(Birds Note in Palu Valley, Central Sulawesi)
Oleh Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Foto Merops philippinus di dekat Kampus Untad |
PENDAHULUAN
Geologi, Geomorfologi dan iklim
Lembah Palu merupakan
sebuah lembah yang membentang cukup luas memanjang dari arah Selatan menuju ke
bagian Utara di jantung Sulawesi. Dari
Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Dolo dan Kecamatan Maravola pada bagian
selatan, hingga Kecamatan Sindue pada Bagian Utara.
Lembah ini terletak tepat di atas sesar Palu-Koro, sesar utama Sulawesi yang memanjang dari Teluk Bone membelah bagian tengah Sulawesi hingga Laut Sulawesi. Sesar ini merupakan salah satu sesar sangat aktif di Indonesia. Hal ini menyebabkan aktivitas vulkanis sering terjadi di lembah ini. Dari seluruh tempat sepanjang sesar ini, penduduk yang menghuni Lembah Palu yang paling menderita, karena sering mengalami bencana vulkanis akibat pergerakan sesar ini. Masih terbayang diingatan kita pada September 2018 lalu, akibat aktivitas sesar ini memicu terjadinya tsunami, likuifaksi dan tanah longsor di Kota Palu dan sekitarnya yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia.
Karena posisinya demikian, sehingga geomorfologis Lembah Palu mempunyai ciri-ciri adanya pegununungan tinggi di sekitarnya. Pada bagian sisi barat dan timur lembah ini relatif lebih sempit karena adanya pegunungan di kedua sisinya yang mengapit. Pada bagian barat lembah ini dibentengi Pegunungan Gawalise. Di pegunungan ini terdapat gunung-gunung yang tinggi, seperti: Gunung Gawalise (2032 m), Gunung Loli (1015 m), Gunung Wanja (1689 m). Pada bagian timur gunung-gunung relatif lebih rendah ketinggiannya, seperti Gunung Boseh (1.127 m) dan Gunung Pombelikari (1.005 m).
Gambar 2. Peta Lembah Palu. Batas-batas Lembah Palu berdasarkan sebaran hutan monsoon dan areal ekoton hutan tropis dan hutan monsson |
Adanya pegunungan yang
tinggi disisi barat menjadi pemisah lembah ini dengan perairan laut di sekitarnya. Hal ini menyebabkan lembah ini menerima sedikit
curah hujan setiap musim hujan,
karena posisinya terletak di lembah yang berada dalam bayangan hujan sepanjang
tahun. Menurut Whitten et al. (1987) secara umum diketahui
bahwa di wilayah-wilayah yang deretan pegunungannya mempunyai arah yang sedikit
banyak tegak lurus dengan arah angin, maka curah hujan pada sisi arah
bertiupnya angin lebih tinggi daripada deretan pegunungan sesuai dengan arah
bertiupnya angin. Hal ini menyebabkan di sisi turunnya angin di semenanjung itu
hanya sedikit menerima hujan. Sifat
terlindung pantai barat bagian tengah menyebabkan Lembah Palu menjadi wilayah
yang mempunyai curah hujan yang rendah. Karena terletak di daerah bayangan hujan menyebabkan Lembah Palu
mempunyai curah hujan kurang dari 100 mm yang jatuh rata-rata setiap bulan, dan
merupakan wilayah yang paling kering, dan paling rendah curah hujannya di
Indonesia. Lembah Palu merupakan satu-satunya tempat di Sulawesi dengan tipe
curah hujan H menurut Schmidt dan Ferguson (Whitten et al. 1987).
Batas-batas Lembah Palu
tidak dapat dipastikan secara jelas, tetapi areal-areal yang termasuk kawasan
ini dapat juga ditandai dengan adanya vegetasi hutan monsoon atau hutan tropis
yang masih dipengaruhi oleh tumbuhan hutan monsoon di sekitar lembah tersebut
(areal ekoton).
Vegetasi
Dampak rendahnya curah
hujan di Lembah Palu menyebabkan vegetasinya dominan berupa hutan monsoon. Lembah ini merupakan satu-satunya kawasan di Sulawesi yang mempunyai vegetasi
hutan monsoon yang luas. Hal ini menjadikan
vegetasinya sangat khas di Sulawesi.
Tentunya hal ini berdampak terhadap komposisi jenis burung menghuni
lembah ini juga khas, yang berbeda dengan tempat lainnya di Sulawesi.
Hutan monsoon di Lembah Palu mempunyai jenis-jenis tumbuhan khas, yang
mencirikan jenis-jenis tumbuhan di areal yang kering, seperti: Acacia fernesiana, Parkia sp., Draena
sp., Kalancha pinnata, Tamarindus indica dan Opuntia nigricans.
Hutan ini terdiri atas komunitas pohon dengan tajuk agak terbuka dan sederhana, yang sebagian besar berupa jenis-jenis pohon yang mengugurkan daun-daunnya (Whitten et al. 1987), salah satunya jenisnya adalah Salmalia malabarica, Pericopsis mooniara, Santalum album, Melaleuca sp. Selain jenis-jenis tumbuhan tersebut, ada beberapa jenis tumbuhan lainnya yang umum di Lembah Palu, yaitu Morinda tinctoria, Phyllantus emblica, moma (bahasa kaili); sejenis tumbuhan semak yang memiliki buah bila masak berwarna merah, Tectona grandis, Temonius sericeus, Garuga floribunda, dua jenis palma kipas besar, yaitu: Borassus flabellifer dan Corypha utan. Sedangkan pada areal padang rumput di lembah ini terdiri atas rumput-rumput kecil seperti Tephrosia sp., Imperata cylindrica, Althenathera sp., dan Caltropis gigantea.
Gambar 3. Vegetasi hutan monsson di Lembah Palu |
Walaupun Lembah Palu
merupakan kawasan kering dan tandus, tetapi di beberapa tempat di lembah ini
dapat ditemukan kawasan dengan kondisi tanah yang basah dan subur. Tempat
seperti ini umumnya terdapat di bagian selatan, yaitu wilayah Kecamatan Dolo,
Biromaru dan Maravola. Hal ini
disebabkan karena adanya irigasi dari bendungan Gumbasa pada Sungai palu yang
selalu membasahi sepanjang tahun tempat-tempat tersebut. Serta beberapa
sungai kecil seperti Sungai paneki, Sungai Oloboju, dll. yang mengalir di
tempat tersebut. Di kawasan ini kondisi
pertanian dan perkebunan sangat subur.
Sejarah pengamatan burung dan pengumpulan data
Kehidupan burung di
Lembah Palu sangat jarang diketahui, akibat jarangnya dilakukan penelitian dan
pengamatan. Kegiatan yang selama ini pernah dilakukan hanya berupa pengamatan-pengamatan
yang dilakukan perorangan, diantaranya Dick Watling, Ben King, David Bishop dan
Derek Holmes. Derek Holmes telah melakukan pengamatan pada 1978, 1979, 1988,
1981, 1991, 1995 dan 1997. Penulis aktif melakukan
pengamatan sejak tahun 1992 s/d 2016, selanjutnya juga aktif melakukan
pengamatan sejak 2000 hingga sekarang Dadang Dwi Putra, Abdul Rahman, Herlina dari CBC dan Nurlin Djuni, dan
pada 2010 hingga sekarang Moh. Ihsan Nur Mallo bersama KPB Spilornis.
Pada tahun 1996 penulis
menulis sebuah paper mengenai burung di Lembah Palu, dari hasil catatan
penulis, ditambah semua catatan Derek Holmes, dan beberapa catatan pengamat
lain, dan berhasil terdata 187 jenis burung menghuni Lembah Palu (Mallo 1996).
Sejak diterbitkan paper tersebut, selanjutnya penulis, Moh. Ihsan Nur Mallo/KPB
Spilornis menemukan banyak jenis baru tercatat. Terakhir awal
tahun ini KPB Spilornis menemukan Ploceus
manyar di Dolo. Dari hasil pendataan tersebut telah
berhasil terdata 210 jenis burung di lembah ini. Jumlah ini merupakan
urutan keempat terbanyak di Wallacea, setelah Cagar Alam Morowali terdapat 285
jenis (Mallo dkk. 2015), Taman Lore Lindu 270 jenis (Mallo 2015) dan Kepulauan
Banggai-Sula 229 jenis (Mallo dkk, 2018).
Pada awal tahun 2020
Moh. Ihsan Nur Mallo telah menulis buku “Burung di Lembah Palu”, yang saat ini
masih dalam persiapan. Buku ini merupakan pengembangan dari paper yang penulis
tulis, dan telah mengulas lebih detail jenis burung di Lembah Palu.
BURUNG LEMBAH PALU
Jenis burung
Habitat burung di Lembah Palu bervariasi, mulai dari perairan laut, pesisir pantai berlumpur, tambak garam, hutan mangrove, huntan monsoon, padang rumput, hutan tropis primer, hutan sekunder, areal lahan basah daratan (sungai besar dan kecil, dan areal persawahan). Bervariasinya habitat burung di Lembah Palu menyebabkan lembah ini cukup banyak dihuni oleh jenis burung.
Gambar 4. Streptopelia tranquebarica di dekat Kampus Untad |
Gambar 5. Foto Geopelia striata di Kampus Untad |
Jenis migran yang mengunjungi Lembah Palu berjumlah 51 jenis, sebagian besar jenis burung pantai (34 jenis). Jumlah ini tidak termasuk tiga jenis migran tetapi terdapat juga ras penetap (Ixobrychus sinensis, Egretta garzetta dan Alcedo atthis).
Gambar 6. Foto sarang Merops philippinus di Kelurahan Talise |
Dari 210 jenis burung di Lembah Palu, diantaranya 137 jenis burung darat dan 71 jenis burung air, dan empat jenis melakukan aktifitas di darat dan air (Haliastur indus, Haliaeetus leucogaster, Todiramphus chloris dan Todiramphus sanctus). Diantara burung air tersebut 29 burung rawa, 34 jenis burung pantai, dan delapan jenis burung laut.
Gambar 7. Foto Lonchura pallida di Pantai Talise |
Diantara burung darat sebagian besar (76 jenis) merupakan penghuni areal terbuka atau sebagian melakukan aktifitas di areal terbuka. Dan hampir seluruhnya dengan populasi melimpah hingga umum, sedangkan burung penghuni hutan/bukan areal terbuka selain jumlah jenisnya lebih sedikit dari jenis penghuni areal terbuka juga sebagian besar populasinya sedikit. Hal ini menggambarkan bahwa vegetasi dominan di Lembah Palu berupa areal terbuka dan padang rumput. Kondisi ini memang wajar karena tipe hutannya adalah hutan monsoon yang bersifat tandus, kering dan terbuka.
Gambar 8. Foto Cynniris jugularis di Kelurahan Mamboro |
Komposisi jenis dan
populasi burung yang demikian membuat Lembah Palu merupakan kawasan yang sangat
khas jenis burungnya, yang berbeda dengan
di kawasan lain di Sulawesi. Jika
kita melakukan pengamatan di areal hutan monsoon akan terasa suasananya seperti
di sabana Afrika, atau di Nusa Tenggara Timur. Pemandangan yang
umumnya kita adalah umum hingga melimpah Streptopelia
tranquebarica, Spilopelia chinensis, Geopelia
striata, Chalcophaps indica, Caprimulgus affinis, Collocalia esculenta, Aerodramus infuscatus, Aerodramus vanicorensis, Cypsiurus balasiensis, Chalcites minutillus, Cacomantis variolosus, Turnix suscitator, Tyto rosenbergii, Merops
philippinus, Todiramphus chloris,
Gerygone sulphurea, Lalage sueurii, Artamus leucoryn, Corvus enca,
Cisticola spp., Hirundo spp., Pycnonotus
aurigaster, Zosterops chloris, Trichastoma celebense, Aplonis panayensis, Saxicola caprata, Lonchura spp. Passer
montanus dan Motacilla spp., dan
agak umum Gallus gallus, Turacoena manadensis, Ducula aenea, Circus
assimilis, Milvus migrans, Apus pasificus, Centropus bengalensis, Falco
moluccensis, Coracina leucopygia
dan Acrocephalus australis.
Jenis burung penghuni
hutan hanya dijumpai terbatas pada areal ekoton antara hutan tropis primer dan
hutan monsoon di bukit-bukit sekitar Lembah Palu, dan areal yang dialiri sungai
di pusat lembah, seperti di Sungai Palu, Sungai Tawaeli, Sungai Oloboju, Sungai
Poboya, Sungai Paneki dan Sungai Taipa. Di areal ini umum dijumpai Macropygia amboinensis, Treron spp. Ptilinopus melanospilus, Lyncornis macrotis, Rhamphococcyx calyorhynchus¸ Eudynamys
orientalis, Otus manadensis, Trichoglossus
ornatus, Loriculus stigmatus, Erythropitta
celebensis, Oriolus chinensis, Edolisoma morio, Lalage leucopygialis, Dicrurus
hottentottus, Hypothymis puella, Basilornis celebensis, Streptocitta albicollis, Scissirostrum dubium dan Cyornis omissus dan Dicaeum aureolimbatum. Kadang-kadang dan agak umum dijumpai Centropus celebensis, Surniculus musschenbroeki, Pernis celebensis, Nisaetus lanceolatus, Accipiter spp., Rhabdotorrhinus exarhatus, Rhyticeros
cassidix, Mulleripicus fulvus dan
Muscicapa dauurica.
Temuan penting
Di Lembah Palu terdapat temuan penting bagi ilmu pengetahuan burung, yaitu: Penemuan jenis baru/subjenis baru Muscicapa dauurica/M. sodhii. Pada 23 Juni 2012 oleh tim Bert Harris dan Pamela Rasmunsen berhasil mendapatkan spesimennya di Desa Baku Bakulu. Walaupun sikatan ini mirip Muscicapa griseisticta tetapi dari penelitian genetika kekerabatannya lebih erat dengan Muscicapa dauurica. Sebagian besar ornitolog berpendapat jenis ditemukan ini merupakan jenis baru, tetapi sebagian mengatakan merupakan subjenis dari M. dauurica. Dalam tuisan ini penulis mengikuti pendapat del Hoyo et al. (2016) yang mengolongkan sebagai subjenis.
Gambar 9. Foto spesimen Muscicapa dauurica/ M. sodhii, didapatkan Bert Harris dkk. di Baku Bakulu sebagai bukti penemuan baru jenis/sub jenis ini |
Record baru penemuan Prinia familiaris. Jenis ini ditemukan penulis di hutan mangrove Pantai Talise pada 25 Juni 2013. Penulis menjumpai sepasang diduga sedang berbiak. Saat diamati menunjukan sikap agresif dan bertengger menyolok menarik perhatian penulis, sambil mengeluarkan suara tanda bahaya, sementara pasanganya diam di dalam vegetasi mangrove. Selama ini diketahui jenis ini hanya tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, tidak di Sulawesi. Merupakan introduksi di Lembah Palu.
Gambar 10. Foto Prinia familiaris di hutan mangrove Kelurahan Talise (record baru) |
Record baru penemuan Numenius arquata. Pada 15 Oktober 2015 Dadang Dwi Putra memotret satu individu jenis ini di muara Sungai Palu. Jenis ini tersebar berbiak di Eropa, utara Kazakhstan, Siberia, tengah Russia, timur laut Cina. Pengunjung musim dingin ke Afrika, Madagaskar, selatan Laut Caspia, Maditerania, Teluk Persia, Asia Selatan, timur Cina, selatan Jepang, Philippina, Sunda Besar. Satus keberadaan jenis ini di Sulawesi hanya dari pengamatan ini.
Gambar 11. Foto Numenius arquata di muara Sungai Palu (record baru) |
Record baru penemuan sarang Cacatua sulphurea di tebing tanah. Pada 17 Nopember 1996 penulis menjumpai tiga individu jenis ini bersarang pada tebing tanah di sungai mati Saluvou. Ketinggian sarang 6 m dari permukaan tanah; satu sarang berisi dua telur. Teksur tanah dijadikan sarang berupa tanah bercampur batu berukuran kecil. Penemuan ini merupakan suatu yang mengejutkan, karena jenis ini tidak pernah diketahui bersarang menggali tanah, tetapi hanya membuat lobang di pohon-pohon berukuran besar. Bahkan anggota Psittaciformes sangat jarang membuat sarang di tanah. Dengan demikian, hal ini merupakan penyimpangan dari perilakunya. Mungkin pilihan tebing tanah sebagai sarang sebagai respon tidak adanya lagi pohon-pohon berukuran besar yang memenuhi syarat dijadikan sarang.
Gambar 12. Foto Zosterops chloris sedang mencari makan di Kelurahan Mamboro |
Gambar 13. Foto Aplonis panayensis di pemukiman Desa Tingede |
Record baru penemuan populasi tinggi Sturnus philippensis. Pada 13 Pebruari 2007 penulis bersama Dadang Dwi Putra dan Rahman menjumpai satu kelompok berjumlah 600 individu jenis ini di hutan mangrove Dusun Lompio, Desa Maranata. Merupakan pengunjung dari utara khatulistiwa saat musim dingin yang sangat jarang ke kawasan Wallacea. Temuan ini merupakan jumlah terbesar individu ditemukan di Indonesia.
Gambar 14. Foto Cisticola exillis sedang membawa material sarang di Tambak Garam Talise |
Gambar 15. Foto Passer montanus di tebing tanah Kelurahan Tondo |
Penemuan Padda oryzivora. Jenis ini telah ditemukan di Lembah Palu berdasarkan dari tiga catatan; pada 2006 A. Rahman (CBC) mendapat informasi beberapa individu ditangkap penduduk di Desa Sidondo, penulis tahun 2009 mewawancarai penjual burung di Kota Palu, menerangkan kadang membeli jenis ini dari penangkap burung di Desa Maranata dan sekitarnya, dan pada Maret 2005 M.I.N. Mallo (KPB. Spilornis) mengamati satu kelompok bertengger di pohon Lannea coromandeliana Kel. Mamboro. Diduga mungkin jenis ini telah menyebar di tempat lain di luar ketiga tempat tersebut, mengingat cukup banyak pemelihara jenis ini di Palu melepaskan ke alam karena bosan memeliharanya. Keberadaan populasinya di Lembah Palu cukup penting, mengingat di tempat lain semakin sulit dijumpai.
Gambar 16. Foto Charadrius veredus di Tambak Garam Talise |
Lokasi penting
Tempat bertelur Maleo
Senkawor di Desa Pakuli
Dari tujuh lokasi bertelur jenis ini di Lembah Palu, hanya lokasi bertelur di Desa Pakuli yang masih dijumpai cukup banyak pasangan berbiak datang bertelur. Di tempat ini terdapat dua lokasi bertelur, Parada dan Mapane, yang letaknya berdekatan, hanya dipisahkan Sungai Palu. Vegetasi yang terbentuk di kedua lokasi bertelur tersebut berupa areal ekoton hutan tropis primer dan hutan monsoon.
Gambar 17. Foto kawanan campuran-jenis burung pantai di Tambak Garam Talise |
Sungai Paneki
Sungai Paneki dan hutan disekitarnya merupakan areal ekoton hutan tropis primer dan hutan monsoon. Di tempat ini cukup banyak dijumpai jenis burung, terutama jenis penghuni hutan primer dan huan sekunder tua dan juga hutan monsoon. Jenis terpenting adalah Pernis celebensis, Nisaetus lanceolatus, Aceros cassidix, Erythropitta celebensis, dan Pitta sordida.
Gambar 18. Foto Tringa nebularia di Tambak Garam Talise |
Baku Bakulu
Merupakan areal ekoton hutan tropis primer dan hutan monsoon. Di tempat ini cukup banyak dijumpai jenis burung, terutama jenis penghuni hutan primer dan hutan sekunder tua dan juga sedikit hutan monsoon. Jenis terpenting adalah Muscicapa dauurica/M. sodhii, jenis atau subjenis baru ditemukan. Jenis lain Nisaetus lanceolatus dan Aceros cassidix. Menurut informasi penduduk sering dijumpai Gymnocrex rosenbergii.
Gambar 19. Foto kawanan Pluvialis fulva, di Tambak Garam Talise |
Kota Palu
Di tengah kota Palu tercatat 44 jenis burung
(lihat tabel 2). Jenis-jenis burung terdapat di tengah Kota Palu cukup menarik,
karena merupakan jenis yang mampu beradaptasi dengan tingginya aktifitas
manusia dan aktifitas kendaraan. Umumnya didominasi jenis pemakan serangga
(insectivore), lalu pemakan buah (Frugivore) dan biji-bijian. Beberapa jenis
diantaranya tidak pernah dijumpai lagi saat ini.
Kampus Universitas
Tadulako
Kampus seluas 250 ha ini, masih menyisakan cukup
luas vegetasi bagi burung, sehingga masih dijumpai cukup banyak jenis burung.
Di tempat ini dijumpai 32 jenis burung,
umumnya didominasi jenis hutan monsoon.
Vegetasi di kampus ini berupa sisa-sisa vegetasi yang sengaja disisakan
untuk kegiatan praktikum dan terlantar karena belum sempat dikelola. Pada
beberapa tempat juga terdapat areal yang sengaja ditanami pohon sebagai
pelindung dan tanaman hias.
Tambak garam Talise dan
muara Sungai Palu
Merupakan areal berupa tambak garam, pesisir
pantai berlumpur dan muara Sungai Palu. Jenis-jenis burung menghuni di tiga
tempat ini saling bercampur karena tempatnya berdekatan. Tercatat 86 jenis
burung di tempat ini, sebagian besar didominasi burung pantai (lihat tabel 1).
Hutan mangrove Desa
Kabonga
Hutan magrove di Desa Kabonga masih cukup luas
sehingga masih dijumpai cukup banyak jenis burung, umumnya dijumpai jenis
burung pantai dan bebeberapa jenis burung laut dan penghuni hutan mangrove.
Diantaranya yang penting adalah Numenius
madagascariensis, Stercorarius pomarinus dan Pelargopsis melanorhyncha.
Konservasi
Dari data diterbitkan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), diketahui 14 jenis burung di Lembah Palu, saat ini membutuhkan perhatian, yaitu: Satu jenis dikategorikan Kritis (Critically Endangered); Cacatua sulphurea. Dua jenis dikategorikan Terancam (Endangered); Macrocephalon maleo dan Padda oryzivora. Lima jenis dikategorikan Rentan (Vulnerable); Ciconia episcopus, Rhyticeros cassidix, Rhabdotorrhinus exarhatus, Gymnocrex rosenbergii dan Egretta eulophotes. Enam jenis dikategorikan Hampir Terancam (Near Threatened); Anhinga melanogaster, Charadrius peronii, Loriculus exillis, Limosa limosa, Accipiter nanus dan Actenoides monachus.
Gambar 20. Foto Tringa glareola di Tambak Garam Talise |
Di Lembah Palu terdapat
tiga jenis telah punah secara lokal di Lembah Palu, diantara dua jenis menurut
daftar diterbitkan IUCN tersebut, yaitu:
1. Ciconia
episcopus, terakhir di temukan pada September 1978 oleh Derek Holmes di
areal persawahan Gumbasa, utara Palu.
2. Plegadis
falcinellus, terakhir dijumpai pada 1981 oleh Derek Holmes ± 20 individu
rawa di Desa Gumbasa.
3. Cacatua
sulphurea, terakhir dijumpai penulis bersama Sunarto satu individu pada 9
Juni 1996 dan 5 Oktober 2006 oleh M.I.N. Mallo (KPB. Spilornis) dua individu di
hutan mangrove Dusun Lompio, Desa Maranata.
Diantara jenis-jenis tersebut, Cacatua sulphurea dan Macrocephalon maleo yang menyisakan cerita yang memilukan. Cacatua sulphurea, merupakan penghuni hutan primer dan sekunder tua. Di luar musim berbiak merupakan (nomadic) berkelompok mengunjungi tempat-tempat lain terdapat tumbuhan berbuah, termasuk tanaman di lahan budidaya dan hutan mangrove di Lembah Palu. Pada 1970-an kawanan jenis ini dalam jumlah besar sering menggunjungi Lembah Palu. Pemandangan umum menjumpainya mengisap bunga Erythrina spp. dan memakan buah jagung saat itu. Menurut K.D. Bishop bahwa pada 1981 dia mengamati jenis ini relatif umum di areal hutan perbukitan di Gumbasa dan Desa Bora (kom. pribadi, 1999).
Gambar 21. Foto Calidris acuminata, di Tambak Garam Talise |
Pada tahun1996 penulis berkesempatan melakukan survei status jenis ini di Provinsi
Sulawesi Tengah (kegiatan Birdlife-International-Sakada BQD), termasuk di
Lembah Palu dan bagian utara Taman Nasional Lore Lindu. Saat survei, juga
dilakukan wawancara masyarakat lokal tinggal dan melakukan aktifitas di sekitar
hutan. Dari hasil survei diketahui sebelum tahun 1980 populasi jenis ini hampir di sepanjang
lokasi survei masih mudah dijumpai, termasuk di Lembah Palu dan Taman Nasional
Lore Lindu. Populasi tinggi tersebut sangat kontras dengan
keadaannya saat pelaksanaan survei hingga saat itu hingga saat ini. Saat survei
sangat sulit menjumpainya. Dari seluruh wilayah survei hanya menjumpai
populasinya di tiga lokasi; Pulau Pasoso, hutan terpencil Desa Sibado, dan
Lembah Palu dengan populasi yang sangat sedikit.
Sebelum tahun 1980-an penduduk lembah ini masih sedikit,
pertumbuhan tersebut meningkat dratis setelah tahun 1980-an hingga sekarang. Pesatnya
pertambahan penduduk tersebut membuat daerah terpencil berubah ramai, vegetasi
terpencil semakin ramai dikunjungi, semakin banyak petani/peladang melakukan
aktifitas. Kondisi ini berbanding lurus dengan penurunan drastis populasi Cacatua sulphurea di Lembah Palu. Hal
ini diperparah mulai datangnya para penangkap/pedagang burung dan pemburu
burung. Kondisi yang membuat jenis ini tidak merasa
nyaman melakukan aktifitas di Lembah Palu, sehingga jenis ini tidak pernah lagi
mengunjungi Lembah Palu, atau populasi penetap meninggalkan Lembah Palu. Pada tahun 1990-an banyak areal hutan dikonversi
menjadi lahan budidaya dan peruntukan lain, sehingga membuat semakin cepat
kepunahan jenis ini di Lembah Palu.
Macrocephalon maleo, dari hasil survai yang dilakukan Djambata dan DR. Stuart Butcher, di Lembah Palu ditemukan tujuh lokasi bertelur Maleo Senkawor, yaitu; Bulu Masomba (Desa Poboya), Desa Ngatabaru (Desa Kapopo), Desa Loru, Desa Bora, Desa Pakuli; terdapat dua lokasi bertelur yang dibatasi Sungai Palu Parada dan Mapane, Desa Pulu dan Desa Bangga.
Semua tempat bertelur maleo ini mendapat gangguan dari masyarakat, bahkan lokasi bertelur di Desa Loru, Desa Ngatabaru (Desa Kapopo), Desa Loru dan Desa Bangga tidak pernah dikunjungi lagi oleh pasangan berbiak datang bertelur, dan tempat bertelur Desa Pulu dan Desa Bora hanya dikunjungi satu atau dua pasangan bertelur, dan tempat bertelur di Bulu Masomba tidak ada data terbaru, diduga jarang dikunjungi pasangan berbiak. Satu-satunya lokasi bertelur yang masih cukup banyak dikunjungi pasangan berbiak hanya di Parada dan Mapane, Desa Pakuli.
Gambar 23. Foto Pluvialis squatarola di Tambak Garam Kelurahan Talise |
Jenis lain yang penting
Selain 14 jenis burung
dikategorikan IUCN terancam punah, yang sudah pasti prioritas mendapatkan
perhatian, ada enam jenis lain juga penting mendapatkan perhatian, yaitu:
1. Tringa
ochropus, jenis burung pantai yang saat populasinya semakin sedikit,
catatan perjumpaanya sangat penting dilakukan.
2. Pernis
celebensis, jenis ini walaupun statusnya
tidak dikategorikan terancam punah oleh IUCN, tetapi populasinya semakin
sedikit, sehingga jarang ddijumpai,
akibat terjadinya deforestasi yang merupakan habitatnya.
3. Macheiramphus
alcinus, sangat jarang. Statusnya di Lembah Palu hanya dari
satu catatan dari Zaini Rahman (YPAL) menjumpai pada 2001 di Gumbasa (dekat
Pakuli).
4. Nisaetus
lanceolatus, raptor yang paling penting di Sulawesi, tetapi sampai saat ini
data ekologis, tingkah laku,
populasi, perkembangbiakan dan kondisi habitatnya belum banyak diketahui,
padahal populasinya di alam diyakini semakin menurun akibat deforestasi. Survei maupun penelitian terhadap jenis ini
penting dilakukan.
5. Pitta sordida, di daratan Sulawesi sangat
terbatas, hanya dijumpai di Semenanjung utara dan Lembah Palu. Di lembah ini
hanya dari satu catatan dari penulis dan Derek Holmes mejumpai di hutan tepi
Sungai Paneki pada 2 Agustus
1995.
6. Saxicola caprata, saat ini semakin berkurang populasinya akibat penangkapan yang berlebihan. Merupakan jenis burung yang digemari oleh penggemar burung peliharaan di Palu, hal ini menyebabkan jenis ini sering ditangkap lalu dijual kepada pedagang burung.
Gambar 24. Foto Egretta eulophotes di pesisir pantai Kelurahan Talise |
Ada beberapa penyebab
punahnya atau semakin merosotnya populasi burung di Lembah Palu, yaitu:
1. Pengrusakan habitat dan tempat bersarang
Salah satu faktor utama
yang sangat mempengaruhi punah atau berkurangnya populasi beberapa jenis burung
di Lembah Palu adalah adanya deforestasi
hutan monsoon yang merupakan habitat dan tempat bersarang (berkembang
biak) jenis-jenis burung tersebut. Faktor yang paling berpengaruh adalah
semakin berkembangnya pemukiman dan pembangunan di Kota Palu. Pemerintah dan penduduk Kota Palu membutuhkan
lahan-lahan baru untuk pembangunan pemukiman dan sarana-sarana fisik, baik
berupa sarana perkantoran pemerintah, pembuatan jalan baru, pembangunan pasar
dan terminal, dll. Lahan-lahan tersebut
sebagian besar diarahkan keluar kota.
Selain itu, di Lembah Palu pada bagian utara saat ini berdiri berbagai
pabrik-pabrik, khususnya pengolahan kayu dan rotan.
Berdirinya sarana-sarana
fisik tersebut membutuhkan lahan-lahan baru yang cukup luas, untuk itu maka
vegetasi hutan di Lembah Palu harus dikorbankan. Penyebab lain adalah
adanya aktifitas masyarakat melakukan pembabatan hutan untuk dijadikan lahan
perkebunan dan pertanian, serta pengambilan kayu bakar dengan cara mengadakan
penebangan hutan.
2. Perburuan oleh manusia
Kegiatan perburuan
burung di Lembah Palu juga menjadi penyebab punah atau berkurangnya jumlah
populasi beberapa jenis burung di lembah ini.
Alasan utama punahnya Cacatua
sulphurea di Lembah Palu karena faktor ini. Ada dua faktor utama yang mendasari kegiatan
perburuan burung di Lembah Palu, yaitu:
a. Ditangkap sebagai burung peliharaan/dagangan
Masyarakat yang tinggal
di pinggiran Kota Palu mempunyai pekerjaan sambilan sebagai penangkap
burung-burung peliharaan (hias) untuk diperdagangkan. Hal ini lakukan untuk menambah penghasilan
mereka. Burung-burung hasil tangkapan
ini mereka jual di pinggir jalan atau di pasar-pasar burung di Palu dan di
pinggiran kota Palu seperti di Pasar Biromaru.
Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya jumlah burung yang ditemukan
di tempat-tempat penjualan burung yang ada di Lembah Palu. Umumnya jenis-jenis burung yang sering
ditangkap oleh para penangkap burung adalah: Gallus gallus, Streptopelia
tranquebarica, Spilopelia chinensis,
Turacoena manadensis, Geopelia striata, Chalcophaps indica, Treron
vernans, Ptilinopus melanospilus,
Saxicola caprata, Oriolus chinensis, Trichoglossus ornatus, Loriculus
stigmatus, Tanygnatus sumatranus,
Corvus enca, Scissirostrum dubium dan Lonchura spp. juga kadang-kadang Tyto rosenbergii.
b. Ditangkap atau ditembak untuk dikonsumsi
Selain sebagai hewan dagangan untuk dijual ke pasar-pasar penjualan burung, masyarakat Lembah Palu juga mempunyai kegiatan menangkap atau menembak burung untuk dikonsumsi atau dimakan. Kegiatan-kegiatan seperti ini lebih sering dilakukan dibanding dengan kegiatan penangkapan burung untuk alasan a. Selain itu, jumlah orang yang melakukannya jauh lebih banyak. Ada beberapa jenis burung yang sering ditangkap oleh masyarakat di Lembah Palu untuk dikonsumsi, antara lain: Gallus gallus, Dendrocygna arcuata, Streptopelia tranquebarica, Spilopelia chinensis, Turacoena manadensis, Geopelia striata, Chalcophaps indica, Treron vernans, Ducula aenea, Ptilinopus melanospilus, Amaurornis phoenicurus, Amaurornis cinerea, Ardeola speciosa, Ardea purpurea, Egretta garzetta dan Rhityceros cassidix.
Gambar 25. Foto Ardea alba di Tambak Garam di Kelurahan Talise |
3. Semakin ramainya aktifitas manusia
Salah satu yang cukup mempengaruhi menurunnya jumlah populasi burung di Lembah Palu adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk menghuni Lembah Palu. Di Lembah Palu seiring dengan semakin berkembangnya Kota Palu, di beberapa tempat yang dulu/sebelumnya merupakan tempat sunyi dengan jumlah penduduk yang kecil, tetapi sekarang jumlah penduduk yang menghuni tempat-tempat tersebut sudah cukup banyak dan tempatnya semakin ramai. Gejala-gejala ini menyebabkan jenis-jenis burung yang dulu banyak menghuni tempat tersebut sekarang sudah jarang terlihat, ataupun tidak pernah lagi ditemukan. Hal ini disebabkan karena beberapa jenis burung sangat menyukai tempat yang sunyi, jauh dari dari aktivitas manusia, seperti Gallus gallus, Ciconia episcopus, beberapa jenis burung pantai dan Cacatua sulphurea, akan sangat tergganggu dengan kehadiran ramai manusia. Di muara Sungai Palu dan Tambak Garam Kel. Talise dulu kadang dijumpai Pelargopsis melanorhyncha, tetapi saat ini tidak dijumpai lagi, demikian juga yang menimpa beberapa jenis burung pantai.
Gambar 26. Foto Egretta garzetta di muara Sungai Palu |
Usaha pelestarian
Di Lembah Palu terdapat
empat kawasan yang berpotensi untuk konservasi burung, yaitu: Taman Hutan Raya
(TAHURA) Palu, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Wera dan Kawasan
Universitas Tadulako Palu.
Tahura Palu adalah
sebuah kawasan yang saat ini telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No.:461/Kpts-11/1995 tanggal 4 September 1995. Kawasan ini mempunyai luas 8.100 ha.
Membentang pada bagian timur kota Palu, dari kelurahan Mamboro di bagian utara
Lembah Palu hingga Desa Paneki pada bagian selatan.
Taman Nasional Lore Lindu adalah kawasan konservasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No.:593/kpts-II/93 dengan luas 229.000 ha. Kawasan Taman Nasional Lore Lindu membentang dari Lembah Palu di bagian utara hingga mencapai Lembah Bada di bagian selatan. Luas taman nasional ini yang masuk ke dalam Lembah Palu ± 20.000 ha. hingga 30.000 ha.
Gambar 27. Foto Milvus migrans di muara Sungai Palu |
Taman Wisata Wera
terletak di Desa Wera Kecamatan Dolo, jaraknya dari Palu ± 18 km., ditetapkan
sebagai taman wisata berdasarkan surat keputusan Nomor 843/Kpts/um/11/80,
tanggal 25 Nopember 1980, dengan luas 250 ha.
Taman wisata wera khusus mengelola kawasan air terjun wera.
Kampus Universitas Tadulako merupakan sebuah kawasan yang mempunyai luas 250 ha. Terletak di kelurahan Tondo, juga dapat berpotensi menjadi tempat perlindungan burung di Lembah Palu, karena di tempat ini dilarang melakukan perburuan terhadap burung-burung. Dan KPB Spilornis telah melakukan upaya konservasi burung di tempat ini. Dengan demikian kelestarian burung di tempat ini tetap terjaga.
Gambar 28. Foto induk Gallinula chloropus bersama anaknya di Tambak Garam Kelurahan Talise |
Keberadaan keempat
kawasan ini sebenarnya dapat menjadi tempat perlindungan bagi burung-burung
yang ada di Lembah Palu, tetapi penangkapan burung di tiga kawasan ini masih
sering terjadi. Khusus di Tahura Palu,
masyarakat di sekitarnya masih leluasa membakar hutan, mengembalakan ternak,
mengambil kayu dan menangkap hewan (terutama burung). Bahkan kawasan ini merupakan pusat penangkapan burung di Lembah Palu. Walaupun demikian,
keberadaan keempat kawasan itu akan sangat membantu bagi kelestarian burung di
Lembah Palu. Karena masih menyisakan
vegetasi hutan yang masih alami dan tetap terjaga di Lembah Palu bagi kehidupan
burung, serta dapat membatasi kebebasan penangkapan burung.
Di lokasi bertelur Parada dan Mapane Desa Pakuli telah dilakukan konservasi dengan melakukan intervensi penetasan telur Maleo Senkawor oleh pihak Balai Konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Sehingga dapat meningkatkan populasinya saat ini. Selain itu juga dilakukan penjagaan ketat sehingga pengambilan telurnya ini tidak dapat dilakukan secara ilegal.
Lampiran tabel burung Lembah Palu
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu selama dilakukan pengamatan
burung di Lembah Palu, terutama adalah Derek Holmes (alm.) yang telah
menyerahkan semua catatan pengamatan burung di Lembah Palu, serta membimbing
penulis mengamati burung di Lembah Palu saat awal mengenal burung Sulawesi.
Selanjutnya adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo yang telah intens melakukan
pengamatan burung bersama-sama anggota KPB Spilornis di Lembah Palu, dan juga
telah mengizinkan mengambil data buku “Burung Lembah Palu” yang dia tulis,
sebagai bahan utama artikel ini, dan juga tidak kalah penting telah membantu
mengedit dan memposting tulisan ini. Dadang Dwi Putra, Rahman dan Herlina yang
sering bersama-sama mengamati burung di Lembah Palu. K. David Bishop yang telah
memberikan informasi beberapa jenis burung di Lembah Palu, terutama Cacatua sulphurea. Wahyu Rahajaningtrah yang telah melibatkan
penulis dalam survei penyebaran habitat burung di Taman Nasional Lore Lindu
(khusus di Sibalaya dan Sigimpu), dan Dr. Stuart Butcher dan teman-teman di
Djambata yang telah melibatkan penulis dalam survei Maleo Senkawor di Lembah
Palu. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Coates,
B.J. and Bishop, K.D. (1997). A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the
Moluccas and the Lesser Sunda Islands,
Indonesia). Alderley. Dove Publication.
del
Hoyo, J. and Collar, N.J. (2014).
Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 1 Non Passerines. Lynx
and Birdlife International.
del
Hoyo, J. and Collar, N.J. (2016).
Illustrated Checklist of the Bird of the World, Volume 2 Passerines. Lynx and Birdlife International.
Mallo,
F.N. (1996). Kehidupan Burung-Burung di Lembah Palu, Study Pendahuluan dari
hasil Pengamatan Terhadap Keberadaan Jenis, Kelestarian dan kondisi
Habitatnya. Belum dipublikasikan.
Mallo,
F.N., dan Setiawan, I. (1996A). Telaah status Cacatua sulphurea sulphurea di
Sulawesi Tengah. PHPA dan Birdlife-Indonesia Programme. Bogor.
Mallo,
F.N. (2015). Burung-Burung di Taman Nasional Lore Lindu, catatan ekologi,
konservasi dan status keberadaan jenis. Celebes Bird Club (CBC) dan Program
Studi Magister Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran.
Mallo,
F.N., Putra, D.D., Rahman, A, Mallo, M.I.N, dan Sahardin. (2015). Burung-Burung
di Cagar Alam Morowali, Catatan ekologi, konservasi dan status keberadaan
jenis. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
(PSMIL) Universitas Padjadjaran.
Mallo, F.N., Putra, D.D., Rahman, A, Herlina,
Mallo, M.I.N, dan Alpian Maleso. (2018). Gagak Banggai dan burung-burung di
Kepulauan Banggai – Sula. Celebes Bird Club (CBC) dan Program Studi Magister
Ilmu Lingkungan (PSMIL) Universitas Padjadjaran.
Mallo,
M.I.N, (2020). Burung di Lembah Palu. KPB Spilornis-Universitas Tadulako. Palu.
Whitten,
A.J., Mustafa, M. dan Enderson, G.S. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar