Rabu, 26 Januari 2022

CATATAN BERBIAK BURUNG-MADU HITAM (Leptocoma aspasia) DAN BURUNG-MADU SANGIHE (Aethopyga duyvenbodei) DI PULAU SANGIHE

Oleh Fachry Nur Mallo

Gambar 1.  Individu betina Aethopyga duyvenbodei di Gunung Sahendaruman, sedang mengambil material sarang serat buah Ceiba sp.

Pendahuluan

Pulau Sangihe memiliki empat jenis Nectarinidae: Anthreptes malacensis, Leptocoma aspasia, Cinnyris jugularis dan Aethopyga duyvenbodei. Aethopyga duyvenbodei satu-satunya jenis endemik Pulau Sangihe.  Jenis paling penting di pulau ini, karena populasinya menurun drastis akibat hutan primer dan hutan sebagai serta hutan sekunder tua sebagai habitatnya mengalami deforestasi dan degradasi dalam skala luas, dikonversi menjadi lahan budidaya, sehingga hanya menyisakan sedikit blok-blok vegetasi hutan.  Walaupun burung ini juga dijumpai di area lahan budidaya, namun populasinya sedikit.  Populasinya terkonsentrasi di hutan primer dan sekunder tua, serta semak berbatasan hutan primer dan sekunder tua. Sementara vegetasi hutan tersebut hanya sedikit tersisa di Pulau Sangihe, sehingga statusnya dikategorikan IUCN dalam status Terancam (Endangered) (Mallo 2020).

Gambar 2.  Individu jantan Aethopyga duyvenbodei di Gunung Sahendaruman sedang memantau individu betina mengambil material sarang serat buah Ceiba sp.

Burung ini  sangat menarik karena merupakan taksa tua, yang filogeninya masih belum jelas.  Analisis molekuler menunjukkan burung ini tidak memiliki kerabat dekat dalam genus Aethopyga (Mallo 2020). Tetapi menurut Nyári et al.  jenis ini menjadi basal Aethopyga siparaja, sementara Aethopyga siparaja  menjadi basal  A. christinae, A. boltoni  dan A. primigenius (Mallo 2020A).  Tiga jenis lain tersebar luas di banyak tempat di Pulau Sangihe dan luar Pulau Sangihe.

Selama penulis melakukan kunjungan ke Pulau Sangihe  bersama  Dadang Dwi Putra pada bulan Mei 2014, untuk memotret dan mengamati Eutrichomyias rowleyi, teramati sarang aktif dan aktifitas berbiak Leptocoma aspasia dan Aethopyga duyvenbodei di Gunung Sahendaruman.

Hasil pengamatan tersebut diuraikan di dalam tulisan ini.  Tujuan penulisan ini agar data hasil pengamatan tersebut dapat menambah informasi berbiak kedua jenis burung tersebut di Kepulauan Sangihe, terutama Aethopyga duyvenbodei, yang saat ini jarang tersedia.

Dari penelusuran data berbiak kedua jenis burung tersebut di Pulau Sangihe, penulis hanya mendapatkan satu catatan berbiak Aethopyga duyvenbodei dari Bishop tahun 1995, dekat Kentuheng (Teguh & Noaf 2017).           

Catatan berbiak

Leptocoma aspasia

Pada tanggal 6 Mei 1996 penulis menjumpai satu sarang aktif di Gunung Sahendaruman. Sarang  tergantung  diletakkan  di daun  palem,  setinggi 7 m,  di   sebuah  lembah  sempit  didominasi vegetasi hutan primer.  Material sarang berupa serat halus tumbuhan dan rumput, terutama Musa sp., yang dijalin dengan sulur laba-laba. Di sekitarnya terdapat satu individu betina sedang bertengger.  Pada 19 Mei 2014 satu individu betina teramati mengambil material serat buah Randu liar (Ceiba sp.).

Gambar 3.  Foto sarang aktif Leptocoma aspasia diletakkan di sejenis pohon palmae di Gunung Sahendaruman

Dibanding Aethopyga duyvenbodei burung ini jarang mengambil material serat buah Randu liar (Ceiba sp.).  Perilaku ini terkorelasi dengan material sarangnya  sedikit dari serat buah Randu liar (Ceiba sp.) dibanding material sarang Aethopyga duyvenbodei.

Gambar 4.  Individu betina Leptocoma aspasia di Gunung Sahendaruman sedang mengambil material sarang serat buah Ceiba sp. 

Aethopyga duyvenbodei

Pada tanggal 18-24 Mei 2014 penulis menjumpai tiga individu betina dan satu individu jantan mengambil material sarang serat buah Randu liar (Ceiba sp.), di Gunung Sahendaruman.   Individu Betina sangat aktif mengambil dan mengangkut material, sedangkan individu jantan lebih banyak melakukan aktifitas pemantauan, tetapi sesekali mengambil material sarang. Sesama individu tidak melakukan perebutan dalam mengambil material sarang, mungkin karena ketersediaan material melimpah.

Gambar 5.  Sarang aktif Aethopyga duyvenbodei di punggungan bukit Gunung Sahendaruman 

Pada 22 Mei 2014 penulis menjumpai dua sarang di dua tempat berbeda, di Gunung Sahendaruman, diantaranya satu masih aktif dan satu baru seminggu ditinggalkan fledgling. Sarang tidak aktif diletakkan di pohon “pele/bahasa lokal” (Ficus sp.), di tepi jalan setapak, agak terbuka, setinggi 1,5 m dari permukaan tanah, di sebuah lembah sempit yangdidominasi vegetasi hutan primer, dan satu sarang lain masih aktif diletakkan di ranting pohon setinggi lima meter dari permukaan tanah, di punggungan bukit didominasi vegetasi hutan sekunder tua, agak rapat.

Material kedua sarang sebagian besar dari serat Randu liar (Ceiba sp.), dan sebagian kecil lagi dari kulit kayu dan Musa sp. kering dan ranting halus, yang dijalin dengan sulur laba-laba.  Sarang terlihat rapi dan bersih dibanding sarang Leptocoma aspasia. Beberapa kulit dan serat besar dan tebal terjulur panjang ke bawah, dibanding sarang Leptocoma aspasia.

Pada sarang aktif teramati sepasang induk sedang melakukan aktifitas, individu betina teramati sangat aktif keluar masuk sarang, sedangkan diduga individu jantan dari individu betina berbiak teramati tidak jauh dari sarang. Diduga melakukan aktifitas pemantauan.

Gambar 6.  Sarang tidak aktif Aethopyga duyvenbodei diletakkan di pohon Ficus sp. di Gunung Sahendaruman

Keberhasilan pembuatan sarang kemungkinan dipengaruhi ketersediaan tumbuhan Randu liar (Ceiba sp.), karena persentase serat buah tumbuhan ini menjadi material sarang sangat tinggi (mungkin diatas 80%).  Komposisi persentase material sarang ini membuat sarang burung ini terlihat sangat khas dibanding sarang ketiga burung-madu lain di Pulau Sangihe.

Penulis juga mendapatkan data satu catatan berbiak pada 1 September 1995 Bishop menemukan satu individu juvenile di dekat Kentuhang. Menurut Cheke et al. kelenjar kelamin membesar jenis ini pada bulan Mei, sarang baru ini dikosongkan Agustus, teramati remaja Agustus – September (Mallo 2020).

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu selama penulis melakukan kunjungan ke Pulau Sangihe. Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih kepada Dadang Dwi Putra yang telah bersama-sama hunting fotografi dan mengamati aktifitas berbiak burung-madu di Pulau Sangihe. Juga Mas Doni Tayang, yang sangat membantu penulis selama melakukan kegiatan  di Pulau Sangihe, juga mas Ucil, Pak Niu dan Pak Eping yang membantu selama di lapangan (Gunung Sahendaruman), bahkan banyak memberikan informasi lokasi perjumpaan burung-burung di tempat tersebut, serta  Mas Panji  dan Mas Hanom Bashari (Burung Indonesia) yang memberikan informasi burung-burung di Gunung Sahendaruman dan bahkan bersama-sama mengamati di lapangang (Mas Panji).  Dan, terakhir adik penulis Moh. Ihsan Nur Mallo, yang telah membantu mengedit dan mangupload tulisan ini.

Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan.

Daftar Pustaka

Coates, B.J. & Bishop, K.D. (1997). A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.

del Hoyo, J., & Collar, N.J.  2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 2 Passerines. Birdlife International.

Mallo, F.N., (2020). Data Base Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC) (Dalam Persiapan).

Mallo, F.N., (2020A). Biogeografi Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC) (Dalam Persiapan).

Teguh, H. & Noaf, W.  2017. Burung-Burung Bersebaran Terbatas di Kepulauan Sangihe-Talaud: Taksonomi, Populasi, dan Keterancamannya. Academia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar