Minggu, 23 Desember 2018

ADAPTASI KAKATUA JAMBUL-KUNING (Cacatua sulphurea) DI LEMBAH PALU DAN PULAU PASOSO


Oleh  Fachry Nur Mallo
Gambar 1.  Sepasang Kakatua kecil jambul kuning di Pulau Pasoso
Pendahuluan
Kakatua Jambul Kuning tersebar terbatas di Sulawesi, Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil di Laut Flores. Diintroduksi ke tempat lain (del Hoyo,  et al.,  2014.). Di seluruh tempat penyebarannya semakin jarang dijumpai, sehingga saat ini sangat terancam puncah.  IUCN menetapkan status keterancamannya kategori kritis (critically endangered). Hal ini disebabkan semakin gencarnya perburuan yang dilakukan dan pengrusakkan habitatnya (Cahyadin, Y. dkk., 1994 dan Mallo, F.N., dkk., 1996).  Pada banyak tempat di Sulawesi telah punah secara lokal.
Merupakan penghuni hutan primer dan sekunder tua, di luar musim berbiak pengembara (nomadic) mengunjungi tempat-tempat terdapat tumbuhan berbuah, termasuk tanaman di lahan budidaya dan hutan mangrove berpasangan dan berkelompok kecil maupun besar. Sebagaimana anggota ordo Psittaciformes (nuri, serindit dan kakatua) saat berbiak membuat sarang dengan melobangi bagian batang pohon lunak lalu meletakkan dua hingga tiga telur di dalamnya. 

Lembah Palu merupakan kawasan kering dan tandus, vegetasi terbentuk berupa hutan monsoon.  Hutan monsoon dipengaruhi oleh kondisi iklim yang mempunyai curah hujan yang rendah, umumnya curah hujan kurang dari 100 mm yang jatuh rata-rata setiap bulan. Rendahnya curah hujan tersebut disebabkan karena lembah ini terletak pada sebuah daerah yang berada dalam bayangan hujan sepanjang tahun. Hutan monsoon mempunyai ciri-ciri dengan ditemukannya tumbuhan berukuran kerdil (semak-semakan), seperti Opuntia nigricans, Phyllantus emblica, Tabernae montana sp., Ournefortia angentea, menggugurkan daun; Salmalia malabarica, Pericopsis mooniara, Santalum album dan Kalaca pinnata, serta mencirikan areal kering seperti Acacia fernesiana, Draena sp., Tamarindus indica, Borassus flabellifer dan Corypha utan. Umumnya vegetasi hutan monsoon terdiri komunitas pohon dengan tajuk yang agak terbuka dan sederhana dan jarang dijumpai pohon berukuran besar.
Gambar 2.  Kondisi vegetasi di Lembah Palu dan sekitarnya.  Nampak pegunungan di sekitarnya tandus dan kering vegetasinya
Pulau Pasoso beserta perairan lautnya merupakan kawasan Suaka Margasatwa Laut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah  dengan  luas  kurang  lebih  5.000 ha,  dikhususkan  melindungi segala aktifitas  penyu  di tempat ini. Luas daratan Pulau Pasoso 49 ha.
Sebagian besar daratan Pulau Pasoso merupakan hutan tropis primer yang bercampur jenis tumbuhan pantai.  Hutan ini ini kondisinya masih relatif baik.  Pada vegetasi hutan ini didominasi Ficus spp., Diospyros sp., Alstonia sp., Dehaasia sp. Pada pesisir pantai juga ditumbuhi beberapa Sonneratia sp. mulai membentuk vegetasinya sendiri, tetapi vegetasi dominan adalah jenis tumbuhan Formasi Baringtonia, disamping jenis Formasi pescaparae, pada areal berpasir sempit di selatan (Sakada-BQD, 1991).
Gambar 3.  Peta Pulau Pasoso
Hasil pengamatan
Pada tahun 1996 dan 1999 telah dilakukan survei bekerjasama Birdlife-Indonesia Programme dan Sanggar Karya Pemuda-Bubalus Quarlesi Depressicornis (Sakada-BQD) status burung ini di Sulawesi Tengah dan khusus aspek ekologinya di Pulau Pasoso.  Masih rangkaian kegiatan ini penulis dan Harjun Arubamba (anggota Sakada-BQD) mendapat informasi dari masyarakat keberadaan burung ini di sungai mati Saluvou, Lembah Palu.  Informasi ini mengagetkan kami karena diketahui burung ini sudah lama tidak pernah dijumpai di Lembah Palu.
Pada 17 Nopember 1996 kami berdua mengunjungi tempat tersebut.  Setelah kurang lebih 30 menit kami menyusuri sungai mati Saluvou dikagetkan suara burung ini dari jarak cukup jauh. Kami mendekati perlahan-lahan ke arah suara. Dari kejauhan kami melihat tiga individu berada sekitar lima lobang sarang pada tebing tanah. Ketinggian sarang 6 m dari permukaan tanah; satu sarang berisi dua telur. Teksur tanah dijadikan sarang berupa tanah bercampur batu berukuran kecil. Di sekitar sarang tersebut terdapat sarang Tyto rosenbergii. Pada 9 Juni 1996 satu individu remaja penulis jumpai terbang dekat sarang.
Pada tanggal 9 September 1999 masih rangkaian kegiatan Sakada-BQD dan Birdlife-Indonesia Programme dilakukan survei populasi dan beberapa aspek ekologinya di Pulau Pasoso. Dari hasil survei diketahui populasinya 7-15 ekor. Pada survei tersebut ditemukan sarang lama pada pohon Alstonia sp. Survei terakhir dilakukan KPB Spilornis 2014 dan 2018 menunjukkan populasinya stabil. Umumnya burung ini lebih sering ditemukan pada bagian selatan dan tengah pulau, mungkin pada bagian tersebut lebih cocok bagi habitatnya atau tempat sumber makannya (Mallo, 2016).
Pembahasan
Penemuan sarang burung ini di Saluvou, Lembah Palu merupakan suatu yang mengejutkan, karena burung ini tidak pernah diketahui bersarang menggali tanah, tetapi hanya membuat lobang di pohon-pohon berukuran besar. Bahkan anggota Psittaciformes sangata jarang membuat sarang di tanah. Dengan demikian, hal ini merupakan penyimpangan dari perilakunya. Mungkin pilihan tebing tanah sebagai sarang sebagai respon tidak adanya lagi pohon-pohon berukuran besar yang memenuhi syarat dijadikan sarang.
Dari hasil pengamatan kondisi vegetasi di sekitar sarang berupa semak-semak di sepanjang sungai, didominasi Parkia sp. Opuntia nigricans, Phyllantus emblica, Tabernaemontana sp., dan “moma” (bahasa lokal), dia atas bukit vegetasi terbuka berupa rumput pendek (tidak terdapat imperata cylindrica), hanya terdapat satu pohon berukuran besar, menjadi tenggerannya saat terganggu di sarang.
Gambar 4.  Kondisi vegetasi dekat Saluvou.  Vegetasinya mirip dengan lokasi sarang
Kakatua kecil jambul kuning
Di Pulau Pasoso dijumpai populasi kecil.  Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan, diketahui populasi ini tidak ternah melakukan migrasi ke daratan Sulawesi, daratan terdekat maupun tempat lain. Dengan demikian populasi ini tidak pernah mengembara ke tempat lain mencari tumbuhan berbuah sebagaimana perilaku normalnya di luar musim berbiak. Hal ini mengindikasikan terjadi menyimpangan dari perilaku pengembara menjadi non pengembara saat di luar musim berbiak. Di daratan Sulawesi perilaku pengembara sangat penting bagi jenis-jenis burung frugivore berukuran sedang dan besar, termasuk Kakatua Jambul-kuning untuk menjaga kebutuhan makanannya.
Terjadinya penyimpangan perilaku ini mungkin terkait faktor sebagai berikut:
-  Kurang tertersedia pohon-pohon berukuran besar yang memenuhi syarat dijadikan sarang. Burung ini dalam menentukan pohon sarang ideal, bukan hanya terkait terpenuhinya kondisi fisik pohon (besarnya ukuran pohon, kemudahan membuat lobang, dll) tetapi juga terkait letak pohon harus aman dari gangguan predator dan manusia.  Mengingat saat menghuni sarang burung ini sangat peka terhadap gangguan. Karena sulitnya menemukan pohon sarang ideal, sehingga populasi di Saluvou memilih tebing tanah sebagai altenatif lain menggantikan pohon sarang.
-  Keberadaan populasi di Pulau Pasoso mungkin sebagai respon semakin sulitnya menemukan habitat ideal di daratan Sulawesi. Mengingat saat ini di seluruh daratan Sulawesi, habitanya mengalami gangguan karena penebangan pohon-pohon berukuran besar.  Selain itu juga karena faktor gencarnya penangkapan, sehingga mencari tempat aman dari gangguan manusia. Burung ini sangat diburu penangkap dan pedagang burung karena harganya sangat mahal di pasaran. Kedua faktor ini menyebabkan sehingga mendorong populasi yang tersisa hidup pada tempat-tempat terpencil, aman dari jangkauan perburuan manusia. Salah satu tempat yang aman adalah di Pulau Pasoso.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu selama penulis melakukan kunjungan ke Pulau Pasoso. Pertama-tama diucapkan terima kasih pada rekan-rekan di Sanggar Karya Pemuda-Bubalus Quarlessi Depresicornis (Sakada-BQD), Yayasan-BQD dan rekan-rekan Pencinta Alam SMAN 2 Palu (Pasmada) yang telah bersama-sama melakukan kegiatan survei ke Pulau Pasoso, Bapak Usman Lagadja beserta keluarga, Bapak Madjidal beserta keluarga, Kang Iwan Setiawan dan Christian Mawengko yang telah mengusahakan dan membantu proyek survei Cacatua sulphurea  di wilayah  Sulawesi  Tengah  dan  di  Pulau  Pasoso.  Serta semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu kami selama melakukan kegiatan survei dilapangan, terutama masyarakat Desa Pomolulu.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, P. dan Holmes, D.A. 1990. Sulawesi bird report. Kukila 5: Hal. 4-26.
Coates, B.J. and Bishop, K.D.. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
Coates, B.J. dan Bishop, K.D. 2000. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Terjemahan. Bogor. Birdlife-Indonesia Programme dan Dove Publication.
del Hoyo, J. and Collar, N.J.  2014. Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
Mallo, F.N., dan Setiawan, I. 1996. Telaah status Cacatua sulphurea sulphurea di Sulawesi Tengah. PHPA dan Birdlife-Indonesia Programme. Bogor.
Mallo, F.N., 1997. Jenis-Jenis Burung Yang Hidup di Pulau Pasoso dan Gugusan Pulau Genting Serta Bebrapa Aspek Ekologisnya. Palu. Sakada-BQD. Tidak dipublikasikan
Mallo, F.N., Alam, S., Harjun, dan Mawengko, C. 2000. Status Kakatua-kecil Jambul-Kuning C.s. sulphurea, di Pulau Pasoso, Sulawesi Tengah. Bogor. Yayasan BQD dan Birdlife-Intenational.
Sakada-BQD. 1991. Laporan Expedisi Sakda-BQD di Pulau Pasoso, Kec. Balaesang. Palu. Sakada-BQD.
Shannaz, J., Jepson, P. dan Rudyanto (penyunting). 1995. Burung-Burung Yang Terancam Punah di Indonesia. Bogor. Dep. Kehutanan dan Birdlife-Indonesia Programme.
White, C.M.N. and Bruce, M.D. 1996. The bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and Lesser Sunda Islands, Indonesia): an annotated checklist. London: British Ornithologist’ Union.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar