Gambar 1. Individu betina Aethopyga duyvenbodei di Gunung Sahendaruman, sedang mengambil material sarang serat buah Ceiba sp. |
Pendahuluan
Pulau Sangihe memiliki empat jenis Nectarinidae: Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga duyvenbodei. Aethopyga duyvenbodei satu-satunya jenis endemik Pulau Sangihe. Jenis paling penting di pulau ini, karena populasinya menurun drastis akibat hutan primer dan hutan sebagai serta hutan sekunder tua sebagai habitatnya mengalami deforestasi dan degradasi dalam skala luas, dikonversi menjadi lahan budidaya, sehingga hanya menyisakan sedikit blok-blok vegetasi hutan. Walaupun burung ini juga dijumpai di area lahan budidaya, namun populasinya sedikit. Populasinya terkonsentrasi di hutan primer dan sekunder tua, serta semak berbatasan hutan primer dan sekunder tua. Sementara vegetasi hutan tersebut hanya sedikit tersisa di Pulau Sangihe, sehingga statusnya dikategorikan IUCN dalam status Terancam (Endangered) (Mallo 2020).
Gambar 2. Individu jantan Aethopyga duyvenbodei di Gunung Sahendaruman sedang memantau individu betina mengambil material sarang serat buah Ceiba sp. |
Burung ini
sangat menarik karena merupakan taksa tua, yang filogeninya masih belum
jelas. Analisis molekuler menunjukkan
burung ini tidak memiliki kerabat dekat dalam genus Aethopyga (Mallo 2020). Tetapi
menurut Nyári et al. jenis ini menjadi basal Aethopyga siparaja, sementara Aethopyga
siparaja menjadi basal A.
christinae, A. boltoni dan A.
primigenius (Mallo 2020A). Tiga
jenis lain tersebar luas di banyak tempat di Pulau Sangihe dan luar Pulau
Sangihe.
Selama penulis melakukan kunjungan ke Pulau
Sangihe bersama Dadang Dwi Putra pada bulan Mei 2014, untuk
memotret dan mengamati Eutrichomyias
rowleyi, teramati sarang aktif dan aktifitas berbiak Leptocoma aspasia dan Aethopyga
duyvenbodei di Gunung Sahendaruman.
Hasil pengamatan tersebut diuraikan di
dalam tulisan ini. Tujuan penulisan ini
agar data hasil pengamatan tersebut dapat menambah informasi berbiak kedua
jenis burung tersebut di Kepulauan Sangihe, terutama Aethopyga duyvenbodei, yang saat ini jarang tersedia.
Dari penelusuran data berbiak kedua jenis
burung tersebut di Pulau Sangihe, penulis hanya mendapatkan satu catatan
berbiak Aethopyga duyvenbodei dari
Bishop tahun 1995, dekat Kentuheng (Teguh & Noaf 2017).
Catatan berbiak
Leptocoma aspasia
Pada tanggal 6 Mei 1996 penulis menjumpai
satu sarang aktif di Gunung Sahendaruman. Sarang tergantung
diletakkan di daun palem,
setinggi 7 m, di sebuah
lembah sempit didominasi vegetasi hutan primer. Material sarang berupa serat halus tumbuhan
dan rumput, terutama Musa sp., yang
dijalin dengan sulur laba-laba. Di sekitarnya terdapat satu individu betina
sedang bertengger. Pada 19 Mei 2014 satu
individu betina teramati mengambil material serat buah Randu liar (Ceiba sp.).Gambar 3. Foto sarang aktif Leptocoma aspasia diletakkan di sejenis pohon palmae di Gunung Sahendaruman
Dibanding Aethopyga duyvenbodei burung ini jarang mengambil material serat
buah Randu liar (Ceiba sp.). Perilaku ini terkorelasi dengan material sarangnya
sedikit dari serat buah Randu liar (Ceiba sp.) dibanding material sarang Aethopyga duyvenbodei.Gambar 4. Individu betina Leptocoma aspasia di Gunung Sahendaruman sedang mengambil material sarang serat buah Ceiba sp.
Aethopyga
duyvenbodei
Pada tanggal 18-24 Mei 2014 penulis
menjumpai tiga individu betina dan satu individu jantan mengambil material
sarang serat buah Randu liar (Ceiba
sp.), di Gunung Sahendaruman. Individu Betina
sangat aktif mengambil dan mengangkut material, sedangkan individu jantan lebih
banyak melakukan aktifitas pemantauan, tetapi sesekali mengambil material
sarang. Sesama individu tidak melakukan perebutan dalam mengambil material
sarang, mungkin karena ketersediaan material melimpah.Gambar 5. Sarang aktif Aethopyga duyvenbodei di punggungan bukit Gunung Sahendaruman
Pada 22 Mei 2014 penulis menjumpai dua
sarang di dua tempat berbeda, di Gunung Sahendaruman, diantaranya satu masih
aktif dan satu baru seminggu ditinggalkan fledgling.
Sarang tidak aktif diletakkan di pohon “pele/bahasa lokal” (Ficus sp.), di tepi jalan setapak, agak
terbuka, setinggi 1,5 m dari permukaan tanah, di sebuah lembah sempit yangdidominasi
vegetasi hutan primer, dan satu sarang lain masih aktif diletakkan di ranting
pohon setinggi lima meter dari permukaan tanah, di punggungan bukit didominasi
vegetasi hutan sekunder tua, agak rapat.
Material kedua sarang sebagian besar dari
serat Randu liar (Ceiba sp.), dan
sebagian kecil lagi dari kulit kayu dan Musa
sp. kering dan ranting halus, yang dijalin dengan sulur laba-laba. Sarang terlihat rapi dan bersih dibanding
sarang Leptocoma aspasia. Beberapa
kulit dan serat besar dan tebal terjulur panjang ke bawah, dibanding sarang Leptocoma aspasia.
Pada sarang aktif teramati sepasang induk
sedang melakukan aktifitas, individu betina teramati sangat aktif keluar masuk
sarang, sedangkan diduga individu jantan dari individu betina berbiak teramati tidak
jauh dari sarang. Diduga melakukan aktifitas pemantauan.Gambar 6. Sarang tidak aktif Aethopyga duyvenbodei diletakkan di pohon Ficus sp. di Gunung Sahendaruman
Keberhasilan pembuatan sarang kemungkinan dipengaruhi
ketersediaan tumbuhan Randu liar (Ceiba sp.),
karena persentase serat buah tumbuhan ini menjadi material sarang sangat tinggi
(mungkin diatas 80%). Komposisi persentase
material sarang ini membuat sarang burung ini terlihat sangat khas dibanding
sarang ketiga burung-madu lain di Pulau Sangihe.
Penulis juga mendapatkan data satu catatan
berbiak pada 1 September 1995 Bishop menemukan satu individu juvenile di dekat Kentuhang. Menurut
Cheke et al. kelenjar kelamin
membesar jenis ini pada bulan Mei, sarang baru ini dikosongkan Agustus,
teramati remaja Agustus – September (Mallo 2020).
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu selama penulis melakukan kunjungan ke Pulau
Sangihe. Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih kepada Dadang Dwi Putra
yang telah bersama-sama hunting fotografi dan mengamati aktifitas berbiak
burung-madu di Pulau Sangihe. Juga Mas Doni Tayang, yang sangat membantu
penulis selama melakukan kegiatan di
Pulau Sangihe, juga mas Ucil, Pak Niu dan Pak Eping yang membantu selama di
lapangan (Gunung Sahendaruman), bahkan banyak memberikan informasi lokasi
perjumpaan burung-burung di tempat tersebut, serta Mas Panji
dan Mas Hanom Bashari (Burung Indonesia) yang memberikan informasi
burung-burung di Gunung Sahendaruman dan bahkan bersama-sama mengamati di
lapangang (Mas Panji). Dan, terakhir adik
penulis Moh. Ihsan Nur Mallo, yang telah membantu mengedit dan mangupload
tulisan ini.
Serta semua pihak yang tidak sempat penulis
sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan.
Daftar Pustaka
Coates,
B.J. & Bishop, K.D. (1997). A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the
Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del
Hoyo, J., & Collar, N.J. 2016.
Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 2 Passerines. Birdlife
International.
Mallo,
F.N., (2020). Data Base Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC) (Dalam Persiapan).
Mallo,
F.N., (2020A). Biogeografi Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC) (Dalam Persiapan).
Teguh,
H. & Noaf, W. 2017. Burung-Burung
Bersebaran Terbatas di Kepulauan Sangihe-Talaud: Taksonomi, Populasi, dan
Keterancamannya. Academia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar