Oleh : Fachry Nur
Mallo
Pendahuluan
Belantara Sulawesi
masih banyak menyimpan misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Salah
satunya adalah kehidupan avifaunanya. Jika kita melakukan perjalanan riset ke
pelosok-pelosok hutan, kita sering membawa pulang pertanyaan tentang kehidupan
avifaunanya. Apakah tentang ekologinya, penyebarannya yang menyimpang. Bahkan
yang menarik diantaranya belum diketahui jenisnya. Hal ini menyebabkan beberapa
tahun belakangan dijumpai jenis-jenis burung baru di kawasan ini.
Gambar 1. Sketsa Anis saya jumpai di hutan primer/sekunder tua Cagar Alam Morowali (sketsa saya buat tahun 2006) |
Keadaan itu juga
saya rasakan selama melakukan pengamatan dan riset avifauna di belantara
Sulawesi selama 29 tahun. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak di dalam pikiran
saya setelah pulang ke rumah, diantaranya hingga saat ini masih banyak belum
terjawab.
Salah satu misteri
terbesar yang saya rasakan adalah keberadaan sejenis anis di hutan primer dan
sekunder tua antara Rano dan Kayupolii dan Kea Kea, Cagar Alam Morowali, bagian
timur Sulawesi.
Kisah anis di
awali saat saya bersama Ilmudin melakukan survei status Cacatua sulphurea
di Cagar Alam Morowali, merupakan rangkaian kegiatan survei status burung
tersebut di Sulawesi Tengah, kerjasama antara Birdlife-International dan
Sakada-BQD.
Pada 24 Juli 1994,
setelah kami menginap semalam di rumah salah satu warga Suku Ta’a di Rano, Cagar
Alam Morowali, kurang lebih jam 07.00 kami melanjutkan perjalanan menuju
Kayupolii (salah satu pusat pemukiman suku Ta’a). Setelah memasuki hutan primer
(atau mungkin juga hutan sekunder tua) jam 09.25 saya melihat satu ekor burung
melintas terbang di depan saya, dari dalam semak dekat permukaan tanah atau
mungkin juga dari permukaan tanah lalu hinggap di dahan setinggi
2,5 m. Burung tersebut seukuran anis (Zoothera
spp).
Saya mengamati beberapa saat sebelum terbang menghilang.
Ciri
morfologisnya bagian punggung dan sayap hijau, kepala, leher, dada dan perut
coklat karat, bawah mata terdapat bintik putih, iris gelap, paruh kuning, kaki
kuning (khusus kaki berdasarkan ingatan saja).
Cukup lama saya baru
berhasil melakukan survei berburu burung ini sejak penemuan tersebut. Jika
tidak sempat ke lapangan, saya meminta bantuan masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas di sekitar Cagar Alam Morowali mencari dan menangkapnya,
tetapi tidak berhasil.
Saya tidak
memasukan burung ini dalam buku “Burung-Burung di Cagar Alam Morowali, catatan
ekologi, konservasi, status keberadaan jenis”, saya tulis bersama teman lain, mengingat
keyakinan saya terhadap keberadaan burung ini belum 100%, sehingga saya merasa
belum layak dipublikasi. Walaupun demikian saya merasa perlu hal ini di
informasikan kepada teman-teman, sebagai bahan informasikan jika melakukan
aktifitas di Cagar Alam Morowali, maka saya membuat tulisan ini diblog saya.
Saya sangat berharap
kelak mempunyai kesempatan melakukan survei kembali atau mengirimkan tim survei
mencari burung ini, tetapi saat ini dan kedepan kondisi saya kurang
memungkinkan melakukannya. Saya sangat mengharap bagi siapa saja yang melakukan
kegiatan survei atau pengamatan di Cagar Alam Morowali dapat meluangkan waktu
mencari informasi burung ini atau bahkan bisa memburunya, untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
Survei dilakukan
Kurun waktu antara
2007 hingga awal 2011, saat bertugas di
Kolonodale saya melakukan wawancara pada beberapa responden dan survei ke
beberapa lokasi mencari burung ini. Saya melakukan wawancara sekitar 50-an responden
yang sering melakukan aktifitas di hutan Cagar Alam Morowali, hutan-hutan sekitar
Teluk Tomori dan masyarakat Suku Wana’ yang berdiam di dalam kawasan Cagar Alam
Morowali. Salah satunya Pak Jenggo, Kepala Suku Wana.
Dari hasil
wawancara saya berhasil memperoleh informasi tempat dijumpai burung ini, yaitu
Kea Kea, Babulusa, sekitar Kayupolii, sekitar Rano (masuk dalam kawasan Cagar Alam Morowali),
Towi, Desa Ganda Ganda dan Desa Gililana,
Pada 2007 beberapa
responden di Desa Ganda Ganda menerangkan menjumpainya di hutan sekunder tua
Towi, diantaranya menjumpai belum lama (kurang lebih sebulan lalu). Saya langsung
memfokuskan mensurvei tempat ini karena cukup banyak responden melihatnya, dan
tempatnya mudah dijangkau dari rumah saya di Kolonodale. Saya intensif selama
tiga bulan melakukan pengamatan dan memasang lima hingga tujuh jaring kabut hampir setiap
hari. Tetapi saya tidak berhasil
menjumpainya, padahal saat memulainya saya sangat yakin akan berhasil menangkap
burung ini.
Setelah kegagalan
di Towi, saya mengevalusi kegiatan survei dan
hasilnya saya berkeyakinan burung ini tidak terdapat di tempat tersebut,
mungkin responden yang saya jumpai kurang akurat memberikan keterangan. Kegagalan
ini juga berdampak saya meragukan keberadaan burung ini, dan saya juga mulai
ragu pengamatan saat pertama kali menjumpai burung ini. Dengan pertimbangan
saat itu pengetahuan perburungan saya belum memadai, di lapangan saya masih
sering mengalami kesalahan mengidentifikasi beberapa jenis burung yang sulit
diidentifikasi, ditambah lagi semangat menemukan hal-hal baru di alam sangat
mengelora saat itu, sehingga saya khawatir akan dapat mempengaruhi obyektifitas
saya, tetapi saya juga yakin telah
mencatat dan membuat sketsa tanpa kesalahan. Karena situasi tersebut
sehingga saya memutuskan pencarian burung ini dihentikan.
Keyakinan saya mulai
timbul kembali beberapa tahun kemudian, walaupun tidak 100%, setelah saya
menjumpai beberapa resonden yang lebih layak dipercaya pada wawancara
berikutnya.
Saya mendapatkan informasi
keberadaannya dari dua atau tiga responden di hutan Desa Gililana, tetapi saya
tidak melakukannya survei ke desa ini karena akses yang sulit. Salah satu
tempat yang juga disebutkan responden adalah hutan sekunder tua Kea Kea. Pada Januari
29 dan 30 Januari 2011 saya mensurvei dua hari tempat ini, dan juga melakukan
wawancara. Tetapi saya tidak berhasil menjumpainya.
Pada akhir 2011
saya mendapatkan informasi dari Sahardin, pengamat burung tinggal di Desa
Lapangga (areal enclave Cagar Alam Morowali) bahwa penduduk Desa Lapangga
menjumpai burung ini di sungai kecil dekat Rano. Saya membiayai Sahardin dan
timnya melakukan survei di tempat tersebut. Survei dilakukan seminggu tetapi
tidak berhasil mendapatkan burung ini.
Diantara
responden, empat diantaranya menerangkan menemukan anis yang hampar mirip anis
saya cari, tetapi perutnya bergaris putih. Mereka menduga merupakan betina anis saya cari. Sehingga dalam perburuan selanjutnya saya
mencari kedua anis tersebut.
Hasil
dan Pembahasan
Hasil
Dari hasil
wawancara sebagian besar responden menerangkan pernah menjumpai burung ini,
tetapi sangat jarang. Sebagian kecil tidak pernah menjumpai. Bahkan diantara
mereka hanya pernah melihat sekali dalam seumur hidupnya. Tiga responden juga menerangkan
menjumpai beberapa kali saat berbuahnya satu jenis tumbuhan pohon, dan lebih
sering memakan buahnya dibanding buah tanaman lain.
Empat responden
menemukan sejenis anis mirip yang saya cari tetapi pada perutnya bergaris putih
(tanpa bintik putih dibawah mata); tiga diantaranya menerangkan merupakan betina
burung anis saya cari, kecuali satu responden (Ecil Tamalagi), biologiwan yang layak
dipercaya tidak dapat memastikan.
Dari hasil
wawancara juga di ketahui enam lokasi perjumpaan burung ini, yaitu; hutan Kea
Kea, hutan sekitar Babulusa, hutan sekitar Kayupolii, hutan sekitar Rano (masuk
kawasan Cagar Alam Morowali), hutan Towi, Desa Ganda Ganda dan Desa Koya.
Pembahasan
Saya menduga
burung ini merupakan nomadik sangat jarang dari satu tempat ke tempat lain di sekitarnya mencari makan, sehingga luput
dari para ornitolog masa lalu yang
intensif melakukan pengumpulan specimen di Sulawesi, termasuk Morowali. Hal
ini terbukti dari semua responden menjumpai burung ini, semuanya menerangkan sangat
jarang melihatnya. Dan, jenis makanan
utamannya spesifik berupa buah pohon tertentu.
Diantara responden
juga menerangkan telah menemukan sejenis anis perut bergaris putih, yang belum
pernah saya ketahui dideskripsi oleh siapapun. Anis perut bergaris putih ini
dijelaskan beberapa responden yang tidak saling mengenal, penjelasannya
mengenai burung ini sama, sehingga layak saya percaya sepenuhnya.
Mungkin antara
anis saya cari dan anis perut bergaris putih merupakan sepasang, tetapi hal ini
perlu pembuktian.
UCAPAN
TERIMA KASIH.
Penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu selama penulis melakukan survei.
Pertama-tama diucapkan terima kasih pada rekan-rekan di Sanggar Karya
Pemuda-Bubalus Quarlessi Depresicornis (Sakada-BQD), terutama Ilmudin yang
bersama-sama menelusuri belantara Cagar Alam Morowali; Kang Iwan Setiawan yang telah membantu
pengadaan proyek survei Cacatua sulphurea di Sulawesi Tengah sehingga
saya dapat melakukan perjalanan ke Cagar Alam Morowali; Bushaeri, Iman dan
Ilham (ketiganya staf Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Kolonodale) bersama-sama
melakukan suvei di Towi, Ganda-Ganda dan Kea Kea; Sahardin, selalu intens mengabari
informasi perjumpaan burung ini, dan bahkan telah melakukan survei di sekitar Rano;
Ecil Tamalagi, yang telah berbagi informasi dan meminjamkan jaring kabut; Pak
Janggo (Kepala Suku Wana) yang telah bermurah hati menyediakan rumahnya selama
survei. Serta semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu selama berlangsungnya survei, terutama masyarakat Suku
Ta’a, Desa Ganda Ganda, Desa Gililana dan Desa Koya.
Daftar Pustaka
Coates, B.J. and Bishop, K.D.. 1997. A Guide to the Bird of Wallacea
(Sulawesi, the Moluccas and the Lesser
Sunda Islands, Indonesia ). Alderley. Dove Publication.
Mallo, F.N., 1998. Pengamatan burung-burung di Cagar Alam
Morowali. Palu. Tidak
dipublikasikan
Mallo, F.N., 2014. Burung-Burung di Sulawesi
(Catatan ekologi, biogeografi, konservasi dan jenis teramati). Palu. Tidak dipublikasikan
Mallo, F.N., Putra, D.S.,
Rahman, A., Mallo, M.I.N., dan Sahardin, 2016. Burung-Burung di Cagar Alam Morowali, catatan ekologi, konservasi,
status keberadaan jenis. Bandung . Celebes Bird
Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas
Padjadjaran.
White, C.M.N. and Bruce, M.D.
1996. The bird of Wallacea
(Sulawesi, the Moluccas and Lesser
Sunda Islands , Indonesia ):
an annotated checklist. London : British Ornithologist’ Union .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar