendek dibanding paruh kedua Myza. Dengan demikian lebih cocok mengisap bunga tidak bertabung atau maksimal bunga bertabung pendek, sementara kedua Myza memiliki paruh agak panjang lebih cocok mengisap bunga bertabung panjang. Selain itu, bunga sumber makanan Myzomela chloroptera ukurannya lebih kecil, hal ini disesuaikan dengan ukuran paruhnya lebih pendek dibanding ukuran paruh Myza spp. yang lebih panjang sehingga mengisap bunga lebih besar dan bertabung lebih panjang.
Selain adanya pembagian jenis dan bentuk ukuran makanan, Myza spp. dan Myzomela chloroptera juga telah membagi ruang secara vertikal dalam strata lapisan hutan tropis.  Myza spp. lebih banyak melakukan aktifitas di semak disamping tajuk bawah, sementara Myzomela chloroptera lebih banyak melakukan aktifitas di tajuk bawah dan tajuk atas. Dengan demikian antara Myza spp. dan Myzomela chloroptera.  dapat membagi ruang pada hutan tropis dataran tinggi dengan cara melakukan aktifitas pada masing-masing strata hutan tropis yang berbeda.
Foto 8.  Grafik jumlah "jam hewan" yang digunakan Myza spp. dan Myzomela choloroptera
melakukan aktifitas mencari dan memakan makanan
Dari penelitian ini dapat diketahui Myza spp. dan Myzomela chloroptera telah melakukan pembagian sumberdaya melalui perbedaan macam dan ukuran pakan serta pemisahan ruang hutan secara vertikal.
Myza merupakan marga endemik daratan Sulawesi, yang hanya beranggotakan dua jenis, juga termasuk Myza sarasinorum, yang terbatas hidup di dataran tinggi daratan Sulawesi. Myza berkerabat dekat dengan meliphaga (Meliphaga spp.), isap-madu (Lichenostomus spp.) dan cikukua (Philemon spp.), tergabung dalam famili Meliphagidae, famili yang beranggotakan cukup banyak jenis, hanya tersebar di kawasan Australo-Papuan. Beberapa jenis tersebar di luar kawasan tersebut, terutama di Wallacea.
Burung ini dideskripsi oleh A.B. Meyer and Wiglesworth pada tahun 1894 dengan nama Arachnothera? Celebensis, dari specimen didapatkan di Pegunungan Bone, Gorontalo, Utara Sulawesi (del Hoyo, et al, 2016).
Diantara populasi Myza celebesis sudah saling terisolasi, hal  ini menyebabkan telah terbentuk dua subjenis:  
1. celebensis: tersebar pada kawasan bagian utara, tengah dan tenggara Sulawesi, dan
2. meridionalis: tersebar pada bagian barat daya Sulawesi.
Populasi di Gunung Tanke, Sulawesi Tenggara diusulkan menjadi subjenis tersendiri,  parvirostris, tetapi termasuk dalam celebensis (del Hoyo, et al, 2016).  Populasi di bagian barat daya Sulawesi sudah lama terisolasi secara geografis dari populasi di kawasan lain daratan Sulawesi, sehingga dapat dipastikan membentuk sub jenis tersendiri (meridionalis). Kawasan barat daya, terutama Pegunungan Lompobattang, sudah lama terisolir dari kawasan lain di Sulawesi, sehingga terjadi spesiasi beberapa jenis burung di kawasan tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu selama saya melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi pengamatan.  Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Pak K.D. Bishop yang telah melibatkan saya dalam perjalanannya “birdwatching” di Taman Nasional Lore Lindu tahun 1999,  Dadang Dwi Putra yang telah bersama-sama melakukan survei di beberapa lokasi di Taman Nasional Lore Lindu, Pak Litho yang telah menemani saya melakukan pengamatan di Gunung Rorekatimbu, Juga Adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo, telah membantu mengedit dan mangupload tulisan ini. Serta semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu saya selama melakukan kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Coates, B.J. and Bishop, K.D.. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and  the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2016. Illustrated Checklist of the Bird of the WorldVolume 2 Passerines. Lynx and Birdlife International.
Mallo, F.N. 2015. Burung-Burung di Taman Nasional Lore Lindu, catatan ekologi, konservasi dan status keberadaan jenis. Bandung. Celebes Bird Club (CBC) – Program Study Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran.  
Mallo, F.N. 1999c.  Ekologi dan Konservasi Burung Myza spp. di dataran Tinggi Taman Nasional Lore Lindu. Tidak dipublikasikan.
Pitopang, R., Ihsan M., Burhanuddin, I.F. (Penyusun), Sangadji, M.N. (Editor). 2014. Panduan Pengenalan Flora Fauna Endemik Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sigi.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta.    
          Gadjah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar