Senin, 22 Januari 2018

PENGAMATAN TIKUSAN KERDIL (Zapornia pusilla) DAN MANDAR BONTOD (Gallicrex cinerea) DI PERSAWAHAN RANCA EKEK, JAWA BARAT

(Observation Baillon’s Crake (Zapornia pusilla) and Watercock (Gallicrex cinerea) in the rice field Ranca Ekek, Bandung, West Java)
Foto 1. Tikusan kerdil melakukan aktifitas di persawahan Ranca Ekek (@Fachry NM.)
Selama melakukan pengamatan burung di Jawa, salah satu obsesi saya ingin menjumpai Mandar Bontod, mengingat burung ini sangat sulit dijumpai saat ini. Padahal beberapa tahun silam masih sering dijumpai, walaupun tidak umum.
Petualangan pencarian ini sudah saya lakukan di beberapa tempat di pesisir pantai utara Jawa. Saya memilih kawasan tersebut karena saya mendapat informasi saat musim migran burung dari utara khatulistiwa, Mandar Bontod banyak dijumpai di kawasan tersebut. Tetapi kenyataannya saya tidak pernah menjumpainya selama mengunjungi beberapa tempat di kawasan tersebut.  Pencarian burung ini juga saya lakukan dibeberapa rawa dan lahan persawahan lain di Jawa Barat, juga tidak menjumpainya.

Tikusan Kerdil tidak masuk daftar buruan saya, karena saya pesimis dapat menjumpainya di Jawa. Mengingat perjumpaan burung ini di Jawa, bahkan di tempat lain di Indonesia sangat jarang. Sehingga mustahil dapat bertemu burung ini.
Namun ternyata suatu keberkahan dari Allah, saya menjumpai keduanya di persawahan Ranca Ekek, Bandung Jawa Barat. Penemuan keduanya di tempat ini, diluar dari perkiraan saya. Saya membayangkan jika bertemu kedua burung tersebut di tempat yang terpencil di Jawa, dengan kondisi vegetasi yang bersih dari polusi. Tetapi justru saya menjumpainya di persawahan Ranca Ekek, yang ramai dengan hiruk pikuk manusia dan kendaraan, dan kondisi tanah dan airnya telah mengalami pencemaran berat, sehingga tidak layak lagi ditanami padi.
Persawahan Ranca Ekek, walaupun dimata para petani sudah tidak menilai tinggi, karena merosotnya produksi padi akibat pencemaran, dan dikalangan ekologiwan juga tidak menghargai tinggi karena vegetasinya yang rusak akibat pencemaran dari limbah pabrik. Tetapi bagi saya areal ini sangat berharga bagi pengembangan pengetahuan ornitologi saya. Karena perjumpaan dengan dua spesies burung ini, ditambah empat spesies lain yang saya anggap tidak kalah penting; Zapornia fusca, Rostratula benghalensis, Stiltia isabella dan Locustella certhiola.
Bagi teman-teman pengamat burung dan para fotorgrafer kehidupan liar di Bandung, persawahan  ini sangat berharga mereka rasakan. Karena di tempat ini dapat dijiumpai burung-burung penting. Maka tidak heran mereka sering meluangkan waktu mengunjunginya.
Foto 2.  Persawahan Ranca Ekek (@ Sam Ade)
Tikusan Kerdil dua kali saya jumpai ditempat ini. Pertama 14 Pebruari 2016. Awalnya saya berniat berburu Berkik-kembang Besar yang dijumpai beberapa kali oleh kang Sam Ade di tempat ini. Saat mengunjungi lokasi ini, saya berjumpa dengan Kang Sam Ada dan menginformasikan ia telah memotret Tikusan Kerdil.  Awalnya saya tidak percaya, karena saya pikir dia hanya memotret Tikusan Alis-putih (Amaurornus chinerea).  Setelah saya diperlihatkan foto hasil jepretannya... wohh.. ternyata benar Tikusan Kerdil. Saya langsung minta diantar ke spot ia memotret Tikusan Kerdil.
Saat kami mendekati spot dituju, tiba-tiba saya yang berjalan dibelakang terperosok masuk ke dalam genangan air bersama kamera dan lensa. Saya stress melihat lensa saya hampir terendam seluruh bodinya, sedangkan posisi kamera hanya sedikit menyentuh air. Saya sangat khawatir lensa dan kamera saya tidak berfungsi. Perburuan dipending sementara, kami fokus membersihan lumpur dan mengeringkan air pada bodi lensa. Setelah bodi lensa bersih dan kering kami mencoba mengaktifkannya, ternyata kamera dan lensa masih berfungsi baik. Alhamdulillah...... Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju spot dan mengambil posisi siaga di bawah pematang, yang membatasi antara saluran air dan tepi vegetasi rawa.
Beberapa menit berlalu yang ditunggu belum juga nongol. Tiba-tiba Kang Sam Ade memberi isyarat kepada saya untuk siap-siap. Saya melihat tegakan herba di depan kami bergerak-gerak, beberapa detik kemudian terlihat sosok Tikusan Kerdil muncul dari dalam vegetasi menuju tepi saluran air. Saya langsung tancap gas menekan shutter sepuasnya, mengambil fotonya. Kang sam Ade hanya mengambil foto sekedarnya, mungkin ia telah puas mengambil foto sebelumnya. Burung ini tidak terganggu dengan kehadirannya kami yang hanya berjarak kurang lebih empat meter dari posisinya. Asyik saja mencari makan di tepi saluran air dan memakan dua cacing. Cukup lama kami mengamati aktifitasnya, sebelum   burung ini meninggalkan saluran air memanjat batang vegetasi rawa yang rebah, lalu menghilang di dalam vegetasi. Pada hari ini saya berhasil mencatat paling sedikit dua individu teramati.
       Beberapa hari kemudian saya mendatangi lagi tempat ini bersama kang Budi Hermawan, dan tidak berhasil menjumpainya. Perburuan  kami alihkan ke persawahan di seberang jalan ke arah rel kereta api. Kami menjumpai satu individu terbang menuju vegetasi rawa diseberang kolam, terganggu kehadiran kami. Kami memutuskan siaga memasang  kamera di tepi kolam, menunggu munculnya burung ini dari vegetasi seberang kolam. Tetapi kami menunggu cukup lama, Tikusan Kerdil tidak muncul.  Hingga kami memutuskan pulang.
Foto 3. Mandar bontod terganggu karena kehadiran saya (@Fachry NM.)
Mandar Bontod saya berhasil jumpai juga berkat jasa Kang sam Ade.  Pada pertengahan Pebruari 2016 saya melihat postingan foto burung ini di Facebooknya. Setelah mengkonfirmasikan kepadanya temuan tersebut, pada 20 Pebruari 2016 subuh, setelah salat subuh saya berangkat ke persawahan Ranca Ekek. Jam 06.35 saya mulai memburu burung ini. Sejam lebih saya menelusuri beberapa sudut terpencil areal persawahan dan rawa, tetapi tidak menemukan burung ini. Saya mengalihkan pencarian pada areal persawahan lebih terbuka. Sekitar 20 menit saya berjalan hilir mudik di pematang sempit areal persawahan, tiba-tiba saya dikagetkan satu individu burung rawa coklat berukuran besar terbang  dari dalam vegetasi padi  menjauhi saya. Wah…. ternyata Mandar Bontod, secepatnya saya mempersiapkan kamera hendak memotret, tetapi saya terlambat beberapa detik sebelum burung ini terbang terhalang pepohonan.
Burung ini terbang seperti ayam, dengan kepakan sayap yang berat. Mungkin karena posturnya sepintas mirip ayam, sehingga dibeberapa tempat masyarakat menyebutnya “ayam-ayaman”. Mungkin juga nama bontod diberikan karena terlihat badannya bontod seperti ayam, terutama saat terbang.
Saya bergegas menuju arah terbangnya. Tetapi baru saya melangkah 20 meter, burung ini terbang lagi ke arah saya, lalu berputar menuju arah terbang pertama. Saya pun memotret tanpa bisa memfokuskan pada matanya, langsung kepada badannya agar memudahkan mendapatkan titik fokus yang cepat. Tindakan ini dilakukan mengingat begitu cepatnya mobilitas burung ini, sehingga saya tidak dapat mempersiapkan diri dengan baik. Setelah saya melihat hasil foto di layar monitor kamera, berhasil didapatkan lima foto, walaupun kurang bagus, tetapi masih layak untuk dijadikan foto identifikasi burung ini. 
Dua minggu berikutnya saya mengunjungi lagi tempat ini. Saya berangkat ke lokasi jam 03.00 subuh. Saya lebih cepat menuju lokasi bermaksud hendak memotret Gallicrex cinerea, Galliralus striatus dan Rostratula benghalensis saat melakukan aktifitas di pagi hari dari jarak dekat. Sebelum jam 04.00 saya tiba di lokasi, dan saya langsung membuat “bivak kamuflase” disebuah pematang luas dan strategis dapat memotret tiga spot sekaligus biasa ketiga burung tersebut mencari makan. Sebelum cahaya muncul saya telah bersiap dengan kamera di dalam bivak kamuflase. Saat cahaya matahari mulai sedikit muncul, suasana masih terasa gelap, saya dikagetkan didepan saya berjarak lima meter ternyata dua individu Galliralus striatus sedang asyik mencari makan. Keduanya makan sambil menelusuri bawah pematang, tidak pernah memasuki ke tengah areal persawahan. Mungkin sebuah strategi agar tidak muda terlihat manusia atau predator. Burung ini nampaknya telah melakukan aktifitas sejak tadi, saat hari masih gelap. Memang burung ini juga diketahui melakukan aktifitas di malam hari (nocturnal), selain di siang hari.
Beberapa menit kemudian, cahaya sudah agak terang, lingkungan sekitarnya sudah nampak jelas, saya melihat satu individu Gallicrex cinerea berjalan, sesekali berlari  dari arah vegetasi rawa melintasi rumput pendek menuju vegetasi padi di belakang saya, nampaknya baru mulai melakukan atifitas. Karena minimnya cahaya saya hanya bisa menyaksikan tingkah laku kedua spesies burung tersebut tanpa bisa memotretnya. Saya mengharap keduanya masih melakukan aktifitas saat matahari sudah muncul, sehingga saya mendapatkan cukup cahaya memotretnya. Tetapi saat matahari muncul burung-burung tersebut sudah menghilang entah kemana. Sehingga saya tidak berhasil mendapatkan fotonya. Tetapi walaupun demikian, saya mendapatkan pengetahuan baru kehidupan kedua burung rawa tersebut. Fachry Nur Mallo (Januari 2017).
 
Daftar Pustaka

del Hoyo, J., and Collar, N.J.  2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Birdlife International.
MacKinnon, J., Phillips, K., dan van Balen, B. 1992. Panduan Lapangan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor. LIPI dan Birdlife-IP.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar