Kamis, 15 Februari 2018

BIOGEOGRAFI BURUNG-BURUNG DI KEPULAUAN BANGGAI-SULA, SULAWESI

(Biogeography of birds in Banggai-Sula Islands, Sulawesi)
Oleh: Fachry Nur Mallo
Gambar 1.  Corvus unicolor, spesies endemik Kepulauan Banggai-Sula
LATAR BELAKANG GEOLOGI
Satyana (2007) mengidentifikasi lima peristiwa benturan di Indonesia yang membentuk atau mempengaruhi sejarah tektonik Indonesia sepanjang Kenozoikum. Salah satunya adalah terjadi dari 11-5 Ma (Miosen akhir-Pliosen paling awal) ketika mikro-kontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula membentur ofiolit Sulawesi Timur. Terjadinya benturan mikro-kontinen Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula ofiolit Sulawesi Timur, ketika mikro-kontinen ini terlepas dari Kepala Burung Papua dan bergerak ke barat oleh Sesar Sorong. Benturan ini telah membentuk jalur lipatan dan sesar Buton di selatan Sulawesi Timur dan Jalur Batui di daerah benturan Banggai dan Sulawesi Timur. Kedua benturan ini telah diikuti tectonic escapes pasca benturan dalam bentuk-bentuk  rotasi lengan-lengan Sulawesi, pembentukan sesar-sesar mendatar besar Palu-Koro, Kolaka, Lawanopo, Hamilton, Matano, dan Balantak, dan pembukaan Teluk Bone. Gerak sesar-sesar mendatar ini di beberapa tempat telah membuka cekungan-cekungan koyakan (pull-apart basin) akibat mekanisme trans-tensional seperti danau-danau Poso, Matano, Towuti juga Depresi Palu.

Menurut Surono (2015)  fragmen di wilayah Sulawesi, termasuk Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, Banggai-Sula dan Buton, diyakini telah diturunkan dari bagian benua Australia Utara. Mungkin memisahkan diri pada Jurassik dan pindah ke timur laut dengan posisi saat ini.  Di Sulawesi Tengah, Banggai-Sula dan dan Buton Microcontinents batuan metamorf membentuk basement cekungan Mesozoikum. Batuan ini secara tidak selaras ditindih oleh unit tebal batuan sendimen Mesozoikum, didominasi oleh batuan kapur di Buton dan batuan silisiklastik di Sulawesi Tenggara dan Banggai-Sula Microcontinent.
Kepulauan Banggai-Sula dikategorikan kepulauan benua; sebuah pulau atau kepulauan terpisah dari sebuah benua atau terrane, lalu menjauh dari massa benua asal.

BIOGEOGRAFI

Kepulauan Banggai-Sula merupakan sebuah kepulauan masih bagian dari sebuah benua sehingga memiliki perwakilan biota yang harmonis yang mencapai tempatnya sekarang, melalui jembatan darat (Monk, 2000).
Hal ini menyebabkan kepulauan ini memiliki jumlah spesies burung yang lebih banyak dibanding Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepulauan Sangihe-Talaud merupakan kepulauan samudera. Dengan demikian, kepulauan ini tidak pernah menyatu dengan  benua  atau daratan lain yang lebih besar sejak  pembentukannya,  sehingga  memiliki   perwakilan biota yang tidak harmonis (banyak kelompok hewan dan tumbuhan tidak terdapat di kepulauan tersebut). Tingginya spesies burung di Kepulauan Banggai-Sula, juga dipengaruhi ukuran daratan Kepulauan Banggai-Sula lebih luas dari Kepulauan Sangihe-Talaud dan letaknya lebih dekat dari daratan Sulawesi (sumber asal penyebaran spesies).
Sejak terpisah dari benua Australia ke arah mendekati Pulau Sulawesi, Kepulauan Banggai-Sula dalam jangka waktu cukup lama tidak pernah bersatu dengan daratan mana pun berukuran besar atau benua, termasuk Sulawesi. Hal ini menyebabkan tingginya endemisitas burung di kepulauan ini.  Dalam teori biogeografi semakin lama suatu pulau terpisah dari daratan induk, semakin banyak terjadi spesiasi di pulau tersebut.

Endemisitas

Kepulauan Banggai-Sula memiliki tingkat endemisitas burung tertinggi dari seluruh unit biogeografi di Sulawesi. Di Kepulauan Banggai-Sula terdapat 19 spesies burung endemik kepulauan ini; Megapodius bernsteinii, Ramphiculus subgularis, Ramphiculus mongoliensis, Tyto nigrobrunnea, Otus mendeni, Otus sulaensis, Ceyx wallacii, Trichoglossus flavoviridis, Loriculus sclateri, Erythropitta dohertyi, Coracina schistacea, Edolisoma sula, Corvus unicolor, Thapsinillas harterti, Thapsinillas longirostris, Basilornis galeatus,  Streptocitta  albertinaeGeokichla  mendeni  dan  Cyornis  colonus   (del Hoyo,   et al.,  2014), serta   terdapat   36 subspesies endemik kepulauan ini dari 26 spesies burung (lihat tabel 1).
Dari 19 spesies endemik kepulauan ini, empat spesies terbatas penyebarannya di Kepulauan Banggai, delapan spesies terbatas penyebarannya di Kepulauan Sula (lihat tabel 1) dan  tujuh  spesies  lain tersebar baik di Kepulauan Banggai maupun di Kepulauan Sula.
Pola serupa juga terlihat pada penyebaran subspesies endemik kepulauan  ini;  dari  36  subspesies   endemik   kepulauan    ini,   12 subspesies  diantaranya  terbatas  penyebarannya di  Kepulauan Banggai, 12 subspesies  terbatas  penyebarannya   di   Kepulauan  Sula, serta 12 subspesies tersebar baik di Kepulauan Banggai maupun di Kepulauan Sula.
Walaupun antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula memiliki perbedaan beberapa spesies endemik, tetapi perbedaan tersebut tidak sebesar antara Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud.  Untuk tingkat endemik subspesies perbedaan antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula lebih tinggi daripada antara Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud.
Kepulauan Banggai-Sula memiliki lebih banyak spesies endemik dibandingkan dengan Kepulauan Sangihe-Talaud. Tetapi Kepulauan Sangihe-Talaud memiliki lebih banyak spesies endemik yang khas, dibandingkan Kepulauan Banggai-Sula.  Bahkan terdapat satu endemik marga.

Tabel 1. Penyebaran spesies dan subspesies endemik, dan spesies penyebarannya terbatas Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula.


No.


Jenis

Kep. Banggai

Kep. Sula

Keterangan.
01.
Megapodius bernsteini
X
X
-
02.
Macropygia mboinensis
Albicapila
Sedecima
di Sulawesi marga albicapila juga terdapat di daratan Sulawesi, P. Muna, P. Buton & Kep. Wakatobi
03.
Ramphiculus subgularis
X
-
-
04.
Ramphiculus mongoliensis
-
X
-
05.
Ptilinopus melanospilus
Chrysorrhoa
Chrysorrhoa
-
06.
Caprimulgus celebensis
jungei ?
Jungei
-
07.
Hypotaenidia torquatus
Sulcirostris
Sulcirostris
-
08.
Amaurornis moluccana
-
-
di Sulawesi hanya terdapat di Kep. Sangihe-Talaud & Kep. Sula
09.
Turnix maculosa
Kinneari
-
-
10.
Tyto nigro-brunnea
-
X

11.
Tyto rosenbergii
Peligensis
-
-
12.
Otus mendeni
X
-

13.
Otus sulaensis
-
X

14.
Spilornis rufipectus
sulaensis
Sulaensis
-
15.
Accipiter rhodogaster
sulaen-sis
Sulaensis
-
16
Ceyx  wallacei
-
X

17.
Pelargopsis melanorhyncha
dichrorhyn-cha
eutreptor-hyncha

18.
Halcyon coromanda
pelengensis
Sulana

19.
Trichoglossus flavoviridis
-
X
-
20.
Loriculus sclateri
ruber
Sclateri
-
21.
Alisterus amboinensis
versicolor
Sulaensis
di Sulawesi hanya terdapat di Kep. Banggai-Sula. Tersebar dari Kep. Maluku
22.
Prioniturus platurus
Platurus
Cinerubris
di Sulawesi marga platurus juga terdapat di daratan Sulawesi, P. Togian, P. Muna & P. Buton
23.
Erythropitta dohertyi
X
X
-
24.
Pitta elegans
elegans ?
Elegans
di Sulawesi subjenis elegans adalah subjenis endemik Kep. Sangihe dan Kep. Sula
25.
Oriolus chinensis
strese-manni
Frontalis
-
26.
Pachycephala griseonota
lineola-ta?
lineola-ta
-
27.
Pachycephala pectoralis
peleng-ensis
Clio
-
28.
Coracina schistacea
X
X
-
29.
Edolisoma sula
X?
X
-
30.
Edolisoma obiensis
pelingi
-
-
31.
Dicrurus hottentottus
banggaiensis
Pectoralis

32.
Hypothymis puella
blasii
Blasii
-
33.
Corvus enca
celebensis
Mongoli
-
34.
Corvus unicolor
X
-
-
35.
Thapsinillas harterti
X
-
-
36.
Thapsinillas longilostris
-
X
-
37.
Zosterops atrifrons
subatrifrons
Sulaensis

38.
Basilornis galeatus
X
X
-
39.
Streptocitta albertinae
-
X
-
40.
Aplonis metallica
-
Metallica
di Sulawesi hanya terapat di Kep. Sula
41.
Aplonis mysolensis
-
-
Di Sulawesi hanya tersebar terbatas di Kep. Banggai-Sula dan timur Sulawesi
42.
Geokichla mendeni
X
X
-
43.
Cyornis colonus
pelingensis
Colonus
-
44.
Dicaeum celebecum
sulaensis
sulaen-sis
-
45.
Anthreptes malacensis
extremus
Extremus
-
  46.
Cinnyris jugularis
robustirostris
Robustirostris
-
47.
Rhipidura teysmanni
sulaensis?
Sulaensis
-
Keterangan:
Huruf tebal           : spesies dan subspesies endemik
X                             : tempat penyebaran.
Kepulauan Banggai-Sula memiliki sedikit spesies endemik yang khas. Banyak diantara spesies endemik di Kepulauan Banggai Sula, karena adanya allopatrik dan tidak memiliki marga endemik. Lebih banyaknya spesies yang khas di Kepulauan Sangihe-Talaud dari pada Kepulauan Banggai-Sula, membuktikan bahwa Kepulauan Sangihe-Talaud lebih lama terisolir di banding Kepulauan Banggai-Sula dan lebih sulit dijangkau oleh spesies yang melakukan imigrasi dari daratan di sekitarnya dari pada Kepulauan Banggai-Sula. 
 
Asal-usul spesies 

Sudah banyak diketahui, spesies burung di Kepulauan Banggai-Sula merupakan percampuran antara spesies daratan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, tetapi spesies daratan Sulawesi jauh lebih dominan di Kepulauan Banggai-Sula dibanding dari Kepulauan Maluku.
Dari 137 spesies burung penetap Kepulauan Banggai-Sula (setelah dikeluarkan spesies migran, introduksi dan melakukan aktifitas di laut, Columba vitiensis, Coloenas nicobarica, Ardea sumatranus, Egretta sacra, Coracina schistacea, Hirundo javanica, Basilornis galeatus dan Cyornis colonus)(lihat tabel 2), 121 spesies (88%) diantaranya  juga terdapat di daratan Sulawesi, sedangkan 17 spesies (12%) juga terdapat di  Kepulauan  Maluku.
Maka tak heran dalam pembagian biogeografi hewan, Kepulauan ini dimasukan dalam wilayah Sulawesi, walaupun secara administrasi Kepulauan Sula masuk dalam Provinsi Maluku Utara.
Hal ini menggambarkan bagaimana mudahnya spesies daratan Sulawesi melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai-Sula dan sulitnya spesies dari Kepulauan Maluku melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai-Sula. Walaupun Kepulauan Banggai-Sula tidak pernah menyatu dengan daratan Sulawesi, tetapi Pulau Peleng yang menjadi pintu masuk imigrasi spesies dari daratan Sulawesi ke Kepulauan Banggai-Sula sangat dekat jaraknya (mungkin  hanya 10-15 km) dari daratan Sulawesi. Sedangkan pulau-pulau utama di Kepulauan Maluku (terdekat Pulau Buru dan Obi), jaraknya lebih jauh dari Kepulauan Banggai-Sula, dengan dipisahkan laut yang sangat dalam. 
Arah angin barat laut/utara bertiup ke selatan sejajar dengan arah daratan Sulawesi ke Pulau Peleng, sehingga lebih memudahkan spesies melakukan imigrasi dari daratan Sulawesi ke Pulau Peleng. Sedangkan pulau-pulau besar di Kepulauan Maluku letaknya tidak sejajar arah angin dari pulau-pulau tersebut ke daratan Kepulauan Banggai-Sula, sehingga menyulitkan imigrasi spesies dari pulau-pulau tersebut ke Kepulauan Banggai-Sula.  Dalam penelitiannya terhadap burung-burung Melanesia Utara, Mayr et al. (2001) menemukan fakta besarnya pengaruh arah angin terhadap penyebaran burung di kawasan tersebut.

Tabel 2.  Perbandingan spesies   penetap Sulawesi dan Kepulauan Maluku di Kepulauan Banggai-Sula (dikeluarkan burung migran, burung introduksi, burung laut, Columba vitiensis, Coloenas nicobarica, Ardea sumatranus, Egretta sacra, Coracina schistacea, Hirundo javanica, Basilornis galeatus dan Cyornis colonus).


No


Jumlah spesies dalam Famili

Dari daratan Sulawesi


Dari Kep. Maluku


Keterangan
01.
Megapodidae
-
1
M. bernsteinii berkerabat dekat                             M. freicinet)
02
Phasianidae
1
-
-
03.
Anatidae
3
-
-
04.
Podicipedidae
1
-
-
05.
Columbidae
14
-
-
06.
Caprimulgidae
2
-
-
07.
Hemiprocnidae
1
-
-
08.
Apodidae
4
-
-
09.
Cuculidae
7
-
-
10.
Rallidae
9
1
-
11.
Ciconiidae
1
-
-
12.
Ardeidae
10
-
Tidak termasuk Ardea sumatrana & Egretta sacra
13.
Phalacrocoracidae
2
-
-
14.
Anhingidae
1
-
-
15.
Rostratulidae:
1
-
-
16.
Turnicidae
1
-
-
17.
Tytonidae
2

-
18.
Strigidae
2
-
Keduanya berkerabat dengan Otus manadensis
19.
Accipitridae
13
-
-
20.
Alcedididae
4
1
-
21.
Picidae
1
-
-
22.
Falconidae
1
-
-
23.
Psittacidae
4
2
-
24.
Pittide
1
1
-
25.
Meliphagidae
1
-
-
26.
Acanthizidae
1
-
-
27.
Oriolidae
1
-
-
28.
Pachycephali-dae
-
2
-
29.
Camphephagidae
3
1
Coracina schistacea tidak dimasukan, karena  tidak ada data hubungan kekerabatan
30.
Artamidae
2
-
-
31.
Rhipiduridae
1
-
-
32.
Dicruridae
1
-
-
33.
Monarchidae
1
1
-
34.
Corvidae
2
-
-
35.
Stenostiridae
1
-
-
36.
Cisticolidae
2
1
-
37.
Hirundinidae
-
-
H. javanica tidak dimasukan karena subjenis javanica tersebar luas di Andaman, Asia Tenggara, Philippina, Sunda Besar & Wallacea
38.
Pycnonotidae
-
2
-
39.
Phylloscopidae
-
1
-
40.
Scotocercidae
1
-
-
41.
Zosteropidae
3
-
-
42.
Sturnidae
3
2
Basilornis galeatus tidak dimasukan, karena tidak ada data berkerabat dekat                   B.  celebensis atau  B. corythaix
43.
Turdidae
2
-
-
44.
Muscicapidae
3
-
Cyornis colonus tidak dimasukkan, karena dianggap khas Kep. Bang-gai-Sula. Sikatanrimba (Jungle-flaycatcher) tidak tersebar di Malu-ku. Dengan demikian mungkin ter-sebar dari daratan Sulawesi, karena kerabatnya tersebar di Sunda Besar, Sunda Kecil, Philippina, dan ma-sing-masing satu spesies di  Pulau Nikobar dan tenggara Cina
45.
Dicaeidae
2
-
-
46.
Nectarinidae
2
1
-
47.
Estrildidae
3
-
-

J u m l a h


121 (88%)

17 (12%)


Fenomena begitu mudahnya spesies daratan Sulawesi melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai-Sula, dapat dilihat di Kepulauan Banggai-Sula dijumpai Gymnocrex rosenbergii dan Mulleripicus fulvus. Dua spesies yang tidak pernah tersebar di luar daratan Sulawesi, kecuali hanya pada beberapa pulau  yang pernah tersambung dengan daratan Sulawesi  pada  masa Pleistosen, dan terdapat sembilan spesies daratan Sulawesi di Kepulauan Banggai-Sula yang tidak dapat melakukan penerbangan jauh menyeberangi lautan: Synoicus chinensis, Rallina eurizonoides, Hypotaenidia torquatus, Hypotaenidia philippensis, Amaurornis cinerea, Gallinula chloropus, Gallinula tenebrosa dan  Rostratula bengalensis. Sedangkan spesies dari Kepulauan Maluku yang terdapat di Kepulauan Banggai-Sula merupakan yang tersebar luas di pulau-pulau besar dan kecil di  Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, diantaranya merupakan supertramp.


Pola penyebaran dan spesiasi

Bila kita melihat gambar 3, pada saat air laut turun 100 mdpl hingga 200 mdpl dari ketinggiannya sekarang, pada masa pleistosen, terlihat daratan Kepulauan Banggai sangat dekat dengan daratan Kepulauan Sula (bahkan mungkin pernah menyatu), dan Kepulauan Banggai-Sula hanya terdiri dari dua pulau besar, sedangkan daratan Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud tidak banyak berubah, hampir pada bentuknya sekarang, yang terdiri dari pulau-pulau yang saling berjauhan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa spesies dan subspesies endemik Kepulauan Banggai-Sula banyak tersebar luas di Kepulauan Banggai-Sula, dibanding penyebaran spesies dan subspesies endemik Kepulauan Sangihe-Talaud di dalam kepulauan tersebut.
Gambar 3.  Peta keadaan Pulau Sulawesi saat air laut turun 100 hingga
                   200 m pada zaman pleistosen.
Walaupun demikian, laut yang memisahkan antara Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula cukup efektif menjadi penghalang tersebarnya beberapa spesies tertentu. Selain tidak tersebar luas 12 spesies endemik dan 24 subspesies endemik masing-masing  di Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula, juga 35 spesies daratan  Sulawesi yang terdapat di Kepulauan Banggai (di luar spesies endemik Kepulauan Banggai), yaitu: Ducula bicolor, Ptilinopus temminckii, Aerodramus vanikorensis, Chalcites minutillus, Cacomantis merulinus, Surniculus musschenbroecki, Cuculus crassirotrisRallina eurizonoides, Gymnocrex rosenbergii, Porphyrio porphyrio, Gallinula chloropus, Ciconia episcopus, Ardea purpurea, Phalacrocorax sulcirostris, Anhinga melanogaster, Rostratula bengalensis, Turnix maculosa, Tyto rosenbergii, Pernis celebensis, Ictinaetus malaiensis, Accipiter griseiceps, Alcedo meninting, Mulleripicus fulvus, Trichoglossus ornatus, Coracina bicolor, Edolisoma obiensis, Lalage leucopygialis, Artamus  leucorhynchus, Cisticola juncidis, Cisticola exilis, Zosterops chloris, Scissirostrum dubium, Aplonis panayensis, Dicaeum aureolimbatum dan Lonchura molucca  tidak  tersebar  ke Kepulauan Sula dan tiga spesies  Kepulauan Maluku terdapat di Kep. Sula, yaitu: Amaurornis moluccana, Phylloscopus poliocephalus dan Aplonis metalicca (tidak termasuk Ceyx wallacii) tidak tersebar ke Kepulauan Banggai.
Dibandingkan Kepulauan Banggai, Kepulauan Sula memiliki dua kali lipat jumlah spesies endemik. Tingginya endemisitas spesies di Kepulauan Sula, karena Kepulauan ini lebih terpencil dibanding Kepulauan Banggai.
Kepulauan Banggai sangat dekat dengan daratan Sulawesi, sehingga spesies-spesies yang melakukan imigrasi dari daratan Sulawesi ke Kepulauan Banggai lebih intens terjadi. Populasi yang sebelumnya berhasil berimigrasi ke Kepulauan Banggai, sering akan melakukan perkawinan dengan populasi yang datang berikutnya, sehingga aliran gen (gene flow) berjalan berkesinambungan, menyebabkan tidak terjadi spesiasi.  Menurut Ridley (1991), dengan saling kawin secara berkesinambungan antar individu suatu spesies, gen spesies tersebut akan secara konstan beredar dari generasi ke generasi melalui anggota-anggota…Saling kawin secara konstan dan aliran gen yang dihasilkannya mencegah spesies bercabang. Fenomena ini dikenal juga “efek Penyelamatan” dalam biogeografi pulau. Kondisi ini lebih menguntungkan bagi kelestarian spesies yang melakukan imigrasi, karena mencegah terjadinya kepunahan bagi spesies tersebut.
Hal ini diperkuat fakta, dari delapan spesies endemik Kepulauan Sula, tujuh spesies diantaranya juga terdapat di daratan Sulawesi, dan satu di Kepulauan Maluku (Ceyx wallacii). Mungkin tujuh spesies tersebut berasal dari daratan Sulawesi, terpencil dari populasi induk di daratan Sulawesi, karena imigrasi tidak intens berlangsung dari daratan Sulawesi ke Kepulauan Sula, sehingga aliran gen tidak berjalan berkesinambungan, sehingga terjadi spesiasi.  Demikian juga terbentuknya spesiasi pada Ceyx wallacii, karena terpencil dari populasi induk di Kepulauan Maluku.

Terjadinya turnover

Yang menarik mengenai pola penyebaran burung di Kepulauan Banggai-Sula, terdapatnya empat spesies endemik Kepulauan Sula berkerabat dekat dengan yang di daratan Sulawesi, tetapi tidak terdapat di Kepulauan Banggai, yaitu: Tyto nigrobrunnea (berkerabat dengan Tyto inexspectata), Trichoglossus flavoviridis (allopatrik Trichoglossus meyeri), Coracina sula (berkerabat dengan Coracina morio) dan Streptocitta albertinae (berkerabat dengan dua spesies Streptocitta di daratan Sulawesi), dan terdapat 11 spesies lain  juga terdapat di daratan Sulawesi tetapi tidak terdapat di Kepulauan Banggai, yaitu: Chalcophaps stephani, Hirundapus celebensis, Gallinula tenebrosa, Ixobrichus cinnamomeus, Elanus caeruleus, Circus assimilis (mungkin pengembara jarang), Zosterops montanus, Turdus poliocephalus, Eumyias panayensis, Ficedula westermanni  dan Eythrura trichroa.
Jika spesies-spesies terdapat di Kepulauan Sula tersebut berasal dari daratan Sulawesi pasti tersebar melalui “jembatan darat” Kepulauan Banggai. Fakta ini diperkuat hasil penelitian MacArthur dan Wilson (MacArthur et. al., 2001) terhadap penyebaran burung di Kepulauan Samoa (kawasan Polynesia). Dari hasil penelitian tersebut, mereka  menemukan fakta bahwa Kepulauan Samoa dihuni spesies asli dari Melanesia timur. …..… kurang dari 15 dari 20 spesies asli Samoa juga ditemukan di Pulau Futuna dan atau Wallis atau keduanya (pulau-pulau antara Fiji dan Samoa). Dengan demikian kemungkinan spesies yang terdapat di Samoa bersumber dari Futuna dan Willis  dibanding  Pulau Fiji.  Jadi Futuna dan Willis merupakan perpanjangan tangan Fauna Melanesia timur, khususnya Fiji.
   Timbul pertanyaan jika spesies-spesies tersebut sampai ke Kepulauan Sula melalui kepulauan Banggai dari daratan Sulawesi, mengapa saat ini tidak terdapat di Kepulauan Banggai?    
Dalam teori biogeografi pulau, dikenal istilah turnover. Turnover menurut MacArthur and Wilson (2001) adalah proses kepunahan beberapa spesies dan digantikan oleh spesies lain. Sedangkan menurut Whittaker, et al. (2013) spesies turnover adalah produk dari tingkat lawan spesies imigrasi untuk mengakhiri kepunahan spesies dari sebuah pulau. Dimana tingkat ini tepat menyeimbangkan membentuk keseimbangan dinamis, dengan kekayaan spesies tetap konstan sepanjang waktu namun komposisi spesies terus berubah.
Dengan  mengacu pandangan tersebut nampaknya penyebab utama punahnya spesies tersebut karena terjadinya proses turnover.  Sekarang timbul pertanyaan faktor apa yang menyebabkan terjadinya turnover terhadap spesies-spesies tersebut?
Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan riwayat keberadaan Tyto nigrobrunnea dan Trichoglossus flavoviridis di Kepulauan Sula. Mungkin kedua spesies tersebut awalnya terdapat di  Kepulauan Banggai, tetapi karena adanya pesaing yang lebih kompetitif dari daratan Sulawesi, sehingga keduanya terdesak beremigrasi keluar dari Kepulauan Banggai menuju ke Kepulauan Sula, sehingga punah di Kepulauan Banggai, atau awalnya populasi kedua spesies tersebut terdapat di Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula, dan populasi di Kepulauan Banggai tidak mampu berkompetisi dengan pesaingnya sehingga punah, sedangan populasi di Kepulauan Sula dapat bertahan, karena tidak memiliki pesaing. Tyto nigrobrunnea punah di Kepulauan Banggai karena kalah berkompetisi dengan Tyto rosenbergii.  Di daratan Sulawesi Tyto rosenbergii merupakan spesies sangat kompetitif dengan pesaingnya dan sangat adaptif hidup di areal yang lebih bervariasi, termasuk di tengah pemukiman. Sedangkan Tyto nigrobrunnea sama dengan kerabatnya Tyto inexspectata (di daratan Sulawesi) tidak kompetitif terhadap pesaingnya dan kurang adaptif dalam menempati habitat, sehingga hidup terpencil di hutan primer dan sekunder tua. Trichoglossus flavoviridis punah dari Kepulauan Banggai karena terdesak kedatangan Trichoglossus ornatus yang lebih kompetitif. Di daratan Sulawesi Trichoglossus meyeri (spesies allopatrik dengan Trichoglossus flavoviridis), hidup pada ketinggian di atas penyebaran Trichoglossus ornatus, hingga di dataran tinggi, karena kalah bersaing dengan Trichoglosus ornatus. Hal ini terbukti, di Pulau Taliabu Trichoglossus flavoviridis dapat tersebar dari pesisir pantai hingga ke puncak tertinggi 1650 mdpl, karena di pulau tersebut tidak terdapat Trichoglossus ornatus sebagai pesaingnya. Mungkin fenomena ini juga terjadi pada spesies-spesies lain. Misalnya antara Chalcophaps stephani di Kepulauanan Sula dan Chalcophas indica di Kepulauan Banggai, Gallinula tenebrosa di Kepulauan Sula dan Gallinula chloropus di Kepulauan Banggai, ataupun antara spesies yang berbeda tetapi memiliki kebutuhan sumberdaya yang sama.
Selain karena adanya kompetisi, faktor lain punahnya spesies-spesies tersebut adalah karena terbatasnya sumberdaya yang dibutuhkan. Menurut Whittaker, et al. (2013) dalam banyak kasus, ketersediaan habitat dan stabilitas, dan koneksi makanan (dan ketersediaan  berkelanjutan dari sumberdaya), yang lebih penting  daripada kompetisi dalam menentukan kepunahan. Pandangan tersebut nampaknya terjadi pada spesies-spesies yang  punah di Kepulauan Banggai,  karena  terbatasnya tersedia sumberdaya yang dibutuhkan di Kepulauan Banggai.
Kepulauan Sula memiliki ruang yang jauh lebih luas dan memiliki habitat yang lebih bervariasi di banding Kepulauan Banggai. Sehingga populasi spesies di Kepulauan Sula dapat mempertahankan dirinya,  sedangkan populasi di Kepulauan Banggai punah karena kematian atau populasi yang terdapat di Kepulauan Banggai lebih tertarik meneruskan penyebarannya ke Kepulauan Sula, yang lebih banyak menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan. Sebagai contoh di daratan Sulawesi Eumyias panayensis hidup pada ketinggian 850/2400 mdpl, Ficedula westermanni  780/2500 mdpl  dan Eyrhrura trichroa 1500/2300 mdpl. Kedua spesies disebut pertama lebih umum dijumpai di atas ketinggian 1000 m. Dengan demikian saat ketiga spesies tersebut melakukan imigrasi ke Kepulauan Banggai tidak menjumpai habitat yang sesuai (karena habitat yang tersedia hanya pada areal sempit di Kokolomboi setinggi 915 mdpl), sehingga meneruskan penyebarannya ke Kepulauan Sula, yang memiliki areal luas berketinggian 900 mdpl ke atas hingga 1650 mdpl di Pulau Taliabu. Dan secara umum spesies yang berimigrasi akan mencari pulau yang lebih tinggi dan luas daripada pulau rendah dan tidak luas.
Fakta ini diperkuat dari pandangan Whittaker et al. (2001) bahwa  skala untuk daerah dan isolasi (diuraikan dengan gambar) harus bervariasi antara taksa, sehingga, misalnya, zona radiasi (penyebaran) untuk taksa berbeda mungkin bertepatan dengan kepulauan berbeda (gambar 18). Radiasi (penyebaran) tersebut, namun, terbaik dicapai di pulau-pulau yang lebih tinggi, dan kepulauan pulau tersebut, dari pada di pulau-pulau rendah atau pulau-pulau tinggi tunggal.
Pandangan tersebut sangat sesuai dengan kondisi geomorfologi Kepulauan Banggai-Sula. Taliabu merupakan pulau terluas dan tertinggi (1650 m) di Kepulauan Banggai-Sula.  Pulau Taliabu mempunyai daratan berketinggian di atas 900 mdpl yang jauh lebih luas dari daratan Pulau Peleng.  Pulau Taliabu berkumpul dengan Pulau Sanana dan Pulau Mangole yang memiliki daratan cukup tinggi dan luas, sedangkan Pulau Peleng merupakan pulau tunggal, terletak diantara pulau berukuran kecil.  Kondisi Kepulauan Sula demikian menurut pandangan tersebut juga menjadi daya tarik spesies burung  tersebut beremigrasi dari daratan Sulawesi atau Kepulauan Banggai ke Kepulauan Sula.
Menurut Whittaker, et al. (2013) pola didokumentasikan termasuk aturan perkembangan, dimana pengkoloni awal taksa menyebar dari pulau tua ke pulau-pulau muda, spesiasi setiap pada gilirannya kembali melakukan kolonisasi (back-colonication), dimana  minoritas gerakkan  terjadi dari  pulau muda kembali ke pulau-pulau tua,  atau bahkan  ke benua  yang keturunannya berasal………..” Fenomena tersebut juga di jumpai Mayr et al., (2001) pada pola penyebaran burung-burung di Kepulauan Melanesia Utara.
Dari pandangan tersebut juga dapat diduga setelah populasi spesies-spesies tersebut berimigrasi ke Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula. Populasi yang terdapat di Kepulauan Banggai melakukan penyebaran kembali ke daratan Sulawesi, karena kalah berkompetisi dengan pesaingnya atau tidak tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan, atau faktor lain di Kepulauan Banggai. Karena daratan Sulawesi dekat Pulau peleng, sehingga memudahkan spesies-spesies tersebut menyebar kembali (back-colonication) ke daratan Sulawesi. Sehingga populasinya punah di daratan Kepulauan Banggai, sementara populasi di Kepulauan Sula, tidak kembali ke daratan Sulawesi, karena daratan Sulawesi jaraknya lebih jauh, dan di Kepulauan Sula populasi tersebut telah menemukan habitat yang cocok dan tidak mempunyai pesaing seperti di Kepulanan Banggai.
Dari 148 spesies burung penetap Kepulauan Banggai-Sula (setelah dihilangkan burung migran, burung laut dan introduksi), 125 spesies terdapat di Kepulauan Banggai dan 108 di Kepulauan Sula. Kepulauan Banggai mempunyai luas 3.160,46 km2, sedangkan Kepulauan Sula luas 9.632,91 km2.
Dalam teori biogeografi pulau, dalam kondisi normal semakin besar ukuran pulau semakin mendukung lebih banyak spesies yang ada, karena semakin bervariasi terdapat tipe habitat (faktanya habitat di Kepulauan Sula lebih bervariasi dibanding Kepulauan Banggai).
Dari fakta tersebut di atas, terdapat suatu keanehan, mengapa spesies Kepulauan Sula lebih sedikit dari Kepulauan Banggai? Mengingat Kepulauan Sula lebih luas tiga kali lipat dari Kepulauan Banggai, dan Kepulauan Sula memiliki tipe habitat lebih bervariasi. Kondisi ini menggambarkan fakta bahwa:
-       Kepulauan Banggai, khususnya Pulau Peleng sering menerima populasi spesies yang melakukan imigrasi dari daratan Sulawesi.
-       Kepulauan Sula jarang menerima imigrasi populasi spesies dari daratan Sulawesi, karena harus melalui rintangan yang cukup banyak. Kurangnya imigrasi ini terjadi sejak masa pleistosen hingga semakin jarang lagi pada masa paska pleistosen. 
  Menurut MacArthur dan Wilson (MacArthur et al. 2001), bahwa kedua tingkat imigrasi dan kepunahan bervariasi dengan jumlah spesies yang ada. Tingkat imigrasi (pada spesies baru per satuan waktu) adalah kurva penurunan karena semakin banyak spesies terbentuk…………Kurva kepunahan harus di sisi lain meningkat, karena semakin banyak spesies yang ada, sehingga semakin banyak yang akan punah. Semakin besar kemungkinan spesies tersebut akan punah karena ukuran populasinya rata-rata lebih kecil yang bekerja baik, melalui kecelakaan ekologis maupun genetik.
Menurut Mayr et al. (2001), tingkat kepunahan meningkat dengan penurunan ukuran pulau. Dengan demikian jika tingkat imigrasi rendah spesies akan menjadi terbatas.
Dari pandangan tersebut, kita dapat menganalisa banyaknya spesies burung terdapat di Kepulauan Banggai, khususnya Pulau Peleng akan menyebabkan rentannya punah pada beberapa spesies, karena populasi yang terbentuk kecil, akibat terjadinya persaingan yang ketat dalam memperebutkan sumberdaya yang terbatas. Fakta ini dapat kita lihat pada beberapa spesies tertentu yang umum atau cukup umum di daratan Sulawesi, tetapi sangat sulit dijumpai di Pulau Peleng, contoh Ducula bicolor, Coracina bicolor, Locustella cf. castaneus, Zosterops chloris dan Aplonis panayensis.  Menurut del Hoyo et al. (2014), Mulleripicus fulvus juga dijumpai di Pulau peleng. Hal ini didukung oleh laporan masyarakat yang kadang menjumpainya di hutan. Selama dilakukan survei tidak menjumpai spesies tersebut. Mungkin keberadaannya di Pulau Peleng jarang dijumpai karena populasinya sangat kecil. Spesies ini tidak mampu beradaptasi dengan kondisi sumberdaya yang tersedia atau kalah berkompetisi dengan pesaingnya di Pulau Peleng, padahal di daratan Sulawesi spesies tersebut cukup umum dijumpai.
Karena spesies yang terdapat di Kepulauan Sula lebih sedikit, sedangkan daratannya sangat luas, sehingga populasi setiap spesies akan lebih besar dibanding dengan populasi setiap spesies di Kepulauan Banggai, karena persaingan terjadi tidak seketat di Kepulauan Sula. Bahkan mungkin masih ada niche yang tersisa di Kepulauan Sula, yang memungkinkan masuknya imigrasi dari luar.
Fakta tersebut juga dapat menjelaskan mengapa 15 spesies Kepulauan Sula yang berasal dari daratan Sulawesi tidak terdapat di Kepulauan Banggai.

Supertramp

Dalam penelitian mengenai supertramp di Kepulauan Melanesia, Diamond (1973) membagi spesies burung di Kepulauan Bismarch (New Britain dan pulau sekitarnya, termasuk kelompok Vitiaz-Dampier) menjadi tiga ketegori, sesuai strategi penyebarannya:
1.    spesies penetap”, terbatas di pulau besar.
2.    tramps” tidak hanya terdapat pada pulau-pulau besar tetapi juga banyak terdapat pada pulau-pulau kecil dan terpencil.
3.    supertrams”, sembilan spesies  terbatas sebagai penetap, terutama untuk pulau-pulau kecil dan hampir tidak ada penetap (walaupun sering dicatat sebagai pengunjung jarang) dari pulau-pulau besar.
   Penjelasan berikutnya terfokus pada Supertramp dan tramp (kategori lain dari supertramp). Menurut Mayr and Diamond (2001), supertramp adalah spesies penetap berbiak yang tidak terdapat pada pulau-pulau kaya-spesies atau pulau-pulau besar, tetapi terbatas hanya pada pulau-pulau miskin-spesies atau pulau-pulau kecil. Spesies ini beradaptasi mengkoloni pulau-pulau perairan laut terpencil. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa supertramp cenderung memiliki potensi reproduksi yang tinggi dan tolerasi pada habitat  yang  luas,  namun  mempunyai  kemampuan  bersaing rendah.
Dua spesies yang terdapat di Kepulauan Banggai-Sula (Coloenas nicobarica dan Monarcha cinerascens) Mayr dan Diamond masukan spesies supertramp di Melanesia Utara. Di daratan Sulawesi keduanya tidak dijumpai, tetapi tersebar luas di pulau-pulau sekitar Sulawesi. Dengan demikian keduanya dapat dikategorikan supertramp daratan Sulawesi. Selain kedua spesies tersebut, di Kepulauan Banggai-Sula terdapat tiga spesies lain merupakan supertramp daratan Sulawesi, yaitu: Columba vitiensis, Pachycephala pectoralis dan Pachycephala griseonota. Columba vitiensis walaupun tercatat di daratan Sulawesi, tetapi hanya merupakan pengunjung sangat jarang dari pulau-pulau disekitarnya saat mencari makan. Bahkan di Pulau Peleng, spesies ini baru sekali dijumpai. Dengan demikian merupakan pengunjung yang jarang ke Pulau Peleng. Sedangkan di Pulau Taliabu merupakan penghuni di atas ketinggian 900 mdpl. Tetapi sejatinya burung ini merupakan penghuni pulau-pulau kecil di Kepulauan Banggai-Sula. Kondisi ini mungkin disebabkan karena spesies ini tidak mampu bersaing dengan spesies Columbidae lain di dataran rendah Kepulauan Banggai-Sula.
Dua spesies merpati supertramp yang tersebar luas dengan populasi tinggi di beberapa pulau-pulau kecil di kawasan Sulawesi (Ducula rosacea dan Ducula concinna) tidak terdapat di Kepulauan Banggai-Sula. Mungkin disebabkan karena keduanya tidak mampu bersaing dengan banyaknya spesies Ducula di Kepulauan ini.
Di Kepulauan Banggai-Sula dijumpai tiga spesies yang mencirikan tramp atau  mungkin supertramp, tetapi tersebar di daratan Sulawesi, terutama di pegunungan, yaitu:  Pitta elegans, Myzomela chloroptera  dan Turdus poliocephalus.
Di daratan Sulawesi, Pitta elegans hanya dijumpai jarang di Gunung Nokilalaki ketinggian di atas 1500 mdpl (Mallo, 2015A) dan Cagar Alam Tangkoko-dua Sudara (Kakauhe, kom. pribadi, 2018).  Menurut Kakauhe, Pitta elegans pada 2016 di jumpai di Tangkoko-Dua Sudara Agustus sampai awal Desember, tetapi 2017 tidak dijumpai. Diduga spesies ini merupakan pengunjung jarang ke Cagar Alam Tangkoko-Dua Sudara di luar musim berbiak dari pulau-pulau disekitarnya.  Spesies ini cukup umum di pulau-pulau sekitar Sulawesi. Di Kepulauan Banggai, lebih umum dijumpai pada pulau-pulau kecil daripada di pulau-pulau besar.
Di daratan Sulawesi Myzomela chloroptera hanya dijumpai di atas ketinggian 900 mdpl. Juga dijumpai di Kepulauan Taka Bonerate dan Kepulauan Banggai-Sula.  Sedangkan Turdus poliocephalus di daratan Sulawesi dijumpai terbatas di atas ketinggian 1500 mdpl, walaupun kadang juga diketinggian 440 m (pada hutan kerangas).
Mungkin ketiga spesies tersebut masuk kategorikan tramp atau bentuk lain dari supertramp. Menurut Diamond (1973) spesies tramp tidak hanya terdapat pada pulau-pulau besar tetapi juga banyak terdapat pada pulau-pulau kecil dan terpencil. Menurut Whittaker et al. (2001) spesies tramp tersebar lebih luas, yang ditemukan pada frekuensi yang relatif tinggi di semua pulau kecuali pulau-pulau terkecil.…..Spesies tramp terbatas pada habitat dataran rendah yang langka tidak ditemukan memiliki perbedaan di luar tingkat subspesies. Hal ini dianggap sebagai indikasi frekuensi penyebaran yang lebih besar yang diperlukan untuk mempertahankan garis keturunan mereka dalam sistem tambalan habitat yang tersebar di seluruh kepulauan. Menurut Diamond (1973),  supertramp mewakili ekstrim seleksi r (seleksi untuk kemampuan penyebaran dan potensi reproduksi dengan mengorbankan kemampuan kompetitif).

DAFTAR PUSTAKA

Coates, B.J. and Bishop, K.D. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
Coates, B.J. dan Bishop, K.D. 2000. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Terjemahan. Bogor. Birdlife-Indonesia Programme dan Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2016. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 2 Passerines. Lynx and Birdlife International.
Diamond, J.M., 1973. Colonization of Exploded Volcanic Islands by Birds: The Supertramp Strategy. Science, Vol. 184.
Holmes, D.A. dan K. Phillipps. 1999. Burung-Burung di Sulawesi.  Birdlife International-Indonesia Programme dan Puslitbang Biologi-LIPI.
MacArthur, R.H. and Wilson E. 2001. The Theory of Island Biogeography.  Princeton University Press.
Mallo, F.N., Putra, D.D., Rahman, A., Herlina dan Mallo M.I. 2015. Gagak Banggai dan burung-burung di Kepulauan Banggai-Sula. Bandung. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran
Mallo, F.N. 2015A. Burung-burung di Taman Nasional Lore Lindu, Catatan Ekologi, Konservasi dan Status Keberaadaan Jenis. Bandung. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran
Mallo, F.N. 2017. Panduan Lapangan Burung-Burung Sulawesi. Celebes Bird Club (CBC). Belum dipublikasikan.
Mayr, E. and Diamond, J., 2001. The Bird of Northern Melanesia, Speciation, Ecologi & Biogeography. Oxford University Press.
Monk, K.A., Fretes, Y.D. and Lilley, G.R. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta.
 Ricklefs, R.E. 2010. Dynamics of Colonization and Extinction on Islands. Insights from Lesser Antillean Birds. In The Theory of Island Bogeography,  by Losos, J.B. and Rickefs, R.E. Princeton University Press.
Satyana, A.H., 2016. Kontribusi Ekplorasi Hidrokarbon Dalam Beberapa Pemikiran Baru Geodinamika Indonesia. Seminar Nasional Geologi Indonesia.
Sompotan, A.F., Struktur Geologi Sulawesi. 2012. Bandung. Perpustakaan Sains Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB).
Surono, 2015. The Geology of Sulawesi, in Geology of Indonesia. Wikibooks.
Whittaker, R.J. and Fernandes-Falacois, J.M.  2013. Island Biogeography, Ecology, Evolution, and Conservation. Oxford University Press.
Whitten, A.J., Mustafa, M. dan Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar