Oleh Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Sepasang Kakatua kecil jambul kuning di Pulau Pasoso |
Pendahuluan
Kakatua Jambul Kuning tersebar terbatas di
Sulawesi, Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil di Laut Flores. Diintroduksi ke
tempat lain (del Hoyo, et al., 2014.). Di seluruh tempat penyebarannya
semakin jarang dijumpai, sehingga saat ini sangat terancam puncah. IUCN menetapkan status keterancamannya
kategori kritis (critically endangered). Hal ini disebabkan semakin gencarnya
perburuan yang dilakukan dan pengrusakkan habitatnya (Cahyadin, Y. dkk., 1994
dan Mallo, F.N., dkk., 1996). Pada
banyak tempat di Sulawesi telah punah secara lokal.
Merupakan penghuni hutan primer dan
sekunder tua, di luar musim berbiak pengembara (nomadic) mengunjungi tempat-tempat terdapat tumbuhan berbuah,
termasuk tanaman di lahan budidaya dan hutan mangrove berpasangan dan berkelompok
kecil maupun besar. Sebagaimana anggota ordo Psittaciformes (nuri, serindit dan
kakatua) saat berbiak membuat sarang dengan melobangi bagian batang pohon lunak
lalu meletakkan dua hingga tiga telur di dalamnya.
Lembah Palu merupakan kawasan kering dan
tandus, vegetasi terbentuk berupa hutan monsoon. Hutan monsoon dipengaruhi oleh kondisi iklim
yang mempunyai curah hujan yang rendah, umumnya curah hujan kurang dari 100 mm
yang jatuh rata-rata setiap bulan. Rendahnya curah hujan tersebut disebabkan karena
lembah ini terletak pada sebuah daerah yang berada dalam bayangan hujan
sepanjang tahun. Hutan monsoon mempunyai ciri-ciri dengan ditemukannya tumbuhan
berukuran kerdil (semak-semakan), seperti Opuntia
nigricans, Phyllantus emblica, Tabernae montana sp., Ournefortia angentea, menggugurkan daun;
Salmalia malabarica, Pericopsis mooniara, Santalum album dan Kalaca pinnata, serta mencirikan areal kering seperti Acacia fernesiana, Draena sp., Tamarindus indica,
Borassus flabellifer dan Corypha utan. Umumnya vegetasi hutan
monsoon terdiri komunitas pohon dengan tajuk yang agak terbuka dan sederhana
dan jarang dijumpai pohon berukuran besar.
Gambar 2. Kondisi vegetasi di Lembah Palu dan sekitarnya. Nampak pegunungan di sekitarnya tandus dan kering vegetasinya |
Pulau Pasoso beserta perairan lautnya
merupakan kawasan Suaka Margasatwa Laut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah
dengan luas kurang
lebih 5.000 ha, dikhususkan
melindungi segala aktifitas
penyu di tempat ini. Luas daratan
Pulau Pasoso 49 ha.
Sebagian besar daratan Pulau Pasoso
merupakan hutan tropis primer yang bercampur jenis tumbuhan pantai. Hutan ini ini kondisinya masih relatif
baik. Pada vegetasi hutan ini didominasi
Ficus spp., Diospyros sp., Alstonia sp., Dehaasia sp. Pada pesisir pantai juga
ditumbuhi beberapa Sonneratia sp. mulai membentuk vegetasinya sendiri, tetapi
vegetasi dominan adalah jenis tumbuhan Formasi Baringtonia, disamping jenis
Formasi pescaparae, pada areal berpasir sempit di selatan (Sakada-BQD, 1991).
Gambar 3. Peta Pulau Pasoso |
Hasil
pengamatan
Pada tahun 1996 dan 1999 telah dilakukan
survei bekerjasama Birdlife-Indonesia Programme dan Sanggar Karya
Pemuda-Bubalus Quarlesi Depressicornis (Sakada-BQD) status burung ini di
Sulawesi Tengah dan khusus aspek ekologinya di Pulau Pasoso. Masih rangkaian kegiatan ini penulis dan
Harjun Arubamba (anggota Sakada-BQD) mendapat informasi dari masyarakat
keberadaan burung ini di sungai mati Saluvou, Lembah Palu. Informasi ini mengagetkan kami karena
diketahui burung ini sudah lama tidak pernah dijumpai di Lembah Palu.
Pada 17 Nopember 1996 kami berdua
mengunjungi tempat tersebut. Setelah
kurang lebih 30 menit kami menyusuri sungai mati Saluvou dikagetkan suara
burung ini dari jarak cukup jauh. Kami mendekati perlahan-lahan ke arah suara.
Dari kejauhan kami melihat tiga individu berada sekitar lima lobang sarang pada
tebing tanah. Ketinggian sarang 6 m dari permukaan tanah; satu sarang berisi
dua telur. Teksur tanah dijadikan sarang berupa tanah bercampur batu berukuran
kecil. Di sekitar sarang tersebut terdapat sarang Tyto rosenbergii. Pada 9 Juni
1996 satu individu remaja penulis jumpai terbang dekat sarang.
Pada tanggal 9 September 1999 masih
rangkaian kegiatan Sakada-BQD dan Birdlife-Indonesia Programme dilakukan survei
populasi dan beberapa aspek ekologinya di Pulau Pasoso. Dari hasil survei
diketahui populasinya 7-15 ekor. Pada survei tersebut ditemukan sarang lama
pada pohon Alstonia sp. Survei terakhir dilakukan KPB Spilornis 2014 dan 2018
menunjukkan populasinya stabil. Umumnya burung ini lebih sering ditemukan pada
bagian selatan dan tengah pulau, mungkin pada bagian tersebut lebih cocok bagi
habitatnya atau tempat sumber makannya (Mallo, 2016).
Pembahasan
Penemuan sarang burung ini di Saluvou,
Lembah Palu merupakan suatu yang mengejutkan, karena burung ini tidak pernah
diketahui bersarang menggali tanah, tetapi hanya membuat lobang di pohon-pohon
berukuran besar. Bahkan anggota Psittaciformes sangata jarang membuat sarang di
tanah. Dengan demikian, hal ini merupakan penyimpangan dari perilakunya.
Mungkin pilihan tebing tanah sebagai sarang sebagai respon tidak adanya lagi
pohon-pohon berukuran besar yang memenuhi syarat dijadikan sarang.
Dari hasil pengamatan kondisi vegetasi di
sekitar sarang berupa semak-semak di sepanjang sungai, didominasi Parkia sp.
Opuntia nigricans, Phyllantus emblica, Tabernaemontana sp., dan “moma” (bahasa
lokal), dia atas bukit vegetasi terbuka berupa rumput pendek (tidak terdapat
imperata cylindrica), hanya terdapat satu pohon berukuran besar, menjadi
tenggerannya saat terganggu di sarang.
Gambar 4. Kondisi vegetasi dekat Saluvou. Vegetasinya mirip dengan lokasi sarang Kakatua kecil jambul kuning |
Di Pulau Pasoso dijumpai populasi
kecil. Dari pengamatan dan wawancara
yang dilakukan, diketahui populasi ini tidak ternah melakukan migrasi ke
daratan Sulawesi, daratan terdekat maupun tempat lain. Dengan demikian populasi
ini tidak pernah mengembara ke tempat lain mencari tumbuhan berbuah sebagaimana
perilaku normalnya di luar musim berbiak. Hal ini mengindikasikan terjadi
menyimpangan dari perilaku pengembara menjadi non pengembara saat di luar musim
berbiak. Di daratan Sulawesi perilaku pengembara sangat penting bagi
jenis-jenis burung frugivore berukuran sedang dan besar, termasuk Kakatua
Jambul-kuning untuk menjaga kebutuhan makanannya.
Terjadinya penyimpangan perilaku ini
mungkin terkait faktor sebagai berikut:
- Kurang tertersedia pohon-pohon berukuran
besar yang memenuhi syarat dijadikan sarang. Burung ini dalam menentukan pohon
sarang ideal, bukan hanya terkait terpenuhinya kondisi fisik pohon (besarnya
ukuran pohon, kemudahan membuat lobang, dll) tetapi juga terkait letak pohon
harus aman dari gangguan predator dan manusia.
Mengingat saat menghuni sarang burung ini sangat peka terhadap gangguan.
Karena sulitnya menemukan pohon sarang ideal, sehingga populasi di Saluvou
memilih tebing tanah sebagai altenatif lain menggantikan pohon sarang.
- Keberadaan populasi di Pulau Pasoso mungkin
sebagai respon semakin sulitnya menemukan habitat ideal di daratan Sulawesi.
Mengingat saat ini di seluruh daratan Sulawesi, habitanya mengalami gangguan
karena penebangan pohon-pohon berukuran besar.
Selain itu juga karena faktor gencarnya penangkapan, sehingga mencari tempat
aman dari gangguan manusia. Burung ini sangat diburu penangkap dan pedagang
burung karena harganya sangat mahal di pasaran. Kedua faktor ini menyebabkan
sehingga mendorong populasi yang tersisa hidup pada tempat-tempat terpencil,
aman dari jangkauan perburuan manusia. Salah satu tempat yang aman adalah di
Pulau Pasoso.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut membantu selama penulis melakukan kunjungan ke
Pulau Pasoso. Pertama-tama diucapkan terima kasih pada rekan-rekan di Sanggar
Karya Pemuda-Bubalus Quarlessi Depresicornis (Sakada-BQD), Yayasan-BQD dan
rekan-rekan Pencinta Alam SMAN 2 Palu (Pasmada) yang telah bersama-sama
melakukan kegiatan survei ke Pulau Pasoso, Bapak Usman Lagadja beserta keluarga,
Bapak Madjidal beserta keluarga, Kang Iwan Setiawan dan Christian Mawengko yang
telah mengusahakan dan membantu proyek survei Cacatua sulphurea di wilayah
Sulawesi Tengah dan
di Pulau Pasoso.
Serta semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu kami selama melakukan kegiatan survei dilapangan, terutama
masyarakat Desa Pomolulu.
DAFTAR
PUSTAKA
Andrew,
P. dan Holmes, D.A. 1990. Sulawesi bird report. Kukila 5: Hal. 4-26.
Coates,
B.J. and Bishop, K.D.. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the
Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Alderley. Dove Publication.
Coates,
B.J. dan Bishop, K.D. 2000. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea
(Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Terjemahan. Bogor. Birdlife-Indonesia
Programme dan Dove Publication.
del
Hoyo, J. and Collar, N.J. 2014.
Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx
and Birdlife International.
Mallo,
F.N., dan Setiawan, I. 1996. Telaah status Cacatua sulphurea sulphurea di
Sulawesi Tengah. PHPA dan Birdlife-Indonesia Programme. Bogor.
Mallo,
F.N., 1997. Jenis-Jenis Burung Yang Hidup di Pulau Pasoso dan Gugusan Pulau
Genting Serta Bebrapa Aspek Ekologisnya. Palu. Sakada-BQD. Tidak dipublikasikan
Mallo,
F.N., Alam, S., Harjun, dan Mawengko, C. 2000. Status Kakatua-kecil
Jambul-Kuning C.s. sulphurea, di Pulau Pasoso, Sulawesi Tengah. Bogor. Yayasan
BQD dan Birdlife-Intenational.
Sakada-BQD.
1991. Laporan Expedisi Sakda-BQD di Pulau Pasoso, Kec. Balaesang. Palu.
Sakada-BQD.
Shannaz,
J., Jepson, P. dan Rudyanto (penyunting). 1995. Burung-Burung Yang Terancam
Punah di Indonesia. Bogor. Dep. Kehutanan dan Birdlife-Indonesia Programme.
White,
C.M.N. and Bruce, M.D. 1996. The bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and
Lesser Sunda Islands, Indonesia): an annotated checklist. London: British
Ornithologist’ Union.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar