Jumat, 29 April 2022

JENIS, BIOGEOGRAFI DAN PENYEBAB KEPUNAHAN GAJAH SULAWESI

Oleh  Fachry Nur Mallo

Gambar 1. Ilustrasi Palaeoloxodon namadicus, jenis gajah terakhir menghuni Sulawesi (Sumber: @Life Restoration di Wikipedia)

Pengantar

Jika kita berbicara gajah sebagai hewan Sulawesi, maka kita akan merasa heran dan tidak percaya, karena selama ini gajah tidak dikenal sebagai hewan pernah menghuni Sulawesi. Kita hanya mengenal Sumatera dan di Kalimatan pulau yang dihuni gajah di Indonesia.

Sesungguhnya Sulawesi pernah di huni jenis-jenis gajah purba, yang saat ini tidak ditemukan lagi di dunia. Kepunahan gajah terakhir di Sulawesi relatif belum lama, di era manusia sudah hadir di daratan Sulawesi.

Awalnya penulis mengenal gajah penghuni Sulawesi tahun 1987 setelah membaca buku Geologi Sulawesi karangan Whitten, dkk.  Saat itu tidak ada perhatian penulis terhadap hewan ini, sehingga menganggap bukan hewan penting di Sulawesi, dan kebetulan menghuni daratan Sulawesi yang terisolir.

Pebruari tahun ini penulis menyelesaikan menulis catatan biogeografi hewan Sulawesi. Tulisan tersebut merupakan hasil pengumpulkan data-data biogeografi hewan-hewan Sulawesi, dan proses kolonisasi daratan Sulawesi.  Kumpulan catatan ini akan diringkas menjadi salah satu materi pada Bab I. Pendahuluan, sub bab “biogeografi hewan Sulawesi” di buku “Biogeografi burung Sulawesi”.

Saat itu penulis membaca artikel ditulis Aziz (peneliti di situs formasi Walanae) berjudul The Pleistocene Endemic Fauna of the Indonesian Archipelago.  Dari tulisan ini penulis tertarik membaca biogeografi gajah Sulawesi, sehingga memasukan ke dalam catatan tulisan tersebut.  Sejak saat itu penulis mencari literatur tentang hewan ini. Cukup banyak literatur penulis dapatkan, tetapi yang paling lengkap dan detail adalah tesis Puspaningrum, di University of Wollongong berjudul Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia. Dari tesis tersebut penulis memahami lebih mendalam gajah Sulawesi, bahkan penulis mendapatkan tambahan informasi satu jenis (Palaeoloxodon namadicus), yang sebelumnya penulis tidak dapatkan dari literatur mana pun.  Dengan mengetahui biogeografi gajah Sulawesi penulis lebih memahami lebih detail biogeografi hewan Sulawesi.

Catatan pengumpulan data tersebut penulis uraikan di tulisan ini.  Dengan tujuan agar orang dapat mengenal dan memahami gajah Sulawesi, terutama para akademisi, dan pemerhati hewan Sulawesi. 

Situs formasi bukti keberadaan gajah Sulawesi

Data-data gajah Sulawesi didapatkan dari lima situs formasi, yaitu:

1. Formasi Wallanae

2. Formasi Tanrung

3. Leang Bulu Bettue

4. Formasi di Batue

5. Formasi Formasi Pintareng

Formasi Wallanae, Formasi Tanrung dan Leang Bulu Bettue, terletak di Semenanjung Barat Daya, Formasi Batue terletak di Kecamatan Lore Utara, Sulawesi Tengah, dan formasi Pintareng terletak Pulau Sangihe.

Formasi Wallanae merupakan formasi tertua diantara kelima formasi tersebut, sekitar 2,5 Mya, hingga 0,5 Mya.  Banyak jenis hewan di formasi Wallanae awal tidak lagi ditemukan di formasi Tanrung dan Leang Bulu Bettue, sehingga diduga telah punah.  Di kedua formasi tersebut juga ditemukan jenis-jenis hewan modern Sulawesi, yang sebagian besar masih dijumpai saat ini, juga termasuk manusia modern.

Jenis dan biogeografi

Jenis

Di Sulawesi terdapat empat atau lima jenis gajah purba yang telah punah, yaitu Stegodon sampoensis, Stegodon cf. trigonocephalus, Stegodon sp. B, Stegoloxodon celebensis, dan Palaeoloxodon namadicus.  Ada ahli berpandangan Stegodon sp. B. adalah jenis Stegodon trigonocephalus.

Gambar 2.  Ilustrasi Stegoloxodon celebensis, gajah khas Sulawesi yang memiliki empat gading (Sumber: @Museum Geologi/Fachroel Aziz)

Dalam klasifikasi hewan termasuk dalam Ordo Elephantiformes, selanjutnya termasuk dalam kelompok Elephantida, Superfamily Elephantoidea, mencakup Family Stegodontidae (Stegodon spp.) dan Family Elephantidae, Subfamily Elephantinae (Stegoloxodon celebensis, dan Palaeoloxodon namadicus) Subfamili Elephantinae mencakup juga gajah modern (Elephas) dan mamut (belum lama punah). 

Stegoloxodon celebensis dan Stegodon sampoensis hanya dijumpai di formasi Wallanae, Stegodon sp. B.  selain dijumpai di formasi Wallanae juga dijumpai di Formasi Tanrung dan Leang Bulu Bettue, sedangkan Stegodon cf. trigonocephalus di jumpai di formasi Batue (Sulawesi Tengah), dan formasi Pintareng (Sangihe), dan Palaeoloxodon namadicus dijumpai di formasi Tanrung dan formasi Leang Bulu Bettue.

Gambar 3.  Foto Elephas maximus, gajah moderen kerabat dekat Palaeoloxodon namadicus 

Biogeografi secara umum

Leluhur Stegodon muncul dari 11,6 Mya hingga Pleistosen akhir.  Dua belas jenis diketahui tersebar Afrika Timur dan Tengah, daratan Asia, Pulau Luzon (Stegodon cf. luzonensis) dan Wallacea sampai ke Timor hingga utara Australia. Di Indonesia, Stegodon juga ditemukan di Jawa, Sulawesi, Maluku, Flores, Sumba dan Timor. 

Saegusa dkk. (2005) dalam Puspaningrum (2016) berpandangan garis keturunan Stegodontidae berasal dari Asia, mengingat sebagian besar bentuk primitif Stegodontidae ditemukan di Asia, sedangkan famili Elephantidae berasal dari Afrika, baru mulai memasuki daratan Asia sejak Pliosen dan mengarah ke garis keturunan Elephas modern yang disesuaikan dengan iklim yang lebih hangat di Asia Selatan.

Klade penerus Stegodontidae berhasil terpancar dan menjadi dominan di banyak tempat di Asia Tenggara dan Timur antara Pliosen dan Pleistosen Akhir.  Anggota Elephantoidea pernah mengkoloni berbagai lanskap di Asia Tenggara. Akibat tumbukan tektonik Indoaustralia-Eurasia yang berbarengan dengan menurunkan permukaan laut sejak Pliosen, wilayah pulau-pulau di Asia Tenggara menjadi lebih luas. Karena kemampuannya berenang, maka banyak Elephantoidea menyebar melalui laut untuk mencapai pulau-pulau yang baru muncul ini (Puspaningrum 2016). Stegodontidae dan Elephantidae bahkan mencapai pulau-pulau di sebelah timur garis Wallacea.

Diantara Stegodontidae, hanya genus Stegodon yang berhasil mencapai dan mengkoloni pulau-pulau di Asia Tenggara.  Stegodon dianggap sebagai penyeberang lautan paling sukses di antara Elephantoidea.  Sebuah bentuk primitif (Stegoloxodon) dan bentuk turunan (Palaeoloxodon dan Elephas) dari Elephantidae juga berhasil menyeberangi laut. Namun, genera ini hanya mencapai sejauh Jawa, Filipina dan Sulawesi, tidak ke Nusa Tenggara.

Gambar 4.  Peta penyebaran jenis gajah purba di Sulawesi dan sekitarnya. A.  Jawa (Semedo, Bumiayu, Sangiran, Cirebon, Sambungmacan, Kedung Brubus, Trinil, Gandong, Subang, Brebes, Sungu, Cipendeuy dan Karang Bolong): Stegoloxodon indonesicus, Sinomastodon bumiajuensis, Pygmy stegodon Sp., Stegodon trigonocephalus, Elephas hysudrindicus dan Elephas maximus; B. Luzon, Philipina (Rizal): Dwarf stegodon sp., Elephas sp. dan Stegodon cf. luzonensis. C. Flores (Tangi Talo, Kobatuwa, Dozo Dhalu, Boa Leza, Mata Menge dan Liang Bua): Stegodon Sondarii dan Stegodon florensis. D. Timor (Klobor Makerek, Sadi, Ailora, Asikolo, Raebia dan Sendi): Stegodon timorensis; E.  Sumba (Lewa Paku): Stegodon sumbaensisF.  Maluku Utara (Golo): Stegodon sp., G.  Australia Utara (Madjedbebe): Stegodon sp.  H. Wallanae, Tanrung dan Leang Bulu Bettue: Stegodon sampoensis, Stegodon sp. B., Stegoloxodon celebensis dan Palaeoloxodon namadicus.  J. Batue: Stegodon cf. trigonocephalusK.  Pintareng (Sangihe): Stegodon cf. trigonocephalus.

Meskipun terdiri dari pulau-pulau samudera yang dianggap telah diisolasi sejak kemunculannya, tampaknya beberapa pulau di Wallacea, telah dihuni dari Pleistosen Awal hingga Akhir oleh berbagai taksa Elephantoidea dan elemen fauna darat Asiatik lainnya.

Stegodon sampoensis diperkirakan hidup pada 2,5 Mya, Pliosen akhir hingga Pleistosen (Wibowo, dkk. 2019). Dan, Stegoloxodon celebensis satu masa dengan Stegodon sampoensis.

Setelah kedua jenis gajah tersebut punah, muncul Stegodon cf. trigonocephalus, Stegodon sp. B. dan Palaeoloxodon namadicus.  Stegodon cf. trigonocephalus dan Stegodon sp. B. ini berukuran lebih besar dari kedua gajah sebelumnya.  Stegodon sp. B. memiliki kemiripan dan masa hidup yang sama dengan yang di temukan di Formasi Pintareng (Sangihe) dan Batue (Lore Utara) diduga jenis Stegodon trigonocephalus atau mempunyai kemiripan (Aziz 2000).  Stegodon trigonocephalus juga tersebar luas di Jawa.

Stegeloxodon celebensis sangat khas dibanding jenis-jenis gajah lain karena memiliki empat gading.  Marga Stegeloxodon tersebar terbatas hanya di Sulawesi dan Jawa (Stegoloxodon indonesicus).

Palaeoloxodon namadicus adalah spesies gajah prasejarah dari Pleistosen Tengah hingga Akhir di anak benua India, dan mungkin juga di tempat lain di Asia.

Palaeoloxodon namadicus berukuran besar, lebih dekat dengan gajah modern yang hidup saat ini.  Gajah ini hidup di masa yang lebih muda dari gajah lain dan diduga jenis gajah terakhir yang muncul di Sulawesi.  Bersama dengan Stegodon sp. B. hidup satu masa dengan kemunculan manusia modern di Sulawesi sebelum punah (Puspaningrum 2016).

Pola  penyebaran ke Sulawesi

Kehadiran gajah ke Sulawesi melintasi penghalang laut antara Paparan Sunda dan Sulawesi, karena kedatangannya relatif baru, saat Sulawesi sudah dalam posisinya terpisah dari daratan di sekitarnya.

Masih dalam perdebatan, apakah kehadiran mamalia besar ke Sulawesi, termasuk gajah bermigrasi dari Sundaland melalui Kepulauan Filipina, melintasi Selat Makassar atau melalui Jawa-Nusa tenggara?

Secara umum fauna yang ditemukan di Sulawesi, termasuk gajah mungkin bermigrasi melalui Kepulauan Filipina daripada Kalimatan, dan peluang terbuka juga dari Jawa-Nusa Tenggara ke Sulawesi dari pada dari Kalimantan ke Sulawesi, dengan pertimbangan:

1.  Unsur fauna Philippina di Sulawesi jauh lebih besar daripada Kalimantan.  Terdapat kesamaan mamalia besar Philippina dan Sulawesi, yaitu Anoa, Proboscidea kerdil, Celebochoerus, kurang karnivora.  Tidak ada satupun kesamaan mamalia besar antara Kalimantan dan Sulawesi.  Padahal mamalia besar melimpah di Kalimantan. Walaupun jarak Kalimantan-Sulawesi jauh lebih dekat dari Philippina dan Nusa Tenggara-Jawa, tetapi binturong, kucing hutan, Kijang, rusa sambar, orang utan, beruang madu, badak, gajah marga Elephas, owa, bekantan terhalang menyebar ke Sulawesi.   Selain itu, jenis burung endemik dan penyebarannya terbatas Sulawesi jauh lebih banyak kesamaannya dengan Philippina, dibanding Kalimantan.  Demikian juga reptilia, amfibia dan kupu-kupu (Mallo 2020).

2.  Opsi penyebaran Elephantoidea dari Jawa ke Sulawesi, melalui Nusa Tenggara mungkin dapat dipertimbangkan, mengingat  banyaknya dijumpai Stegodon di Jawa dan Nusa Tenggara, dan gajah modern (Elephantidae) di Jawa.  Hubungan ini diperkuat Stegoloxodon hanya dijumpai di Sulawesi dan Jawa, dan Stegodon  trigonocephalus, tersebar luas di Jawa dan Sulawesi, tidak dijumpai di tempat lain di sekitar Sulawesi.  Dan Stegodon florensis di Nusa Tenggara diduga berkerabat  dengan Stegodon sp. B. Maka mungkin Palaeoloxodon namadicus menyebar dari Jawa ke Sulawesi karena banyaknya Elephantoidea modern di Jawa (Mallo 2020).

3.  Peluang tersebar dari Jawa-Nusa Tenggara ke Sulawesi lebih besar dari pada Kalimantan ke Sulawesi, mengingat kesamaan unsur fauna Jawa-Nusa Tenggara di Sulawesi lebih besar dari pada Kalimantan-Sulawesi.  Termasuk keberadaan Testudo margae, yang hanya dijumpai di Sulawesi, Jawa dan Timor.

4.  van den Bergh (1999) dalam Puspaningrum (2016) menyatakan bahwa penyeberangan dari Sulawesi ke Nusa Tenggara hanya dilakukan oleh Stegodon berukuran besar di Pleistosen tengah dan bukan di Pleistosen awal Stegodon kerdil. Berdasarkan kesamaan molar, mungkin ada hubungan antara Stegodon florensis dari Flores dan Stegodon sp. B. dari Sulawesi.  Stegodon florensis mungkin datang dari Selatan Sulawesi melalui Selayar dan Kepulauan Bonerate.

5.  Menurut de Terra (1943) dalam Puspaningrum (2016), rute migrasi dari daratan Asia melalui Taiwan ke Filipina dan ke Sulawesi bisa menjadi alternatif, tetapi bukan sebagai rute eksklusif Pleistosen.  Hooijer (1975) dalam Puspaningrum (2016) juga berpendapat bahwa pulau-pulau Filipina sebagai penghubung penting dalam rute penyebaran elemen fauna Asiatik Pleistosen ke Sulawesi.

6.  Sulawesi sejak 45 Mya terpisah dengan Kalimantan, sementara Philippina, Jawa dan Nusa Tenggara tidak pernah menyatu dengan Sulawesi. Jarak Kalimantan-Sulawesi jauh lebih dekat dibanding kedua kawasan tersebut. Selain itu daratan Sulawesi lebih 1000 km dipepet daratan Kalimantan di Selat Makassar.  Maka jika dilihat posisi geografisnya, penyebaran ke Sulawesi dari Kalimantan lebih besar dibanding dari Philippina dan Jawa-Nusa Tenggara. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

7.  Fenomena ini belum dapat dijelaskan dengan pasti oleh para ahli.  Tetapi menarik kita pertimbangkan pendapat Groves (1976, 1985) dalam Puspaningrum (2016), bahwa selat Makasar meskipun tidak terlalu lebar (+50 km pada saat permukaan air laut terendah), tetapi relatif dalam dan memiliki arus permukaan yang kuat.  Jadi Selat Makassar merupakan faktor selektif utama migrasi ke Sulawesi.  Hanya mamalia yang memiliki massa tubuh besar yang bisa dengan sengaja melintasi penghalang laut ini, sementara mamalia yang lebih kecil mungkin terbawa arus. Atau, mamalia besar dengan kemampuan berenang yang lebih baik akan memiliki peluang yang lebih baik untuk bertahan dari kemungkinan tersapu gelombang.  Karena faktor tersebut maka taksa menyebar lebih  menyukai utara-selatan, ke Sulawesi dari Filipina daripada dari Kalimantan ke Sulawesi (Puspaningrum 2016), atau dari Sulawesi  ke Nusa Tenggara, atau sebaliknya, karena sejajar arah angin barat laut dan tenggara bertiup.  MacArthur & Wilson (2001) dalam menentukan jumlah taksa tersebar pada sebuah pulau, juga mempertimbangkan adanya angin dan arus air sebagai faktor yang berpengaruh. Mayr & Diamond (2001) dalam penelitiannya di Melanesia Utara, berpendapat penyebaran burung juga dipengaruhi arus air. 

Mungkin juga faktor tidak adanya pulau-pulau kecil sebagai batu loncatan antara Kalimantan-Sulawesi juga berpengaruh terhadap penyebaran taksa ke Sulawesi, dan banyaknya pulau-pulau terbentuk sebagai batu loncatan antara Philippina-Sulawesi dan Nusa Tenggara-Sulawesi menyebabkan banyak taksa tersebar. Menurut MacArthur & Wilson (2001) bahwa, ”jika masih banyak pulau yang berada di dekat kawasan sumber, maka keseimbangan akan bergeser lebih jauh.   Tampaknya pulau-pulau kecil dapat secara signifikan meningkatkan pertukaran biotik sehingga mereka dapat mendukung populasi spesies di tempat pertama.”

Penyebab kepunahan

Kepunahan Stegoloksodon celebensis dan Stegodon sompoensis mungkin tidak disebabkan oleh perubahan tutupan habitat akibat perluasan rumput (sebagian besar rumput tropis atau didominasi oleh semak berdaun, atau campuran dari kedua jenis tanaman), karena hasil isotop stabil kedua jenis hewan tersebut menunjukkan memiliki makanan yang beragam dan perilaku yang fleksibel. Apalagi Sulawesi tampaknya ditumbuhi oleh berbagai macam vegetasi pada masa Pleistosen Awal. Kemungkinan besar kepunahannya terkait dengan ketidakmampuan bersaing dengan pendatang baru berukuran lebih besar (Stegodon sp. B.) (Puspaningrum 2016).

Waktu dan penyebab kepunahan Stegodon sp. B. tidak pasti, karena catatan penampilan terakhir dari spesies tersebut adalah Leang Bulu Bettue. Mungkin Stegodon sp. B. punah karena ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan sumber makanan, atau mungkin keberadaan terakhir Stegodon sp. B. dan Palaeoloxodon namadicus setelah kedatangan manusia. Hal ini dibuktikan adanya asosiasi sedimen dijumpai hewan ini dengan peralatan batu manusia. Maka kepunahannya bisa jadi terkait dengan kedatangan manusia modern ke Sulawesi. Tampaknya alasan terakhir ini yang lebih diterima (Puspaningrum 2016).

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Moh. Ihsan Nur Mallo (adik penulis), yang telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini.

Daftar Pustaka

Aziz, F. (200). The Pleistocene Endemic Fauna of the Indonesian Archipelago. Tropics, Vol. 10 (1): May 30, 2000.

MacArthur, R.H. & Wilson E. 2001. The Theory of Island Biogeography.  Princeton University Press.

Mayr, E. & Diamond, J., 2001. The Bird of Northern Melanesia, Speciation, Ecology & Biogeography. Oxford University Press.

Mallo, F.N. 2020. Biogeografi Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC). Dalam persiapan.

Michaux, B. (2010).  Biogeology of Wallacea: geotectonic models, areas of endemism, and natural biogeographical units. Biological Journal of the Linnean Society, 2010, 101, 193–212

Moss, S. J. & M. E. J. Wilson.  1998.   Biogeographic implications of the Tertiary Palaeogeographic evolution of Sulawesi and Borneo.  Biogeography and Ecological Evolution of SE Asia. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherland.

Mustari, H. (2019). Ekologi, Perilaku dan Konservasi Anoa. IPB Press.

Puspaningrum, M.R., (2016). Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia. Thesis, University of Wollongong.

Stelbrink, S., Albrecht, C., Hall, R., & von Rintelen, T. (2012).  The Biogeography of Sulawesi Revisited: is there evidence for a Vicariant Origin of Taxa on Wallace’s “Anomalous Island”?. Evolution 66-7: 2252–2271. Pebruary 2012.

Whittaker, R.J. and Fernandes-Falacois, J.M.  2013. Island Biogeography, Ecology, Evolution, and Conservation. Oxford University Press.

Whitten, A.J., Mustafa, M. & Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Wibowo, U.P., Hakim, B. & Saiful, A.M. (2019). New Find of Stegodon Sompoensis maxilla From Cangkange, Soppeng, South Sulawesi. Wallennae, Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Vol. 17 No. 2 (2019).

Wright, D.V. (2015) The Philippines - Key to the biogeography of Wallace.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar