Selasa, 11 Oktober 2022

BIOGEOGRAFI BABI SULAWESI (SUIDAE): KELOMPOK BABI SULAWESI TERTUA DI DUNIA DAN KEUNIKAN LAIN

Oleh: Fachry Nur Mallo
Gambar 1.  Foto Babyrousa sp.

Pengantar

Babyrousa merupakan salah satu hewan mamalia saya paling saya kagumi di Sulawesi, dan juga banyak ahli fauna mengagumi hewan ini. Kekaguman ini karena keunikannya yang sangat berbeda dengan kelompok babi lain. Terutama taringnya yang khas, sehingga membentuk sub famili sendiri.

Saya sering membaca di beberapa artikel dan mendengarkan cerita teman-teman berkecimpung di penelitian hewan tentang keunikan hewan ini, dan diduga merupakan hewan purba yang tersisa. Tetapi seluruh informasi tersebut hanya sekedar penjelasan tanpa menjelaskan rujukan literatur.

Saya tertarik dan terkejut dengan kepurbaan hewan ini setelah membaca tulisan Michaux bahwa Babyrousa adalah basal dari semua Suidae lainnya, dan karena itu merupakan produk awal evolusi seluruh jenis babi yang ada di dunia (Michaux 2010). Saya penasaran, lalu mencari literatur terkait tulisan tersebut. Beberapa bulan kemudian saya mendapatkan tulisan Frantz et al. (2015), memperjelas penjelasan Michaux dalam tulisannya.

Selain Babyrousa, saya juga mengagumi Celebochoerus heekereni, jenis babi purba endemik Sulawesi dan Luzon yang telah punah. Hewan ini tidak kalah unik dengan Babyrousa, bahkan babi ini nampak aneh di keluarga Suidae, dengan memiliki sepasang taring di moncong, seperti tanduk kerbau, dan dua taring kecil dibawahnya seperti pisang tanduk tertancap.

Satu jenis babi endemik lain Sulawesi (Sus celebensis) juga akan diuraikan dalam tulisan ini.  Babi ini menarik karena telah didomestikasi sejak lama ke Kepuluan Maluku, Papua dan Pulau Simeulue (Sumatera).  

Total Sulawesi memiliki tujuh jenis babi, termasuk yang telah punah, yaitu: Babyrousa babyrussa, Babyrousa bolabatuensis, Babyrousa celebensis, Babyrousa togeanensis, Sus celebensis dan Sus scrofa (Maryanto et al. 2019) dan Celebochoerus heekereni. Babyrousa bolabatuensis dan Celebochoerus heekereni telah punah. Dan seluruhnya endemik Sulawesi kecuali Sus scrofa.

Dari delapan jenis babi di Indonesia Sulawesi menjadi penyumbang tertinggi, hanya dua jenis tidak terdapat di Sulawesi (Sus barbatus [Kalimantan dan Sumatera] dan Sus verrucosus [Jawa]).  Dalam penjelasan selanjutnya, Sus scrofa tidak dijelaskan, karena hanya merupakan jenis introduksi ke Sulawesi.

Biogeografi babi Sulawesi

Babyrousa

Babi ini terbatas pada daerah terpencil di Sulawesi, Kepulauan Togean (Pulau Malenge, Pulau Talatoh, Pulau Togean dan Pulau Batudaka), Kepulauan Sula (Taliabu, dan Sanana) dan Pulau Buru.

Gambar 2. Foto Babyrousa sp. sedang makan

Babyrousa secara anatomis berbeda dari babi lain di dunia, terutama taringnya; jantan bertaring panjang yang mencuat dan melengkung di atas moncongnya, taring ini tumbuh dari rahang atas menembus hidung dan melengkung, sedangkan betina bertaring kecil.

Menurut Frantz et al. (2015) kelompok babi ini dapat dianggap sebagai peninggalan dari Suidae Miosen yang dulu beragam tetapi sekarang di tempat lain sudah punah. Merupakan babi purba, yang saat masih bertahan, sementara babi lain telah punah. Dan mewakili “garis keturunan misterius”, karena tidak ada spesies yang berkerabat dekat di luar Sulawesi (Misalnya babi Afrika lebih dekat hubungannya dengan semua babi Asia lainnya daripada Babyrousa), dan dari catatan fosil di luar Sulawesi Babyrousa tidak ditemukan.

Dalam pohon filogeni babi menurut Frantz et al. (2015) menempatkan Babyrousa basal bagi semua jenis kelompok babi yang hidup sekarang di dunia, termasuk genera yang telah punah (Propotamochoerus dan Microstonyx).

Dengan demikian Babyrousa adalah kelompok babi yang paling tua masih tersisa di dunia. Menurut Michaux (2010) Babyrousa merupakan produk awal evolusi dari seluruh jenis babi yang ada di dunia.

Dari penelitian Frantz et al. (2018), yang menguatkan penelitian sebelumnya bahwa baik Sus celebensis dan Babyrousa spp. bersifat monofiletik, berhubungan dengan taksa yang paling dekat di pulau-pulau tetangga (misalnya Kalimantan), yang konsisten dengan hanya satu kolonisasi Sulawesi.

Babyrousa mungkin juga tersebar ke Sulawesi dari daratan Asia melalui rute Pulau Taiwan ke Philippina, sebagaimana penyebaran Celebochoerus heekereni diduga melalui rute tersebut. Hal ini terkait hubungannya kekerabatannya dengan Celebochoerus cagayanensis di Luzon Utara.

Gambar 3.  Filogeni Suidae yang belum punah dan telah punah (menurut Frantz et al. 2015)

Analisis jam molekuler baru-baru ini melaporkan bahwa Babyrousa menyimpang dari Suinae selama Miosen Tengah, sekitar 13 Mya (18–9 Mya), sekitar 3 Mya sebelum Suinae Afrika dan Eurasia menyimpang dari nenek moyang yang sama (14–7 Mya).  Dan, mungkin telah mengkoloni Wallacea sejak awal 13 Mya. Tetapi penyebaran awal Babyrousa ke Sulawesi pada Palaeogen Akhir juga telah disarankan atas dasar bukti paleontologis (Frantz et al. 2015).

Celebochoerus heekereni

Babi ini telah punah, dan sudah sejak lama diketahui dari Pliosen-Pleistosen Sulawesi, hanya dari fosil pada Formasi Wallanae dan Formasi Tanrung di Barat Daya Sulawesi. Tetapi baru-baru ini juga dilaporkan ditemukan fosil genera ini di Lembah Cagayan di Luzon, Filipina Utara (Celebochoerus cagayanensis).

Menarik, karena babi ini memiliki bentuk yang unik, yang nampak aneh di keluarga Suidae, dengan memiliki sepasang taring dimoncong, seperti tanduk kerbau, dan dua taring kecil di bawahnya seperti pisang tanduk tertancap. Celebochoerus cagayanensis kemungkinan besar berusia lebih muda daripada catatan tertua Celebochoerus heekereni di Sulawesi (Ingicco et al.  2016).           

Asal usul Celebochoerus masih belum jelas. Beberapa penulis (Hooijer 1954; Thenius, 1970; Suyono, 2009 dalam Ingicco et al.  2016) mengusulkan Propotamochoerus dari Pliosen pada lapisan Tatrot, Siwalik di India sebagai nenek moyang yang paling mungkin. Sementara Aziz (1990) dalam Ingicco et al.  (2016) melihat beberapa hubungannya dengan Phacochoerus (babi Afrika) mengingat taring besar dan beberapa tengkorak lainnya.  Ingicco et al. (2016) berpandangan kemiripan dangkal dengan yang terakhir (Phacochoerus) harus dikaitkan dengan evolusi konvergensi.

Gambar 4. Sketsa Celebochoerus heekereni dan perbandingannya dengan manusia (Sumber: rekonstruksi National Geographic Indonesia) 

Nenek moyang Celebochoerus mungkin harus dicari baik di Taiwan atau Jawa. Geraham Celebochoerus dari Filipina atau dari Sulawesi jauh lebih sederhana daripada geraham spesies fosil Jawa kontemporer Sus macrognathus dan Sus brachygnathus. Potamochoerus Taiwan digambarkan memiliki geraham sederhana seperti dua spesies Celebochoerus. Fosil Taiwan ini bisa jadi terkait dengan Celebochoerus. Bukti saat ini menunjukkan bahwa dua spesies Celebochoerus tampak lebih dekat dan sezaman Suidae Taiwan daripada spesies Sunda karena pola geraham sederhana yang sebanding. Saat ini tidak dapat ditolak jalur migrasi Indonesia ke Filipina melalui kolonisasi Utara melalui Taiwan. Hal itu juga telah dilakukan oleh beberapa spesies Murinae dan Crocidura.  (Ingicco et al.  2016).

Sus celebensis

Merupakan jenis endemik Sulawesi, tetapi sebagian juga berpandangan dijumpai liar di Flores dan Timor. Tetapi diduga di kedua tempat tersebut merupakan jenis introduksi, yang telah dijinakkan dan diangkut ke daerah tersebut selama migrasi awal manusia. Merupakan anggota kelompok babi dikenal dengan “babi kutil”. Kelompok ini mencakup beberapa spesies, seperti Sus barbatus, Sus verrucosus (Jawa), Sus celebensis, juga jenis di Philippina, dan babi hutan raksasa Hylochoerus meinertzhageni (Frantz et al. 2015). Hylochoerus meinertzhageni tersebar di Afrika.

Dalam pohon filogeni Frantz et al. (2015) menempatnya babi ini satu clade sepasang dengan Sus barbatus (tersebar di daratan Asia Tenggara, juga Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan pulau-pulau kecil di Kepulauan Sulu). Dengan demikian kerabat terdekat babi ini adalah Sus barbatus. Juga berkerabat dekat dengan dua jenis Babi Kutil Philippina, Sus cebifrons (Cebu, Negros, Panay, Masbate, Guimaras, dan Siquijor) dan Sus philippensis (Luzon, Biliran, Samar, Leyta, Mindoro, Mindanao, Jilo, Polilo dan Catanduanes).

Sus celebensis telah diintroduksi ke Papua, Maluku dan Pulau Simeulue (barat laut Sumatera). Introduksi Sus celebensis ke Pulau Simeulue sejauh 3.500 km dari Sulawesi tetap belum terpecahkan hingga saat ini, karena tidak ada bukti untuk melacak rute atau waktu terkait hal itu. Juga dilaporkan di pulau Roti dan Sawu (Groves 1983; Bell 1987 dalam Burton et al. 2017). Bentuk hibridisasi Sus celebensis dengan Sus scrofa dilaporkan tersebar di beberapa pulau, termasuk Salawati, Kei Besar, Dobu, Seram, Ambon, Bacan, Ternate, Morotai, dan Papua (Groves 1981, 1983; Oliver et al. 1993 dalam Burton et al. 2017).

Informasi genetik pada babi dari Halmahera, yang sebelumnya disebut sebagai feral Sus celebensis, telah menunjukkan bahwa memiliki genetik yang lebih besar daripada babi Papua. Urutan mtDNA menunjukkan bahwa babi Papua memiliki haplotlpes yang mengelompok dengan babi dari Halmahera, Haltaii, dan Vanun atu dan ditemukan di 'clade Pasifik' (Larson et al. 2005 dalam Burton et al. 2017).

Ucapan terima kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Moh. Ihsan Nur Mallo (adik penulis), yang telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini.

Daftar Pustaka

Burton, J.A., Mustari, A.H. & Rejek, I.S. (2017). Sulawesi Warty Pig Sus celebensis (Muller &Schlegel, 1843). In book: Ecology, Conservation and Management of Wild Pigs and Peccaries (pp.184-192) Edition: I Chapter:19 Publisher: Cambridge University Press

Frantz, L., Meijaard, E., Gongora, J., Haile, J., Groenen, M.A.M., & Larson, G.  (2015). The Evolution of Suidae. AV04CH03-Larson ARI 26 October 2015 11:38

Ingicco, T., van den Bergh, G., de Vos, J., Castro, A., Amano, N. & Bautista, A. (2016). A new species of Celebochoerus (Suidae, Mammalia) from the Philippines and the paleobiogeography of the genus Celebochoerus Hooijer, 1948. Geobios, 49 (4), 285-291.

Maryanto, I., Maharadatunkamsi, Achmadi, A.S., Wiantoro, S., Sulistyadi, E., Yoneda, M., Suyanto, A, & Sugardjito, J. (2019). Checklist of the Mammals of Indonesia: Scientific, English, Indonesia Name and Distribution Area. Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Desember 2019.

Michaux, B. (2010). Biogeology of Wallacea: geotectonic models, areas of endemism, and natural biogeographical units. Biological Journal of the Linnean Society, 2010, 101, 193–212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar