Oleh: Fachry Nur Mallo
Kekagumanku pada Seriwang Sangihe
Pada malam 19 Mei 2014, saya bersama Dadang Dwi Putra mendaki tanjakan tepi kaldera purba Gunung Sahendaruman, di selatan Pulau Sangihe. Saya berkali-kali istirahat karena menapaki tanjakan begitu terjal. Untunglah kami dibantu Pak Niu (penemu kembali Seriwang Sangihe) dan beberapa guide lokal yang membantu kami mengangkut barang yang cukup banyak. Tanjakan-tanjakan terjal ini juga kami rasakan saat mengunjungi habitat Seriwang Sangihe dari pondok Pak Eping dengan mendaki beberapa bukit terjal pergi-pulang selama tiga hari. Saya bersusah payah menjalani perjalanan ini, hanya satu tujuan ingin bertemu dan memotret Seriwang Sangihe.
Gambar 1. Foto induk Seriwang Sangihe |
Seriwang Sangihe merupakan burung yang
paling saya kagumi disamping Gagak Banggai, Maleo Senkawor dan Rangkong
Sulawesi. Burung ini memang cantik dan
anggun, tetapi yang membuat saya mengaguminya bukan hanya karena faktor
tersebut, tetapi karena burung ini sangat khas dan unik. Hal ini menyebabkan burung ini ditempatkan
pada genera tersendiri (Eutrichomyias), yang merupakan monotypic.
Burung yang hanya berukuran 11,5 cm ini memang cantik, dominan berwarna biru tua. Dagu dan kerongkongan abu-abu terang dan tungging abu-abu terang. Tengah perut putih, bawah perut dan bawah dada berburik abu-abu keputihan dengan biru yang jelas. Bagian belakang, punggung, tunggir dan ekor biru langit. Sapuan-sapuan warna biru dengan beberapa variasi ini sehingga membuat begitu menarik dilihat burung ini (Mallo 2020).
Gambar 2 dan 3. Habitat Seriwang Sangihe di lembah sempit dan terjal Gunung Sahendaruman |
Seriwang Sangihe yang merupakan endemik
Pulau Sangihe hanya dijumpai dari ketinggian 475 m hingga 650 m pada hutan
hanya seluas 500 ha pada lembah-lembah terjal dan sempit di Gunung Sahendaruman,
dengan populasi kecil. Maka tidak heran
dalam daftar diterbitkan IUCN tingkat keterancaman kelestariannya ditegorikan Sangat
Terancam Punah (Critically Endangered),
suatu kategori sangat rentan punah (Mallo 2020).
Seriwang Sangihe sebelumnya dianggap telah punah,
tetapi pada Oktober 1998 ditemukan kembali oleh tim gabungan Universitas York dan
Universitas Sam Ratulangi di sebuah lembah sempit di Gunung Sahendaruman.
Survei terakhir populasinya diperkirakan hanya berjumlah 34-150 individu (Mallo
2020). Ancaman utama terhadap spesies
ini berupa penebangan hutan oleh para peladang berpindah. Menghilangnya populasi burung ini di dua
lembah yang berdekatan antara tahun 2014 dan 2015 bertepatan dengan penebangan
selektif dan penebangan skala kecil hutan primer/sekunder tua yang menjadi
habitatnya (Mallo 2020).
Temuan baru
filogeni Seriwang Sangihe Yang Mencengangkan
Burung ini pertama kali ditemukan seorang penjelajah dan ornitolog Inggris George Dawson Rowley tahun 1978, di Tabukan, Sangihe. Saat itu jenis ini dimasukkan dalam genus Zeocephus. Selanjutnya dimasukan dalam famili Monarchidae, beranggotakan seriwang dan kehicap. Famili tidak besar, sebagian besar tersebar di kawasan Australo-Papuan, beberapa jenis juga terdapat di Afrika, Asia Selatan dan Tenggara. Umumnya berukuran kecil hingga sedang, aktif mencari serangga (Mallo 2020).
Gambar 4. Induk Seriwang Sangihe berburu serangga bersama bajing (Prosciurillus sp.) |
Berdasarkan morfologi, vokalisasi dan
perilaku beberapa ahli berpendapat Seriwang Sangihe menunjukkan kedekatan
dengan Hypothymis dan Terpsiphone. Terutama Hypothymis, mungkin karena kesamaan
morfologinya, yang memang sama-sama berwarna biru. Walaupun pandangan filogeni ini dapat bertahan
lama, tetapi tetap tidak memuaskan kalangan ornitolog. Mengingat ada
kejanggalan kedua kelompok burung tersebut jika berkebarat dengan Seriwang
Sangihe. Tetapi pandangan tersebut dapat bertahan lama hingga belum lama ini berubah,
karena tidak ada alasan lain yang dapat menjelaskan hubungan filogeni paling
dekat Seriwang Sangihe kecuali hanya dengan kedua kelompok burung tersebut
(Mallo 2020A).Gambar 5. Diduga individu muda Seriwang Sangihe
Saat saya mengamati Seriwang Sangihe, saya
juga merasakan adanya perbedaan mencolok tersebut. Dibanding Hypothymis
puella, aktifitas burung ini hampir seluruhnya di strata tajuk bawah,
walaupun kadang di semak. Sedangkan Hypothymis puella hampir seluruh
aktifitasnya di strata semak. Burung ini
lebih lincah dan atraktif mencari makan dibanding Hypothymis puella, seperti perilaku Rhipidura (kipasan), Juga suaranya
berbeda signifikan.
Pada tahun 2019, saya memulai merampungkan draft buku saya “Biogeografi Burung Sulawesi”. Tulisan ini mulai saya rintis sejak tahun 2008. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan saya dan literatur standar maka saya tidak melanjutkannya. Dengan bertambahnya pengetahuan saya dan telah mendapatkan beberapa literatur standar, maka saya nekad menyelesaikan tulisan tersebut. Salah satu pekerjaan terberat dalam penulisan tersebut adalah mengumpulkan data filogeni burung-burung Sulawesi dari sumber yang valid. Hampir seluruhnya data tersebut saya dapatkan, kecuali hanya beberapa jenis yang tidak berhasil didapatkan. Data filogeni Seriwang Sangihe hampir termasuk diantara jenis tidak berhasil saya dapatkan, jika saya tidak berusaha keras mencarinya pada akhir penelusuran tersebut.
Gambar 6. Peta jenis kerabat Seriwang Sangihe; dua jenis di Kep. Fiji dan satu jenis di pegunungan Papua. Penyebaran masing-masing keempat jenis ini dengan rentang jarak yang sangat jauh |
Saya mendapatkan sedikit data filogeni
Seriwang Sangihe pada IOC World bird list, Version 10.2. Monarch. IOC, Updated
25 Juli 2020 with version 10.2., sumber yang saya tidak sangka. Diliteratur tersebut terdapat catatan Jonsson
et al. 2017 tentang filogeni Seriwang
sangihe. Selanjutnya saya menemukan
tulisan Jonsson et al. 2018, khusus
mengenai filogeni jenis ini. Ternyata
Jonsson et al. telah meneliti secara serius
filogeni burung ini menggunakan studi molokuler. Dan hasil penelitian tersebut sangat
mencengangkan saya. Karena saya tidak
pernah membayangkan hasilnya. Dan saya
yakin para ornitolog juga tercengang.
Dari hasil penelitian tersebut mereka
menempatkan burung ini dalam anggota
reliktif dari silktails (genus Lamproliidae). Famili Lamproliidae, yang berumur
sekitar 20 juta tahun dan hanya beranggota tiga jenis; Lamprolia victoriae (Pulau Taveuni, Fiji), L. klinesmithi (Fiji) dan Chatorhynchus
papuensis (Pegunungan Papua). Dalam daftar
urutan jenis burung the Cornell lab of Ornythology Bird of the World jenis ini
disebutkan sebelum L. victoriae dan L. klinesmithi, dan sesudah C. papuensis. Tetapi ketiga jenis burung tersebut bersama Eutrichomyias rowleyi dimasukan ke dalam
famili Rhipiduridae pada daftar tersebut, yang memang masih berkerabat. Saat ini hasil penelitian tersebut lebih
diterima para ornitolog. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa kelak
burung ini akan dimasukan dalam kelompok Rhipiduridae (Mallo 2020A).
Menurut Jonsson et al. (2018) rekonstruksi
tektonik menunjukkan bahwa busur pulau Melanesia, yang mencakup daratan di tepi
utara lempeng Australia (sekarang New Guinea) membentang sebagai rangkaian
pulau dari Filipina (termasuk proto-Sangihe) ke Fiji dari 25 hingga 20My.
Akibatnya, hasil kami menunjukkan distribusi purba di sepanjang busur pulau
Melanesia diikuti oleh reliktualisasi, yang menyebabkan anggota Lamproliidae
tersebar di pulau-pulau yang terpisah jauh di seluruh Indo-Pasifik.
Ucapan terima kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu selama dilakukan pengamatan dan hunting
fotografi Seriwang Sangihe. Terutama
Dadang Dwi Putra, yang telah bersama-sama berjibaku menelusuri hutan Gunung
Sahendaruman untuk mengamati dan memotret burung ini; Mas Dony Tayang yang begitu banyak membantu
selama penulis berada di lapangan; Mas Ucil, Pak Niu dan Pak Eping yang
bantuannya begitu besar penulis rasakan, terutama mengantar penulis menuju
habitat Seriwang sangihe dan jenis burung lain, dan juga tidak kalah penting
telah memberikan banyak informasi tentang Seriwang Sangihe dan jenis burung
lain di Gunung Sahendaruman, serta mas
Panji Ahmad Fauzan dan Mas Hanom Bashari (Burung Indonesia) telah
bersama-sama menelusuri hutan Gunung Sahendaruman mengamati Seriwang Sangihe,
dan telah memberikan informasi burung ini. Tidak kalah penting adik saya Moh.
Ihsan Nur Mallo, yang telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini. Serta
semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah
membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.
Daftar Pustaka
Jønsson,
K.A, Blom, M.P.K., Päckert, M., Ericson, P.G.P & Irestedt, M. (2018).
Relicts of the Lost Arc: High-throughput Sequencing of the Eutrichomyias
rowleyi (Aves: Passeriformes) Holotype Uncovers An Ancient Biogeographic Link Between
the Philippines and Fiji. Elsevier. Volume 120, March 2018, Pages 28-32.
Mallo,
F.N. (2020). Data Base Burung Sulawesi (dalam persiapan). Celebes Bird Club
(CBC).
Mallo,
F.N. (2020A). Biogeografi Burung Sulawesi (dalam persiapan). Celebes Bird Club
(CBC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar