(Biogeography of birds in
Banggai-Sula Islands, Sulawesi)
Oleh: Fachry
Nur Mallo
Gambar 1. Corvus unicolor, spesies endemik Kepulauan Banggai-Sula |
LATAR BELAKANG GEOLOGI
Satyana (2007) mengidentifikasi lima peristiwa benturan di Indonesia yang
membentuk atau mempengaruhi sejarah tektonik Indonesia sepanjang Kenozoikum. Salah satunya adalah terjadi dari 11-5 Ma (Miosen akhir-Pliosen paling awal)
ketika mikro-kontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula membentur ofiolit
Sulawesi Timur. Terjadinya benturan mikro-kontinen Buton-Tukang Besi dan
Banggai-Sula ofiolit Sulawesi Timur, ketika mikro-kontinen ini terlepas dari
Kepala Burung Papua dan bergerak ke barat oleh Sesar Sorong. Benturan ini telah
membentuk jalur lipatan dan sesar Buton di selatan Sulawesi Timur dan Jalur
Batui di daerah benturan Banggai dan Sulawesi Timur. Kedua benturan ini telah
diikuti tectonic escapes pasca benturan dalam bentuk-bentuk rotasi
lengan-lengan Sulawesi, pembentukan sesar-sesar mendatar besar Palu-Koro,
Kolaka, Lawanopo, Hamilton, Matano, dan Balantak, dan pembukaan Teluk Bone.
Gerak sesar-sesar mendatar ini di beberapa tempat telah membuka
cekungan-cekungan koyakan (pull-apart basin) akibat mekanisme trans-tensional
seperti danau-danau Poso, Matano, Towuti juga Depresi Palu.
Menurut Surono (2015) fragmen di wilayah Sulawesi, termasuk
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, Banggai-Sula dan Buton, diyakini telah
diturunkan dari bagian benua Australia Utara. Mungkin memisahkan diri pada Jurassik
dan pindah ke timur laut dengan posisi saat ini. Di Sulawesi Tengah, Banggai-Sula dan dan Buton
Microcontinents batuan metamorf membentuk basement cekungan Mesozoikum. Batuan
ini secara tidak selaras ditindih oleh unit tebal batuan sendimen Mesozoikum,
didominasi oleh batuan kapur di Buton dan batuan silisiklastik di Sulawesi
Tenggara dan Banggai-Sula Microcontinent.
Kepulauan Banggai-Sula dikategorikan kepulauan
benua; sebuah pulau atau
kepulauan terpisah dari sebuah benua atau terrane, lalu menjauh dari massa
benua asal.
BIOGEOGRAFI
Kepulauan Banggai-Sula merupakan sebuah kepulauan masih bagian dari sebuah benua sehingga
memiliki perwakilan biota yang harmonis yang mencapai tempatnya sekarang, melalui
jembatan darat (Monk, 2000).
Hal ini menyebabkan kepulauan ini memiliki jumlah
spesies burung yang lebih banyak dibanding Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepulauan Sangihe-Talaud merupakan kepulauan samudera. Dengan demikian, kepulauan ini tidak pernah menyatu dengan benua atau daratan lain yang lebih besar sejak pembentukannya, sehingga memiliki perwakilan
biota yang tidak harmonis (banyak kelompok hewan dan tumbuhan tidak terdapat di
kepulauan tersebut). Tingginya spesies burung di Kepulauan Banggai-Sula,
juga dipengaruhi ukuran daratan Kepulauan
Banggai-Sula lebih
luas dari Kepulauan Sangihe-Talaud dan letaknya lebih dekat dari daratan
Sulawesi (sumber asal penyebaran
spesies).
Sejak terpisah dari benua Australia ke arah mendekati Pulau
Sulawesi, Kepulauan Banggai-Sula dalam jangka waktu cukup lama tidak pernah bersatu dengan daratan mana
pun berukuran besar atau benua, termasuk Sulawesi. Hal ini
menyebabkan tingginya endemisitas burung di kepulauan ini. Dalam teori biogeografi semakin lama suatu pulau
terpisah dari daratan induk, semakin banyak terjadi spesiasi di pulau tersebut.
Endemisitas
Kepulauan Banggai-Sula memiliki tingkat endemisitas burung tertinggi
dari seluruh unit biogeografi di Sulawesi. Di Kepulauan Banggai-Sula terdapat 19 spesies burung endemik kepulauan ini; Megapodius
bernsteinii, Ramphiculus subgularis, Ramphiculus
mongoliensis, Tyto nigrobrunnea, Otus mendeni, Otus
sulaensis, Ceyx wallacii, Trichoglossus flavoviridis,
Loriculus sclateri, Erythropitta dohertyi, Coracina
schistacea, Edolisoma sula, Corvus
unicolor, Thapsinillas harterti, Thapsinillas
longirostris, Basilornis galeatus, Streptocitta albertinae, Geokichla mendeni dan Cyornis
colonus (del Hoyo, et al., 2014), serta
terdapat 36 subspesies endemik kepulauan ini dari 26 spesies burung (lihat
tabel 1).
Dari 19 spesies endemik kepulauan ini, empat spesies terbatas penyebarannya di Kepulauan
Banggai, delapan spesies terbatas penyebarannya di Kepulauan Sula (lihat tabel 1) dan tujuh spesies lain tersebar baik di Kepulauan Banggai maupun di Kepulauan
Sula.
Pola serupa juga terlihat pada penyebaran
subspesies endemik kepulauan ini; dari 36 subspesies
endemik kepulauan ini,
12 subspesies diantaranya
terbatas penyebarannya di
Kepulauan Banggai, 12
subspesies terbatas penyebarannya di Kepulauan Sula, serta 12 subspesies
tersebar baik di Kepulauan Banggai maupun di Kepulauan Sula.
Walaupun antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan
Sula memiliki perbedaan beberapa spesies endemik, tetapi perbedaan tersebut tidak sebesar antara
Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Untuk
tingkat endemik subspesies
perbedaan antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula lebih tinggi daripada antara Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud.
Kepulauan
Banggai-Sula memiliki lebih banyak spesies endemik dibandingkan dengan
Kepulauan Sangihe-Talaud. Tetapi Kepulauan Sangihe-Talaud memiliki lebih banyak
spesies endemik yang khas, dibandingkan Kepulauan Banggai-Sula. Bahkan terdapat satu endemik marga.
Tabel 1. Penyebaran spesies dan subspesies endemik, dan spesies penyebarannya terbatas Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula.
No.
|
Jenis
|
Kep. Banggai
|
Kep. Sula
|
Keterangan.
|
01.
|
Megapodius bernsteini
|
X
|
X
|
-
|
02.
|
Macropygia mboinensis
|
Albicapila
|
Sedecima
|
di Sulawesi marga albicapila
juga terdapat di daratan Sulawesi, P. Muna, P. Buton & Kep. Wakatobi
|
03.
|
Ramphiculus subgularis
|
X
|
-
|
-
|
04.
|
Ramphiculus mongoliensis
|
-
|
X
|
-
|
05.
|
Ptilinopus melanospilus
|
Chrysorrhoa
|
Chrysorrhoa
|
-
|
06.
|
Caprimulgus celebensis
|
jungei ?
|
Jungei
|
-
|
07.
|
Hypotaenidia torquatus
|
Sulcirostris
|
Sulcirostris
|
-
|
08.
|
Amaurornis moluccana
|
-
|
-
|
di Sulawesi hanya terdapat di Kep. Sangihe-Talaud
& Kep. Sula
|
09.
|
Turnix maculosa
|
Kinneari
|
-
|
-
|
10.
|
Tyto nigro-brunnea
|
-
|
X
|
|
11.
|
Tyto rosenbergii
|
Peligensis
|
-
|
-
|
12.
|
Otus mendeni
|
X
|
-
|
|
13.
|
Otus sulaensis
|
-
|
X
|
|
14.
|
Spilornis rufipectus
|
sulaensis
|
Sulaensis
|
-
|
15.
|
Accipiter rhodogaster
|
sulaen-sis
|
Sulaensis
|
-
|
16
|
Ceyx wallacei
|
-
|
X
|
|
17.
|
Pelargopsis melanorhyncha
|
dichrorhyn-cha
|
eutreptor-hyncha
|
|
18.
|
Halcyon coromanda
|
pelengensis
|
Sulana
|
|
19.
|
Trichoglossus flavoviridis
|
-
|
X
|
-
|
20.
|
Loriculus sclateri
|
ruber
|
Sclateri
|
-
|
21.
|
Alisterus amboinensis
|
versicolor
|
Sulaensis
|
di Sulawesi hanya terdapat di Kep. Banggai-Sula.
Tersebar dari Kep. Maluku
|
22.
|
Prioniturus platurus
|
Platurus
|
Cinerubris
|
di Sulawesi marga platurus juga terdapat di daratan Sulawesi, P. Togian, P. Muna
& P. Buton
|
23.
|
Erythropitta dohertyi
|
X
|
X
|
-
|
24.
|
Pitta elegans
|
elegans ?
|
Elegans
|
di Sulawesi subjenis
elegans adalah subjenis endemik Kep. Sangihe dan Kep. Sula
|
25.
|
Oriolus chinensis
|
strese-manni
|
Frontalis
|
-
|
26.
|
Pachycephala griseonota
|
lineola-ta?
|
lineola-ta
|
-
|
27.
|
Pachycephala pectoralis
|
peleng-ensis
|
Clio
|
-
|
28.
|
Coracina schistacea
|
X
|
X
|
-
|
29.
|
Edolisoma sula
|
X?
|
X
|
-
|
30.
|
Edolisoma obiensis
|
pelingi
|
-
|
-
|
31.
|
Dicrurus hottentottus
|
banggaiensis
|
Pectoralis
|
|
32.
|
Hypothymis puella
|
blasii
|
Blasii
|
-
|
33.
|
Corvus enca
|
celebensis
|
Mongoli
|
-
|
34.
|
Corvus unicolor
|
X
|
-
|
-
|
35.
|
Thapsinillas harterti
|
X
|
-
|
-
|
36.
|
Thapsinillas longilostris
|
-
|
X
|
-
|
37.
|
Zosterops atrifrons
|
subatrifrons
|
Sulaensis
|
|
38.
|
Basilornis galeatus
|
X
|
X
|
-
|
39.
|
Streptocitta albertinae
|
-
|
X
|
-
|
40.
|
Aplonis metallica
|
-
|
Metallica
|
di Sulawesi hanya terapat di Kep. Sula
|
41.
|
Aplonis mysolensis
|
-
|
-
|
Di
Sulawesi hanya tersebar terbatas di Kep. Banggai-Sula dan timur Sulawesi
|
42.
|
Geokichla mendeni
|
X
|
X
|
-
|
43.
|
Cyornis colonus
|
pelingensis
|
Colonus
|
-
|
44.
|
Dicaeum celebecum
|
sulaensis
|
sulaen-sis
|
-
|
45.
|
Anthreptes malacensis
|
extremus
|
Extremus
|
-
|
46.
|
Cinnyris jugularis
|
robustirostris
|
Robustirostris
|
-
|
47.
|
Rhipidura teysmanni
|
sulaensis?
|
Sulaensis
|
-
|
Keterangan:
Huruf
tebal : spesies dan subspesies
endemik
X : tempat penyebaran.
Kepulauan
Banggai-Sula memiliki sedikit spesies endemik yang khas. Banyak diantara
spesies endemik di Kepulauan Banggai Sula, karena adanya allopatrik dan tidak memiliki marga endemik. Lebih banyaknya
spesies yang khas di Kepulauan Sangihe-Talaud dari pada Kepulauan Banggai-Sula,
membuktikan bahwa Kepulauan Sangihe-Talaud lebih lama terisolir di banding
Kepulauan Banggai-Sula dan lebih sulit dijangkau oleh spesies yang melakukan
imigrasi dari daratan di sekitarnya dari pada Kepulauan Banggai-Sula.
Asal-usul spesies
Sudah banyak
diketahui, spesies burung di Kepulauan Banggai-Sula merupakan
percampuran antara spesies daratan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, tetapi spesies daratan Sulawesi jauh lebih dominan di Kepulauan Banggai-Sula
dibanding dari Kepulauan Maluku.
Dari 137
spesies burung penetap Kepulauan Banggai-Sula (setelah dikeluarkan spesies
migran, introduksi dan melakukan aktifitas di laut, Columba vitiensis, Coloenas
nicobarica, Ardea sumatranus, Egretta sacra, Coracina schistacea, Hirundo
javanica, Basilornis galeatus dan
Cyornis colonus)(lihat tabel 2), 121 spesies (88%) diantaranya juga terdapat di daratan Sulawesi, sedangkan
17 spesies (12%) juga terdapat di
Kepulauan Maluku.
Maka tak heran dalam pembagian biogeografi hewan, Kepulauan ini
dimasukan dalam wilayah Sulawesi, walaupun secara administrasi Kepulauan Sula
masuk dalam Provinsi Maluku Utara.
Hal ini
menggambarkan bagaimana mudahnya spesies daratan Sulawesi melakukan imigrasi ke
Kepulauan Banggai-Sula dan sulitnya spesies dari Kepulauan Maluku melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai-Sula.
Walaupun Kepulauan Banggai-Sula tidak pernah menyatu dengan daratan Sulawesi,
tetapi Pulau Peleng yang menjadi pintu masuk imigrasi spesies dari daratan
Sulawesi ke Kepulauan Banggai-Sula sangat dekat jaraknya (mungkin hanya 10-15 km) dari daratan Sulawesi.
Sedangkan pulau-pulau utama di Kepulauan Maluku (terdekat Pulau Buru dan Obi),
jaraknya lebih jauh dari Kepulauan Banggai-Sula, dengan dipisahkan laut yang
sangat dalam.
Arah angin
barat laut/utara bertiup ke selatan sejajar dengan arah daratan Sulawesi ke
Pulau Peleng, sehingga lebih memudahkan spesies melakukan imigrasi dari daratan
Sulawesi ke Pulau Peleng. Sedangkan pulau-pulau besar di Kepulauan Maluku letaknya
tidak sejajar arah angin dari pulau-pulau tersebut ke daratan Kepulauan
Banggai-Sula, sehingga menyulitkan imigrasi spesies dari pulau-pulau tersebut
ke Kepulauan Banggai-Sula. Dalam
penelitiannya terhadap burung-burung Melanesia Utara, Mayr et al. (2001) menemukan fakta besarnya pengaruh arah angin terhadap
penyebaran burung di kawasan tersebut.
Tabel 2. Perbandingan spesies
penetap Sulawesi dan Kepulauan Maluku di Kepulauan Banggai-Sula (dikeluarkan burung migran,
burung introduksi, burung
laut, Columba vitiensis, Coloenas nicobarica, Ardea sumatranus, Egretta sacra,
Coracina schistacea, Hirundo javanica, Basilornis galeatus dan Cyornis colonus).
No
|
Jumlah
spesies dalam Famili
|
Dari
daratan Sulawesi
|
Dari Kep.
Maluku
|
Keterangan
|
01.
|
Megapodidae
|
-
|
1
|
M. bernsteinii berkerabat dekat M. freicinet)
|
02
|
Phasianidae
|
1
|
-
|
-
|
03.
|
Anatidae
|
3
|
-
|
-
|
04.
|
Podicipedidae
|
1
|
-
|
-
|
05.
|
Columbidae
|
14
|
-
|
-
|
06.
|
Caprimulgidae
|
2
|
-
|
-
|
07.
|
Hemiprocnidae
|
1
|
-
|
-
|
08.
|
Apodidae
|
4
|
-
|
-
|
09.
|
Cuculidae
|
7
|
-
|
-
|
10.
|
Rallidae
|
9
|
1
|
-
|
11.
|
Ciconiidae
|
1
|
-
|
-
|
12.
|
Ardeidae
|
10
|
-
|
Tidak
termasuk Ardea sumatrana & Egretta sacra
|
13.
|
Phalacrocoracidae
|
2
|
-
|
-
|
14.
|
Anhingidae
|
1
|
-
|
-
|
15.
|
Rostratulidae:
|
1
|
-
|
-
|
16.
|
Turnicidae
|
1
|
-
|
-
|
17.
|
Tytonidae
|
2
|
-
|
|
18.
|
Strigidae
|
2
|
-
|
Keduanya berkerabat dengan Otus manadensis
|
19.
|
Accipitridae
|
13
|
-
|
-
|
20.
|
Alcedididae
|
4
|
1
|
-
|
21.
|
Picidae
|
1
|
-
|
-
|
22.
|
Falconidae
|
1
|
-
|
-
|
23.
|
Psittacidae
|
4
|
2
|
-
|
24.
|
Pittide
|
1
|
1
|
-
|
25.
|
Meliphagidae
|
1
|
-
|
-
|
26.
|
Acanthizidae
|
1
|
-
|
-
|
27.
|
Oriolidae
|
1
|
-
|
-
|
28.
|
Pachycephali-dae
|
-
|
2
|
-
|
29.
|
Camphephagidae
|
3
|
1
|
Coracina schistacea tidak dimasukan, karena tidak ada data hubungan kekerabatan
|
30.
|
Artamidae
|
2
|
-
|
-
|
31.
|
Rhipiduridae
|
1
|
-
|
-
|
32.
|
Dicruridae
|
1
|
-
|
-
|
33.
|
Monarchidae
|
1
|
1
|
-
|
34.
|
Corvidae
|
2
|
-
|
-
|
35.
|
Stenostiridae
|
1
|
-
|
-
|
36.
|
Cisticolidae
|
2
|
1
|
-
|
37.
|
Hirundinidae
|
-
|
-
|
H. javanica tidak dimasukan karena subjenis javanica tersebar luas di Andaman, Asia Tenggara, Philippina,
Sunda Besar & Wallacea
|
38.
|
Pycnonotidae
|
-
|
2
|
-
|
39.
|
Phylloscopidae
|
-
|
1
|
-
|
40.
|
Scotocercidae
|
1
|
-
|
-
|
41.
|
Zosteropidae
|
3
|
-
|
-
|
42.
|
Sturnidae
|
3
|
2
|
Basilornis galeatus tidak dimasukan, karena tidak ada data berkerabat
dekat B.
celebensis atau B. corythaix
|
43.
|
Turdidae
|
2
|
-
|
-
|
44.
|
Muscicapidae
|
3
|
-
|
Cyornis colonus tidak dimasukkan, karena dianggap khas Kep.
Bang-gai-Sula. Sikatanrimba (Jungle-flaycatcher) tidak tersebar di Malu-ku.
Dengan demikian mungkin ter-sebar dari daratan Sulawesi, karena kerabatnya
tersebar di Sunda Besar, Sunda Kecil, Philippina, dan ma-sing-masing satu
spesies di Pulau Nikobar dan tenggara
Cina
|
45.
|
Dicaeidae
|
2
|
-
|
-
|
46.
|
Nectarinidae
|
2
|
1
|
-
|
47.
|
Estrildidae
|
3
|
-
|
-
|
J u m l a
h
|
121 (88%)
|
17 (12%)
|
Fenomena
begitu mudahnya spesies daratan Sulawesi melakukan imigrasi ke Kepulauan
Banggai-Sula, dapat dilihat di Kepulauan Banggai-Sula dijumpai Gymnocrex
rosenbergii dan Mulleripicus fulvus. Dua spesies yang tidak pernah tersebar di luar
daratan Sulawesi, kecuali hanya pada beberapa pulau yang pernah tersambung dengan daratan
Sulawesi pada masa Pleistosen, dan terdapat sembilan
spesies daratan Sulawesi di Kepulauan Banggai-Sula yang tidak dapat melakukan
penerbangan jauh menyeberangi lautan: Synoicus
chinensis, Rallina
eurizonoides, Hypotaenidia torquatus, Hypotaenidia
philippensis, Amaurornis cinerea, Gallinula chloropus,
Gallinula tenebrosa dan Rostratula bengalensis. Sedangkan
spesies dari Kepulauan Maluku yang terdapat di Kepulauan Banggai-Sula merupakan
yang tersebar luas di pulau-pulau besar dan kecil di Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan Papua,
diantaranya merupakan supertramp.
Pola penyebaran dan spesiasi
Bila kita melihat gambar 3, pada saat air laut turun 100 mdpl hingga 200 mdpl dari ketinggiannya sekarang, pada masa pleistosen, terlihat daratan Kepulauan Banggai sangat
dekat dengan daratan Kepulauan Sula (bahkan mungkin pernah menyatu), dan Kepulauan Banggai-Sula hanya terdiri
dari dua pulau besar, sedangkan daratan Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud
tidak banyak berubah, hampir pada bentuknya sekarang, yang terdiri dari
pulau-pulau yang saling berjauhan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
spesies dan subspesies endemik Kepulauan Banggai-Sula banyak tersebar luas
di Kepulauan Banggai-Sula, dibanding penyebaran spesies dan
subspesies endemik Kepulauan Sangihe-Talaud di dalam kepulauan tersebut.
Gambar 3. Peta keadaan Pulau Sulawesi saat air laut turun 100 hingga
200 m pada zaman pleistosen.
|
Walaupun demikian, laut yang memisahkan
antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula cukup efektif menjadi penghalang
tersebarnya beberapa spesies tertentu. Selain tidak tersebar luas 12
spesies endemik dan 24 subspesies endemik
masing-masing di Kepulauan Banggai dan
Kepulauan Sula, juga 35 spesies daratan
Sulawesi yang terdapat di Kepulauan Banggai (di luar spesies endemik
Kepulauan Banggai), yaitu: Ducula bicolor, Ptilinopus temminckii,
Aerodramus vanikorensis, Chalcites minutillus, Cacomantis
merulinus, Surniculus musschenbroecki, Cuculus
crassirotris, Rallina
eurizonoides, Gymnocrex rosenbergii, Porphyrio porphyrio,
Gallinula chloropus, Ciconia episcopus, Ardea purpurea, Phalacrocorax sulcirostris, Anhinga melanogaster, Rostratula
bengalensis, Turnix maculosa, Tyto
rosenbergii, Pernis celebensis, Ictinaetus malaiensis, Accipiter griseiceps,
Alcedo meninting, Mulleripicus fulvus, Trichoglossus
ornatus, Coracina bicolor, Edolisoma obiensis, Lalage
leucopygialis, Artamus leucorhynchus, Cisticola juncidis, Cisticola exilis, Zosterops
chloris, Scissirostrum dubium, Aplonis
panayensis, Dicaeum aureolimbatum dan
Lonchura molucca tidak tersebar
ke Kepulauan Sula dan tiga
spesies Kepulauan Maluku terdapat
di Kep. Sula, yaitu: Amaurornis moluccana, Phylloscopus
poliocephalus dan Aplonis metalicca (tidak
termasuk Ceyx wallacii) tidak tersebar ke Kepulauan Banggai.
Dibandingkan
Kepulauan Banggai, Kepulauan Sula memiliki dua kali lipat jumlah spesies endemik.
Tingginya endemisitas spesies di Kepulauan Sula, karena Kepulauan ini lebih
terpencil dibanding Kepulauan Banggai.
Kepulauan
Banggai sangat dekat dengan daratan Sulawesi, sehingga spesies-spesies yang
melakukan imigrasi dari daratan Sulawesi ke Kepulauan Banggai lebih intens
terjadi. Populasi yang sebelumnya berhasil berimigrasi ke Kepulauan Banggai,
sering akan melakukan perkawinan dengan populasi yang datang berikutnya,
sehingga aliran gen (gene flow)
berjalan berkesinambungan, menyebabkan tidak terjadi spesiasi. Menurut Ridley (1991), dengan saling kawin
secara berkesinambungan antar individu suatu spesies, gen spesies tersebut akan
secara konstan beredar dari generasi ke generasi melalui anggota-anggota…Saling
kawin secara konstan dan aliran gen yang dihasilkannya mencegah spesies
bercabang. Fenomena ini dikenal juga “efek Penyelamatan” dalam biogeografi
pulau. Kondisi ini lebih menguntungkan bagi kelestarian spesies yang melakukan
imigrasi, karena mencegah terjadinya kepunahan bagi spesies tersebut.
Hal ini
diperkuat fakta, dari delapan spesies endemik Kepulauan Sula, tujuh spesies
diantaranya juga terdapat di daratan Sulawesi, dan satu di Kepulauan Maluku (Ceyx wallacii). Mungkin tujuh spesies
tersebut berasal dari daratan Sulawesi, terpencil dari populasi induk di
daratan Sulawesi, karena imigrasi tidak intens berlangsung dari daratan
Sulawesi ke Kepulauan Sula, sehingga aliran gen tidak berjalan berkesinambungan,
sehingga terjadi spesiasi. Demikian juga
terbentuknya spesiasi pada Ceyx wallacii,
karena terpencil dari populasi induk di Kepulauan Maluku.
Terjadinya turnover
Yang menarik mengenai pola penyebaran burung di Kepulauan
Banggai-Sula, terdapatnya empat spesies endemik Kepulauan Sula berkerabat dekat
dengan yang di daratan Sulawesi, tetapi tidak terdapat di Kepulauan Banggai,
yaitu: Tyto nigrobrunnea (berkerabat dengan Tyto
inexspectata), Trichoglossus flavoviridis (allopatrik Trichoglossus
meyeri), Coracina sula (berkerabat dengan Coracina morio) dan Streptocitta albertinae (berkerabat
dengan dua spesies Streptocitta di
daratan Sulawesi), dan terdapat 11 spesies lain
juga terdapat di daratan Sulawesi tetapi tidak terdapat di Kepulauan
Banggai, yaitu: Chalcophaps stephani, Hirundapus
celebensis, Gallinula tenebrosa, Ixobrichus
cinnamomeus, Elanus caeruleus, Circus assimilis (mungkin pengembara jarang), Zosterops montanus, Turdus
poliocephalus, Eumyias panayensis, Ficedula
westermanni dan Eythrura trichroa.
Jika
spesies-spesies terdapat di Kepulauan Sula tersebut berasal dari daratan
Sulawesi pasti tersebar melalui “jembatan darat” Kepulauan Banggai. Fakta ini
diperkuat hasil penelitian MacArthur dan Wilson (MacArthur et. al., 2001) terhadap penyebaran burung di Kepulauan Samoa
(kawasan Polynesia). Dari hasil penelitian tersebut, mereka menemukan fakta bahwa Kepulauan Samoa dihuni
spesies asli dari Melanesia timur. …..… kurang dari 15 dari 20 spesies asli
Samoa juga ditemukan di Pulau Futuna dan atau Wallis atau keduanya (pulau-pulau
antara Fiji dan Samoa). Dengan demikian kemungkinan spesies yang terdapat di Samoa
bersumber dari Futuna dan Willis
dibanding Pulau Fiji. Jadi Futuna dan Willis merupakan perpanjangan
tangan Fauna Melanesia timur, khususnya Fiji.
Timbul pertanyaan jika spesies-spesies
tersebut sampai ke Kepulauan Sula melalui kepulauan Banggai dari daratan
Sulawesi, mengapa saat ini tidak terdapat di Kepulauan Banggai?
Dalam teori
biogeografi pulau, dikenal istilah turnover.
Turnover menurut MacArthur and Wilson (2001) adalah proses
kepunahan beberapa spesies dan digantikan oleh spesies lain. Sedangkan menurut
Whittaker, et al. (2013) spesies
turnover adalah produk dari tingkat lawan spesies imigrasi untuk mengakhiri
kepunahan spesies dari sebuah pulau. Dimana tingkat ini tepat menyeimbangkan
membentuk keseimbangan dinamis, dengan kekayaan spesies tetap konstan sepanjang
waktu namun komposisi spesies terus berubah.
Dengan mengacu
pandangan tersebut nampaknya penyebab utama punahnya spesies tersebut karena
terjadinya proses turnover. Sekarang
timbul pertanyaan faktor apa yang menyebabkan terjadinya turnover terhadap
spesies-spesies tersebut?
Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan riwayat keberadaan Tyto
nigrobrunnea dan Trichoglossus flavoviridis di Kepulauan Sula. Mungkin
kedua spesies tersebut awalnya terdapat di
Kepulauan Banggai, tetapi karena adanya pesaing yang lebih kompetitif
dari daratan Sulawesi, sehingga keduanya terdesak beremigrasi keluar dari
Kepulauan Banggai menuju ke Kepulauan Sula, sehingga punah di Kepulauan
Banggai, atau awalnya populasi kedua spesies tersebut terdapat di Kepulauan
Banggai dan Kepulauan Sula, dan populasi di Kepulauan Banggai tidak mampu
berkompetisi dengan pesaingnya sehingga punah, sedangan populasi di Kepulauan
Sula dapat bertahan, karena tidak memiliki pesaing. Tyto nigrobrunnea punah di Kepulauan Banggai karena kalah
berkompetisi dengan Tyto rosenbergii.
Di daratan Sulawesi Tyto rosenbergii merupakan spesies sangat kompetitif dengan
pesaingnya dan sangat adaptif hidup di areal yang lebih bervariasi, termasuk di
tengah pemukiman. Sedangkan Tyto nigrobrunnea sama dengan kerabatnya
Tyto inexspectata (di daratan
Sulawesi) tidak kompetitif terhadap pesaingnya dan kurang adaptif dalam
menempati habitat, sehingga hidup terpencil di hutan primer dan sekunder tua. Trichoglossus flavoviridis punah dari Kepulauan Banggai karena terdesak kedatangan Trichoglossus
ornatus yang lebih kompetitif. Di daratan Sulawesi Trichoglossus
meyeri (spesies allopatrik dengan Trichoglossus flavoviridis),
hidup pada ketinggian di atas penyebaran Trichoglossus
ornatus, hingga di dataran tinggi, karena kalah bersaing dengan Trichoglosus ornatus. Hal ini terbukti,
di Pulau Taliabu Trichoglossus flavoviridis dapat
tersebar dari pesisir pantai hingga ke puncak tertinggi 1650 mdpl, karena di
pulau tersebut tidak terdapat Trichoglossus ornatus sebagai
pesaingnya. Mungkin fenomena ini juga terjadi pada spesies-spesies lain.
Misalnya antara Chalcophaps stephani di
Kepulauanan Sula dan Chalcophas indica di
Kepulauan Banggai, Gallinula
tenebrosa di Kepulauan Sula dan Gallinula chloropus di Kepulauan
Banggai, ataupun antara spesies yang berbeda tetapi memiliki kebutuhan
sumberdaya yang sama.
Selain karena
adanya kompetisi, faktor lain punahnya spesies-spesies tersebut adalah karena
terbatasnya sumberdaya yang dibutuhkan. Menurut Whittaker,
et al. (2013) dalam banyak kasus,
ketersediaan habitat dan stabilitas, dan koneksi makanan (dan ketersediaan berkelanjutan dari sumberdaya), yang lebih penting daripada kompetisi dalam menentukan
kepunahan. Pandangan tersebut nampaknya terjadi pada spesies-spesies
yang punah di Kepulauan Banggai, karena
terbatasnya tersedia sumberdaya yang dibutuhkan di Kepulauan Banggai.
Kepulauan Sula
memiliki ruang yang jauh lebih luas dan memiliki habitat yang lebih bervariasi
di banding Kepulauan Banggai. Sehingga populasi spesies di Kepulauan Sula dapat
mempertahankan dirinya, sedangkan
populasi di Kepulauan Banggai punah karena kematian atau populasi yang terdapat
di Kepulauan Banggai lebih tertarik meneruskan penyebarannya ke Kepulauan Sula,
yang lebih banyak menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan. Sebagai contoh di
daratan Sulawesi Eumyias panayensis hidup
pada ketinggian 850/2400 mdpl, Ficedula westermanni 780/2500 mdpl
dan Eyrhrura trichroa 1500/2300 mdpl. Kedua spesies disebut
pertama lebih umum dijumpai di atas ketinggian 1000 m. Dengan demikian saat
ketiga spesies tersebut melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai tidak menjumpai
habitat yang sesuai (karena habitat yang tersedia hanya pada areal sempit di
Kokolomboi setinggi 915 mdpl), sehingga meneruskan penyebarannya ke Kepulauan
Sula, yang memiliki areal luas berketinggian 900 mdpl ke atas hingga 1650 mdpl
di Pulau Taliabu. Dan secara umum spesies yang berimigrasi akan mencari pulau
yang lebih tinggi dan luas daripada pulau rendah dan tidak luas.
Fakta ini
diperkuat dari pandangan Whittaker et al.
(2001) bahwa skala untuk daerah dan isolasi (diuraikan
dengan gambar) harus bervariasi
antara taksa, sehingga, misalnya, zona radiasi (penyebaran) untuk taksa berbeda mungkin bertepatan
dengan kepulauan berbeda (gambar 18). Radiasi (penyebaran) tersebut,
namun, terbaik dicapai di pulau-pulau yang lebih tinggi, dan kepulauan pulau tersebut, dari pada di pulau-pulau
rendah atau pulau-pulau tinggi tunggal.
Pandangan
tersebut sangat sesuai dengan kondisi geomorfologi Kepulauan Banggai-Sula.
Taliabu merupakan pulau terluas dan tertinggi (1650 m) di Kepulauan
Banggai-Sula. Pulau Taliabu mempunyai
daratan berketinggian di atas 900 mdpl yang jauh lebih luas dari daratan Pulau
Peleng. Pulau Taliabu berkumpul dengan
Pulau Sanana dan Pulau Mangole yang memiliki daratan cukup tinggi dan luas,
sedangkan Pulau Peleng merupakan pulau tunggal, terletak diantara pulau
berukuran kecil. Kondisi Kepulauan Sula
demikian menurut pandangan tersebut juga menjadi daya tarik spesies burung tersebut beremigrasi dari daratan Sulawesi
atau Kepulauan Banggai ke Kepulauan Sula.
Menurut Whittaker, et al.
(2013) pola didokumentasikan termasuk aturan perkembangan, dimana pengkoloni
awal taksa menyebar dari pulau tua ke pulau-pulau muda, spesiasi setiap pada
gilirannya kembali melakukan kolonisasi (back-colonication),
dimana minoritas gerakkan terjadi dari
pulau muda kembali ke pulau-pulau tua,
atau bahkan ke benua yang keturunannya berasal………..” Fenomena
tersebut juga di jumpai Mayr et al.,
(2001) pada pola penyebaran burung-burung di Kepulauan Melanesia Utara.
Dari pandangan tersebut juga dapat diduga setelah populasi
spesies-spesies tersebut berimigrasi ke Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula.
Populasi yang terdapat di Kepulauan Banggai melakukan penyebaran kembali ke
daratan Sulawesi, karena kalah berkompetisi dengan pesaingnya atau tidak
tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan, atau faktor lain di Kepulauan Banggai.
Karena daratan Sulawesi dekat Pulau peleng, sehingga memudahkan spesies-spesies
tersebut menyebar kembali (back-colonication)
ke daratan Sulawesi. Sehingga populasinya punah di daratan Kepulauan Banggai,
sementara populasi di Kepulauan Sula, tidak kembali ke daratan Sulawesi, karena
daratan Sulawesi jaraknya lebih jauh, dan di Kepulauan Sula populasi tersebut
telah menemukan habitat yang cocok dan tidak mempunyai pesaing seperti di
Kepulanan Banggai.
Dari 148 spesies burung penetap Kepulauan Banggai-Sula
(setelah dihilangkan burung migran, burung laut dan introduksi), 125 spesies
terdapat di Kepulauan Banggai dan 108 di Kepulauan Sula. Kepulauan Banggai
mempunyai luas 3.160,46 km2, sedangkan Kepulauan Sula luas 9.632,91 km2.
Dalam teori biogeografi pulau, dalam kondisi normal semakin
besar ukuran pulau semakin mendukung lebih banyak spesies yang ada, karena
semakin bervariasi terdapat tipe habitat (faktanya habitat di Kepulauan Sula
lebih bervariasi dibanding Kepulauan Banggai).
Dari fakta tersebut di atas, terdapat suatu keanehan, mengapa
spesies Kepulauan Sula lebih sedikit dari Kepulauan Banggai? Mengingat
Kepulauan Sula lebih luas tiga kali lipat dari Kepulauan Banggai, dan Kepulauan
Sula memiliki tipe habitat lebih bervariasi. Kondisi ini menggambarkan fakta
bahwa:
-
Kepulauan Banggai,
khususnya Pulau Peleng sering menerima populasi spesies yang melakukan imigrasi
dari daratan Sulawesi.
-
Kepulauan Sula jarang
menerima imigrasi populasi spesies dari daratan Sulawesi, karena harus melalui
rintangan yang cukup banyak. Kurangnya imigrasi ini terjadi sejak masa
pleistosen hingga semakin jarang lagi pada masa paska pleistosen.
Menurut MacArthur dan
Wilson (MacArthur et al. 2001), bahwa
kedua tingkat imigrasi dan kepunahan bervariasi dengan jumlah spesies yang ada.
Tingkat imigrasi (pada spesies baru per satuan waktu) adalah kurva penurunan
karena semakin banyak spesies terbentuk…………Kurva kepunahan harus di sisi lain
meningkat, karena semakin banyak spesies yang ada, sehingga semakin banyak yang
akan punah. Semakin besar kemungkinan spesies tersebut akan punah karena ukuran
populasinya rata-rata lebih kecil yang bekerja baik, melalui kecelakaan
ekologis maupun genetik.
Menurut Mayr et al.
(2001), tingkat kepunahan meningkat dengan penurunan ukuran pulau. Dengan
demikian jika tingkat imigrasi rendah spesies akan menjadi terbatas.
Dari pandangan tersebut, kita dapat menganalisa banyaknya
spesies burung terdapat di Kepulauan Banggai, khususnya Pulau Peleng akan
menyebabkan rentannya punah pada beberapa spesies, karena populasi yang
terbentuk kecil, akibat terjadinya persaingan yang ketat dalam memperebutkan
sumberdaya yang terbatas. Fakta ini dapat kita lihat pada beberapa spesies
tertentu yang umum atau cukup umum di daratan Sulawesi, tetapi sangat sulit dijumpai
di Pulau Peleng, contoh Ducula bicolor,
Coracina bicolor, Locustella cf.
castaneus, Zosterops chloris dan Aplonis panayensis. Menurut del Hoyo et al. (2014), Mulleripicus
fulvus juga dijumpai di Pulau peleng. Hal ini didukung oleh laporan
masyarakat yang kadang menjumpainya di hutan. Selama dilakukan survei tidak
menjumpai spesies tersebut. Mungkin keberadaannya di Pulau Peleng jarang
dijumpai karena populasinya sangat kecil. Spesies ini tidak mampu beradaptasi
dengan kondisi sumberdaya yang tersedia atau kalah berkompetisi dengan pesaingnya
di Pulau Peleng, padahal di daratan Sulawesi spesies tersebut cukup umum
dijumpai.
Karena spesies yang terdapat di Kepulauan Sula lebih sedikit,
sedangkan daratannya sangat luas, sehingga populasi setiap spesies akan lebih
besar dibanding dengan populasi setiap spesies di Kepulauan Banggai, karena
persaingan terjadi tidak seketat di Kepulauan Sula. Bahkan mungkin masih ada niche yang tersisa di Kepulauan Sula,
yang memungkinkan masuknya imigrasi dari luar.
Fakta tersebut juga dapat menjelaskan mengapa 15
spesies Kepulauan Sula yang berasal dari daratan Sulawesi tidak terdapat di
Kepulauan Banggai.
Supertramp
Dalam penelitian
mengenai supertramp di Kepulauan Melanesia, Diamond (1973) membagi spesies
burung di Kepulauan Bismarch (New Britain dan pulau sekitarnya, termasuk
kelompok Vitiaz-Dampier) menjadi tiga ketegori, sesuai strategi penyebarannya:
1.
“spesies penetap”,
terbatas di pulau besar.
2.
“tramps”
tidak hanya terdapat pada pulau-pulau besar tetapi juga banyak terdapat pada
pulau-pulau kecil dan terpencil.
3.
“supertrams”,
sembilan spesies terbatas sebagai
penetap, terutama untuk pulau-pulau kecil dan hampir tidak ada penetap
(walaupun sering dicatat sebagai pengunjung jarang) dari pulau-pulau besar.
Penjelasan berikutnya terfokus pada
Supertramp dan tramp (kategori lain dari supertramp). Menurut Mayr and Diamond (2001), supertramp
adalah spesies penetap
berbiak yang tidak terdapat
pada pulau-pulau kaya-spesies atau pulau-pulau besar, tetapi terbatas hanya pada pulau-pulau miskin-spesies atau pulau-pulau kecil. Spesies ini
beradaptasi mengkoloni pulau-pulau perairan laut terpencil. Lebih lanjut mereka
menjelaskan bahwa supertramp cenderung memiliki potensi reproduksi yang tinggi
dan tolerasi pada habitat yang luas,
namun mempunyai kemampuan
bersaing rendah.
Dua spesies
yang terdapat di Kepulauan Banggai-Sula (Coloenas
nicobarica dan Monarcha cinerascens)
Mayr dan Diamond masukan spesies supertramp di Melanesia Utara. Di daratan
Sulawesi keduanya tidak dijumpai, tetapi tersebar luas di pulau-pulau sekitar
Sulawesi. Dengan demikian keduanya dapat dikategorikan supertramp daratan
Sulawesi. Selain kedua spesies tersebut, di Kepulauan Banggai-Sula terdapat
tiga spesies lain merupakan supertramp daratan Sulawesi, yaitu: Columba vitiensis, Pachycephala pectoralis dan
Pachycephala griseonota. Columba
vitiensis walaupun tercatat di daratan Sulawesi, tetapi hanya merupakan pengunjung
sangat jarang dari pulau-pulau disekitarnya saat mencari makan. Bahkan di Pulau
Peleng, spesies ini baru sekali dijumpai. Dengan demikian merupakan pengunjung
yang jarang ke Pulau Peleng. Sedangkan di Pulau Taliabu merupakan penghuni di atas
ketinggian 900 mdpl. Tetapi sejatinya burung ini merupakan penghuni pulau-pulau
kecil di Kepulauan Banggai-Sula. Kondisi ini mungkin disebabkan karena spesies
ini tidak mampu bersaing dengan spesies Columbidae lain di dataran rendah
Kepulauan Banggai-Sula.
Dua spesies
merpati supertramp yang tersebar luas dengan populasi tinggi di beberapa
pulau-pulau kecil di kawasan Sulawesi (Ducula
rosacea dan Ducula concinna)
tidak terdapat di Kepulauan Banggai-Sula. Mungkin disebabkan karena keduanya
tidak mampu bersaing dengan banyaknya spesies Ducula di Kepulauan ini.
Di Kepulauan
Banggai-Sula dijumpai tiga spesies yang mencirikan tramp atau mungkin supertramp,
tetapi tersebar di daratan Sulawesi, terutama di pegunungan, yaitu: Pitta
elegans, Myzomela chloroptera dan Turdus poliocephalus.
Di daratan Sulawesi, Pitta elegans hanya dijumpai jarang di Gunung Nokilalaki ketinggian
di atas 1500 mdpl (Mallo, 2015A) dan Cagar Alam Tangkoko-dua Sudara (Kakauhe,
kom. pribadi, 2018). Menurut Kakauhe, Pitta elegans pada 2016 di jumpai di
Tangkoko-Dua Sudara Agustus sampai awal Desember, tetapi 2017 tidak dijumpai. Diduga
spesies ini merupakan pengunjung jarang ke Cagar Alam Tangkoko-Dua Sudara di
luar musim berbiak dari pulau-pulau disekitarnya. Spesies ini cukup umum di pulau-pulau sekitar
Sulawesi. Di Kepulauan Banggai, lebih umum dijumpai pada pulau-pulau kecil
daripada di pulau-pulau besar.
Di daratan Sulawesi Myzomela chloroptera hanya dijumpai di atas ketinggian 900 mdpl.
Juga dijumpai di Kepulauan Taka Bonerate dan Kepulauan Banggai-Sula. Sedangkan Turdus
poliocephalus di daratan Sulawesi dijumpai terbatas di atas ketinggian 1500
mdpl, walaupun kadang juga diketinggian 440 m (pada hutan kerangas).
Mungkin ketiga
spesies tersebut masuk kategorikan tramp atau bentuk lain dari supertramp.
Menurut Diamond (1973) spesies tramp tidak hanya terdapat pada pulau-pulau
besar tetapi juga banyak terdapat pada pulau-pulau kecil dan terpencil. Menurut
Whittaker et al. (2001) spesies tramp tersebar lebih luas, yang ditemukan pada
frekuensi yang relatif tinggi di semua pulau kecuali pulau-pulau terkecil.…..Spesies
tramp terbatas pada habitat dataran rendah yang langka tidak ditemukan memiliki
perbedaan di luar tingkat subspesies. Hal ini dianggap sebagai indikasi
frekuensi penyebaran yang lebih besar yang diperlukan untuk mempertahankan
garis keturunan mereka dalam sistem tambalan habitat yang tersebar di seluruh
kepulauan. Menurut Diamond (1973),
supertramp mewakili ekstrim seleksi r
(seleksi untuk kemampuan penyebaran dan potensi reproduksi dengan mengorbankan
kemampuan kompetitif).
DAFTAR PUSTAKA
Coates, B.J. and Bishop, K.D.
1997. A Guide to the Bird of
Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
Coates, B.J. dan Bishop, K.D.
2000. Panduan Lapangan
Burung-burung di Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Terjemahan. Bogor. Birdlife-Indonesia
Programme dan Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.
2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.
2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume
2 Passerines. Lynx and Birdlife International.
Diamond, J.M., 1973. Colonization of Exploded Volcanic Islands by
Birds: The Supertramp Strategy. Science, Vol. 184.
Holmes,
D.A. dan K. Phillipps. 1999. Burung-Burung
di Sulawesi. Birdlife
International-Indonesia Programme dan Puslitbang Biologi-LIPI.
MacArthur, R.H. and Wilson E.
2001. The Theory of Island
Biogeography. Princeton University Press.
Mallo, F.N., Putra,
D.D., Rahman, A., Herlina dan Mallo
M.I. 2015. Gagak Banggai dan burung-burung di Kepulauan
Banggai-Sula. Bandung. Celebes Bird
Club (CBC) dan Program
Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran
Mallo, F.N. 2015A. Burung-burung di Taman Nasional Lore Lindu,
Catatan Ekologi, Konservasi dan Status Keberaadaan Jenis. Bandung. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu
Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran
Mallo,
F.N. 2017. Panduan Lapangan Burung-Burung
Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC).
Belum dipublikasikan.
Mayr, E. and Diamond, J.,
2001. The Bird of Northern Melanesia,
Speciation, Ecologi & Biogeography. Oxford University Press.
Monk,
K.A., Fretes, Y.D. and Lilley, G.R. 2000. Ekologi
Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta.
Ricklefs, R.E. 2010. Dynamics of Colonization and Extinction on Islands. Insights from
Lesser Antillean Birds. In The Theory of Island Bogeography, by Losos, J.B. and Rickefs, R.E. Princeton
University Press.
Satyana, A.H., 2016. Kontribusi Ekplorasi Hidrokarbon Dalam
Beberapa Pemikiran Baru Geodinamika Indonesia. Seminar Nasional Geologi
Indonesia.
Sompotan,
A.F., Struktur Geologi Sulawesi.
2012. Bandung. Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB).
Surono, 2015. The Geology of Sulawesi, in Geology of
Indonesia. Wikibooks.
Whittaker, R.J. and
Fernandes-Falacois, J.M. 2013. Island Biogeography, Ecology, Evolution, and
Conservation. Oxford University Press.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan
Enderson, G.S. 1987. Ekologi
Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar