Oleh Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Ilustrasi Palaeoloxodon namadicus, jenis gajah terakhir menghuni Sulawesi (Sumber: @Life Restoration di Wikipedia) |
Pengantar
Jika kita berbicara gajah sebagai hewan
Sulawesi, maka kita akan merasa heran dan tidak percaya, karena selama ini
gajah tidak dikenal sebagai hewan pernah menghuni Sulawesi. Kita hanya mengenal
Sumatera dan di Kalimatan pulau yang dihuni gajah di Indonesia.
Sesungguhnya Sulawesi pernah di huni
jenis-jenis gajah purba, yang saat ini tidak ditemukan lagi di dunia. Kepunahan
gajah terakhir di Sulawesi relatif belum lama, di era manusia sudah hadir di
daratan Sulawesi.
Awalnya penulis mengenal gajah penghuni Sulawesi tahun 1987 setelah membaca buku Geologi Sulawesi karangan Whitten, dkk. Saat itu tidak ada perhatian penulis terhadap hewan ini, sehingga menganggap bukan hewan penting di Sulawesi, dan kebetulan menghuni daratan Sulawesi yang terisolir.
Pebruari tahun ini penulis menyelesaikan
menulis catatan biogeografi hewan Sulawesi. Tulisan tersebut merupakan hasil
pengumpulkan data-data biogeografi hewan-hewan Sulawesi, dan proses kolonisasi
daratan Sulawesi. Kumpulan catatan ini
akan diringkas menjadi salah satu materi pada Bab I. Pendahuluan, sub bab
“biogeografi hewan Sulawesi” di buku “Biogeografi burung Sulawesi”.
Saat itu penulis membaca artikel ditulis
Aziz (peneliti di situs formasi Walanae) berjudul The Pleistocene Endemic Fauna of the Indonesian Archipelago. Dari tulisan ini penulis tertarik membaca biogeografi
gajah Sulawesi, sehingga memasukan ke dalam catatan tulisan tersebut. Sejak saat itu penulis mencari literatur
tentang hewan ini. Cukup banyak literatur penulis dapatkan, tetapi yang paling
lengkap dan detail adalah tesis Puspaningrum, di University of Wollongong
berjudul Proboscidea as
palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia. Dari tesis tersebut
penulis memahami lebih mendalam gajah Sulawesi, bahkan penulis mendapatkan
tambahan informasi satu jenis (Palaeoloxodon
namadicus), yang sebelumnya penulis tidak dapatkan dari literatur mana pun.
Dengan mengetahui biogeografi gajah
Sulawesi penulis lebih memahami lebih detail biogeografi hewan Sulawesi.
Catatan pengumpulan data tersebut penulis
uraikan di tulisan ini. Dengan tujuan
agar orang dapat mengenal dan memahami gajah Sulawesi, terutama para akademisi,
dan pemerhati hewan Sulawesi.
Situs formasi bukti
keberadaan gajah Sulawesi
Data-data gajah Sulawesi didapatkan dari
lima situs formasi, yaitu:
1.
Formasi Wallanae
2.
Formasi Tanrung
3.
Leang Bulu Bettue
4.
Formasi di Batue
5.
Formasi Formasi Pintareng
Formasi Wallanae, Formasi Tanrung dan Leang
Bulu Bettue, terletak di Semenanjung Barat Daya, Formasi Batue terletak di
Kecamatan Lore Utara, Sulawesi Tengah, dan formasi Pintareng terletak Pulau
Sangihe.
Formasi Wallanae merupakan formasi tertua
diantara kelima formasi tersebut, sekitar 2,5 Mya, hingga 0,5 Mya. Banyak jenis hewan di formasi Wallanae awal
tidak lagi ditemukan di formasi Tanrung dan Leang Bulu Bettue, sehingga diduga
telah punah. Di kedua formasi tersebut
juga ditemukan jenis-jenis hewan modern Sulawesi, yang sebagian besar masih dijumpai
saat ini, juga termasuk manusia modern.
Jenis dan
biogeografi
Jenis
Di Sulawesi terdapat empat atau lima jenis gajah purba yang telah punah, yaitu Stegodon sampoensis, Stegodon cf. trigonocephalus, Stegodon sp. B, Stegoloxodon celebensis, dan Palaeoloxodon namadicus. Ada ahli berpandangan Stegodon sp. B. adalah jenis Stegodon trigonocephalus.
Gambar 2. Ilustrasi Stegoloxodon celebensis, gajah khas Sulawesi yang memiliki empat gading (Sumber: @Museum Geologi/Fachroel Aziz) |
Dalam klasifikasi hewan termasuk dalam Ordo
Elephantiformes, selanjutnya termasuk dalam kelompok Elephantida, Superfamily
Elephantoidea, mencakup Family Stegodontidae (Stegodon spp.) dan Family Elephantidae, Subfamily Elephantinae (Stegoloxodon celebensis, dan Palaeoloxodon namadicus) Subfamili
Elephantinae mencakup juga gajah modern (Elephas) dan mamut (belum lama
punah).
Stegoloxodon celebensis dan Stegodon sampoensis hanya dijumpai di formasi Wallanae, Stegodon sp. B. selain dijumpai di formasi Wallanae juga dijumpai di Formasi Tanrung dan Leang Bulu Bettue, sedangkan Stegodon cf. trigonocephalus di jumpai di formasi Batue (Sulawesi Tengah), dan formasi Pintareng (Sangihe), dan Palaeoloxodon namadicus dijumpai di formasi Tanrung dan formasi Leang Bulu Bettue.
Gambar 3. Foto Elephas maximus, gajah moderen kerabat dekat Palaeoloxodon namadicus |
Biogeografi secara
umum
Leluhur Stegodon muncul dari 11,6 Mya
hingga Pleistosen akhir. Dua belas jenis
diketahui tersebar Afrika Timur dan Tengah, daratan Asia, Pulau Luzon (Stegodon cf. luzonensis) dan Wallacea
sampai ke Timor hingga utara Australia. Di Indonesia, Stegodon juga ditemukan
di Jawa, Sulawesi, Maluku, Flores, Sumba dan Timor.
Saegusa dkk. (2005) dalam Puspaningrum (2016) berpandangan garis keturunan
Stegodontidae berasal dari Asia, mengingat sebagian besar bentuk primitif
Stegodontidae ditemukan di Asia, sedangkan famili Elephantidae berasal dari
Afrika, baru mulai memasuki daratan Asia sejak Pliosen dan mengarah ke garis
keturunan Elephas modern yang disesuaikan dengan iklim yang lebih hangat di
Asia Selatan.
Klade penerus Stegodontidae berhasil
terpancar dan menjadi dominan di banyak tempat di Asia Tenggara dan Timur
antara Pliosen dan Pleistosen Akhir. Anggota
Elephantoidea pernah mengkoloni berbagai lanskap di Asia Tenggara. Akibat
tumbukan tektonik Indoaustralia-Eurasia yang berbarengan dengan menurunkan
permukaan laut sejak Pliosen, wilayah pulau-pulau di Asia Tenggara menjadi
lebih luas. Karena kemampuannya berenang, maka banyak Elephantoidea menyebar
melalui laut untuk mencapai pulau-pulau yang baru muncul ini (Puspaningrum
2016). Stegodontidae dan Elephantidae bahkan mencapai pulau-pulau di sebelah
timur garis Wallacea.
Diantara Stegodontidae, hanya genus Stegodon yang berhasil mencapai dan mengkoloni pulau-pulau di Asia Tenggara. Stegodon dianggap sebagai penyeberang lautan paling sukses di antara Elephantoidea. Sebuah bentuk primitif (Stegoloxodon) dan bentuk turunan (Palaeoloxodon dan Elephas) dari Elephantidae juga berhasil menyeberangi laut. Namun, genera ini hanya mencapai sejauh Jawa, Filipina dan Sulawesi, tidak ke Nusa Tenggara.
Meskipun terdiri dari pulau-pulau samudera
yang dianggap telah diisolasi sejak kemunculannya, tampaknya beberapa pulau di
Wallacea, telah dihuni dari Pleistosen Awal hingga Akhir oleh berbagai taksa
Elephantoidea dan elemen fauna darat Asiatik lainnya.
Stegodon sampoensis diperkirakan hidup pada
2,5 Mya, Pliosen akhir hingga Pleistosen (Wibowo, dkk. 2019). Dan, Stegoloxodon celebensis satu masa dengan
Stegodon sampoensis.
Setelah kedua jenis gajah tersebut punah,
muncul Stegodon cf. trigonocephalus, Stegodon sp. B. dan Palaeoloxodon namadicus. Stegodon cf. trigonocephalus dan Stegodon sp. B. ini berukuran lebih
besar dari kedua gajah sebelumnya. Stegodon sp. B. memiliki kemiripan dan
masa hidup yang sama dengan yang di temukan di Formasi Pintareng (Sangihe) dan
Batue (Lore Utara) diduga jenis Stegodon
trigonocephalus atau mempunyai kemiripan (Aziz 2000). Stegodon
trigonocephalus juga tersebar luas di Jawa.
Stegeloxodon
celebensis
sangat khas dibanding jenis-jenis gajah lain karena memiliki empat gading. Marga Stegeloxodon tersebar terbatas hanya di
Sulawesi dan Jawa (Stegoloxodon
indonesicus).
Palaeoloxodon
namadicus
adalah spesies gajah prasejarah dari Pleistosen Tengah hingga Akhir di anak
benua India, dan mungkin juga di tempat lain di Asia.
Palaeoloxodon
namadicus
berukuran besar, lebih dekat dengan gajah modern yang hidup saat ini. Gajah ini hidup di masa yang lebih muda dari
gajah lain dan diduga jenis gajah terakhir yang muncul di Sulawesi. Bersama dengan Stegodon sp. B. hidup satu masa dengan kemunculan manusia modern di
Sulawesi sebelum punah (Puspaningrum 2016).
Pola penyebaran ke Sulawesi
Kehadiran gajah ke Sulawesi melintasi
penghalang laut antara Paparan Sunda dan Sulawesi, karena kedatangannya relatif
baru, saat Sulawesi sudah dalam posisinya terpisah dari daratan di sekitarnya.
Masih dalam perdebatan, apakah kehadiran
mamalia besar ke Sulawesi, termasuk gajah bermigrasi dari Sundaland melalui
Kepulauan Filipina, melintasi Selat Makassar atau melalui Jawa-Nusa tenggara?
Secara umum fauna yang ditemukan di
Sulawesi, termasuk gajah mungkin bermigrasi melalui Kepulauan Filipina daripada
Kalimatan, dan peluang terbuka juga dari Jawa-Nusa Tenggara ke Sulawesi dari
pada dari Kalimantan ke Sulawesi, dengan pertimbangan:
1. Unsur fauna Philippina di Sulawesi jauh lebih
besar daripada Kalimantan. Terdapat
kesamaan mamalia besar Philippina dan Sulawesi, yaitu Anoa, Proboscidea kerdil,
Celebochoerus, kurang karnivora. Tidak
ada satupun kesamaan mamalia besar antara Kalimantan dan Sulawesi. Padahal mamalia besar melimpah di Kalimantan.
Walaupun jarak Kalimantan-Sulawesi jauh lebih dekat dari Philippina dan Nusa
Tenggara-Jawa, tetapi binturong, kucing hutan, Kijang, rusa sambar, orang utan,
beruang madu, badak, gajah marga Elephas, owa, bekantan terhalang menyebar ke
Sulawesi. Selain itu, jenis burung endemik dan
penyebarannya terbatas Sulawesi jauh lebih banyak kesamaannya dengan
Philippina, dibanding Kalimantan. Demikian
juga reptilia, amfibia dan kupu-kupu (Mallo 2020).
2. Opsi penyebaran Elephantoidea dari Jawa ke
Sulawesi, melalui Nusa Tenggara mungkin dapat dipertimbangkan, mengingat banyaknya dijumpai Stegodon di Jawa dan Nusa
Tenggara, dan gajah modern (Elephantidae) di Jawa. Hubungan ini diperkuat Stegoloxodon hanya
dijumpai di Sulawesi dan Jawa, dan Stegodon
trigonocephalus,
tersebar luas di Jawa dan Sulawesi, tidak dijumpai di tempat lain di sekitar
Sulawesi. Dan Stegodon florensis di Nusa Tenggara diduga berkerabat dengan Stegodon
sp. B. Maka mungkin Palaeoloxodon namadicus
menyebar dari Jawa ke Sulawesi karena banyaknya Elephantoidea modern di Jawa
(Mallo 2020).
3. Peluang tersebar dari Jawa-Nusa Tenggara ke
Sulawesi lebih besar dari pada Kalimantan ke Sulawesi, mengingat kesamaan unsur
fauna Jawa-Nusa Tenggara di Sulawesi lebih besar dari pada Kalimantan-Sulawesi.
Termasuk keberadaan Testudo margae, yang hanya dijumpai di Sulawesi, Jawa dan Timor.
4. van den Bergh (1999) dalam Puspaningrum (2016) menyatakan bahwa penyeberangan dari
Sulawesi ke Nusa Tenggara hanya dilakukan oleh Stegodon berukuran besar di
Pleistosen tengah dan bukan di Pleistosen awal Stegodon kerdil. Berdasarkan
kesamaan molar, mungkin ada hubungan antara Stegodon
florensis dari Flores dan Stegodon
sp. B. dari Sulawesi. Stegodon florensis mungkin datang dari
Selatan Sulawesi melalui Selayar dan Kepulauan Bonerate.
5. Menurut de Terra (1943) dalam Puspaningrum (2016), rute migrasi dari daratan Asia melalui
Taiwan ke Filipina dan ke Sulawesi bisa menjadi alternatif, tetapi bukan
sebagai rute eksklusif Pleistosen.
Hooijer (1975) dalam
Puspaningrum (2016) juga berpendapat bahwa pulau-pulau Filipina sebagai
penghubung penting dalam rute penyebaran elemen fauna Asiatik Pleistosen ke
Sulawesi.
6. Sulawesi sejak 45 Mya terpisah dengan
Kalimantan, sementara Philippina, Jawa dan Nusa Tenggara tidak pernah menyatu
dengan Sulawesi. Jarak Kalimantan-Sulawesi jauh lebih dekat dibanding kedua
kawasan tersebut. Selain itu daratan Sulawesi lebih 1000 km dipepet daratan
Kalimantan di Selat Makassar. Maka jika
dilihat posisi geografisnya, penyebaran ke Sulawesi dari Kalimantan lebih besar
dibanding dari Philippina dan Jawa-Nusa Tenggara. Tetapi kenyataannya tidak
demikian.
7. Fenomena ini belum dapat dijelaskan dengan
pasti oleh para ahli. Tetapi menarik
kita pertimbangkan pendapat Groves (1976, 1985) dalam Puspaningrum (2016), bahwa selat Makasar meskipun tidak
terlalu lebar (+50 km pada saat permukaan air laut terendah), tetapi relatif
dalam dan memiliki arus permukaan yang kuat. Jadi Selat Makassar merupakan faktor selektif
utama migrasi ke Sulawesi. Hanya mamalia
yang memiliki massa tubuh besar yang bisa dengan sengaja melintasi penghalang
laut ini, sementara mamalia yang lebih kecil mungkin terbawa arus. Atau,
mamalia besar dengan kemampuan berenang yang lebih baik akan memiliki peluang
yang lebih baik untuk bertahan dari kemungkinan tersapu gelombang. Karena faktor tersebut maka taksa menyebar
lebih menyukai utara-selatan, ke
Sulawesi dari Filipina daripada dari Kalimantan ke Sulawesi (Puspaningrum
2016), atau dari Sulawesi ke Nusa
Tenggara, atau sebaliknya, karena sejajar arah angin barat laut dan tenggara
bertiup. MacArthur & Wilson (2001)
dalam menentukan jumlah taksa tersebar pada sebuah pulau, juga mempertimbangkan
adanya angin dan arus air sebagai faktor yang berpengaruh. Mayr & Diamond
(2001) dalam penelitiannya di Melanesia Utara, berpendapat penyebaran burung
juga dipengaruhi arus air.
Mungkin juga faktor tidak adanya
pulau-pulau kecil sebagai batu loncatan antara Kalimantan-Sulawesi juga
berpengaruh terhadap penyebaran taksa ke Sulawesi, dan banyaknya pulau-pulau
terbentuk sebagai batu loncatan antara Philippina-Sulawesi dan Nusa
Tenggara-Sulawesi menyebabkan banyak taksa tersebar. Menurut MacArthur & Wilson
(2001) bahwa, ”jika masih banyak pulau yang berada di dekat kawasan sumber,
maka keseimbangan akan bergeser lebih jauh. Tampaknya pulau-pulau kecil dapat secara
signifikan meningkatkan pertukaran biotik sehingga mereka dapat mendukung
populasi spesies di tempat pertama.”
Penyebab kepunahan
Kepunahan Stegoloksodon celebensis dan Stegodon
sompoensis mungkin tidak disebabkan oleh perubahan tutupan habitat akibat
perluasan rumput (sebagian besar rumput tropis atau didominasi oleh semak
berdaun, atau campuran dari kedua jenis tanaman), karena hasil isotop stabil
kedua jenis hewan tersebut menunjukkan memiliki makanan yang beragam dan
perilaku yang fleksibel. Apalagi Sulawesi tampaknya ditumbuhi oleh berbagai
macam vegetasi pada masa Pleistosen Awal. Kemungkinan besar kepunahannya
terkait dengan ketidakmampuan bersaing dengan pendatang baru berukuran lebih
besar (Stegodon sp. B.) (Puspaningrum 2016).
Waktu dan penyebab kepunahan Stegodon sp. B. tidak pasti, karena
catatan penampilan terakhir dari spesies tersebut adalah Leang Bulu Bettue.
Mungkin Stegodon sp. B. punah karena
ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan sumber makanan, atau
mungkin keberadaan terakhir Stegodon sp.
B. dan Palaeoloxodon namadicus
setelah kedatangan manusia. Hal ini dibuktikan adanya asosiasi sedimen dijumpai
hewan ini dengan peralatan batu manusia. Maka kepunahannya bisa jadi terkait
dengan kedatangan manusia modern ke Sulawesi. Tampaknya alasan terakhir ini
yang lebih diterima (Puspaningrum 2016).
Ucapan Terima Kasih
Penulis
menyampaikan terima kasih kepada Moh. Ihsan Nur Mallo (adik penulis), yang
telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini.
Daftar Pustaka
Aziz,
F. (200). The Pleistocene Endemic Fauna of the Indonesian Archipelago. Tropics,
Vol. 10 (1): May 30, 2000.
MacArthur,
R.H. & Wilson E. 2001. The Theory of Island Biogeography. Princeton University Press.
Mayr,
E. & Diamond, J., 2001. The Bird of Northern Melanesia, Speciation, Ecology
& Biogeography. Oxford University Press.
Mallo,
F.N. 2020. Biogeografi Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC). Dalam
persiapan.
Michaux,
B. (2010). Biogeology of Wallacea:
geotectonic models, areas of endemism, and natural biogeographical units.
Biological Journal of the Linnean Society, 2010, 101, 193–212
Moss,
S. J. & M. E. J. Wilson. 1998. Biogeographic implications of the Tertiary
Palaeogeographic evolution of Sulawesi and Borneo. Biogeography and Ecological Evolution of SE
Asia. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherland.
Mustari,
H. (2019). Ekologi, Perilaku dan Konservasi Anoa. IPB Press.
Puspaningrum,
M.R., (2016). Proboscidea as palaeoenvironmental indicators in Southeast Asia.
Thesis, University of Wollongong.
Stelbrink,
S., Albrecht, C., Hall, R., & von Rintelen, T. (2012). The Biogeography of Sulawesi Revisited: is
there evidence for a Vicariant Origin of Taxa on Wallace’s “Anomalous Island”?.
Evolution 66-7: 2252–2271. Pebruary 2012.
Whittaker,
R.J. and Fernandes-Falacois, J.M. 2013.
Island Biogeography, Ecology, Evolution, and Conservation. Oxford University
Press.
Whitten,
A.J., Mustafa, M. & Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press.
Wibowo,
U.P., Hakim, B. & Saiful, A.M. (2019). New Find of Stegodon Sompoensis
maxilla From Cangkange, Soppeng, South Sulawesi. Wallennae, Jurnal Arkeologi
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Vol. 17 No. 2 (2019).
Wright,
D.V. (2015) The Philippines - Key to the biogeography of Wallace.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar