Oleh: Fachry Nur Mallo
Gambar 1. Foto Macrocephalon maleo sedang mengali lubang sarang |
Pada pertengahan 2021 saya membaca tulisan Michaux (2010) menjelaskan bahwa Macrocephalon maleo adalah basal untuk clade di megapoda Australia-New Guinea, dan merupakan evolusi paling awal dari semua megapoda yang ada. Membacanya penulis sangat senang dan semakin mengagumi burung ini. Sejak saat itu penulis berasumsi bahwa burung ini merupakan leluhur semua jenis megapoda. Dengan demikian pusat tempat evolusi megapoda berada di Sulawesi, hal ini wajar karena leluhur Megapoda pasti dari Asia (berasal dari Galliformes), jika menyebar ke Wallacea dan Australasia-Papua pasti harus melalui Sulawesi.
Saya mengumpulkan literatur, dan mendapatkan beberapa artikel, hanya empat terpenting, yaitu Dekker dan Brom (1992), Harris et al. (2014) dan Samad et al. (2022). Dua tulisan pertama menjelaskan bahwa Macrocephalon maleo jauh lebih tua dari seluruh jenis Megapodidae, tetapi leluhur megapoda, termasuk Macrocephalon maleo dari Australia, bukan dari Sulawesi. Kedua tulisan tersebut menjadi rujukan utama penelitian megapoda. Sedangkan dua tulisan Abdul Samad menjelaskan tentang filogeografi Macrocephalon maleo berdasarkan gen Cytochrome B (Cyt b) DNA Mitrokondria (disertasi memasuki tahap sidang terbuka). Hasil penelitian Abdul Samad menurut penulis sangat penting untuk memahami evolusi Macrocephalon maleo, dan konservasinya masa depan dengan mengacu kepada DNA.
Evolusi dan filogeni
Famili Megapodiidae terbagi tiga kelompok:
1. Kelompok scrubfowl, beranggotakan Macrocephalon maleo, Eulipoa wallacei dan Megapodius
2. Kelompok malleefowl, monotypic Leipoa ocellata (Australia)
3. Kelompok brushturkey, beranggotakan Alectura (Monotypic, Australia), Aepypodius (Papua, Waigeo), Talegalla (Papua, Misool, Aru), Progura (telah punah, Australia) dan Latagallina (telah punah, Australia).
Pohon filogeni menurut Harris et al. (2014) Macrocephalon maleo menjadi basal bagi kelompok Scrubfowl (Eulipoa wallacei dan semua jenis Megapodius). Eulipoa wallacei tersebar di Maluku; Halmahera, Bacan, Seram, Ambon, Buru, Misool. Sedangkan Megapodius hampir seluruhnya tersebar di kawasan Wallacea dan Australasia-Papua, beberapa jenis di Philippina, Palau/Guam dan Andaman/Nikobar. Sedangkan Malleefowl dan Brushturkey cladenya terpisah.
Dalam pohon filogeni tersebut Macrocephalon maleo jauh lebih tua dari semua jenis famili ini. Macrocephalon maleo berusia hampir mencapai 15 Mya, Eulipoa wallacei + < 5 Mya, dan semua jenis lain + > 2 Mya. Menurut Birks & Edwards (2002) dalam Michaux (2010) bahwa Macrocephalon maleo adalah basal untuk clade di megapoda Australia-New Guinea, dan merupakan evolusi paling awal dari semua megapoda yang ada.
Gambar 2. Foto sepasang Macrocephalon maleo sedang mengali lubang sarang |
Walaupun demikian, leluhur megapoda bukan dari Sulawesi, tetapi dari Australia, dibuktikan fosil Ngawupodius minya, merupakan megapoda paling awal berusia Oligosen (33 – 38 Mya) ditemukan di Australia.
Usia fosil tersebut masih jauh dari terpisahnya megapoda dari semua jenis Galliformes lainnya pada 70–75 Mya. Setelah Australia memulai pergerakannya ke utara. Selama Pliosen (3,2 – 5 Mya), ketika lempeng Australia bergerak lebih dekat ke Asia dan laut berubah, megapoda diperkirakan telah menyebar keluar melalui kepulauan Indonesia dan ke arah timur menuju Polinesia, menggunakan pulau sebagai batu loncatan, lalu terisolasi di pulau-pulau baru. Leluhur megapoda diduga melakukan diversifikasi dan mengembangkan strategi reproduksi (Harris et al. 2014).
Harris et al. (2014) merekonstruksi Australia, Nugini, dan Wallacea sebagai tempat penyebaran leluhur semua megapoda (+ 18 Mya). Pada saat ini, Filipina terhubung ke daratan Asia melalui laut dangkal, benua Australia bersambung dengan bagian selatan New Guinea, dan sebagian Sulawesi di atas permukaan air. Kira-kira 5 Mya, New Guinea mengalami pergeseran iklim yang besar, yang menghasilkan habitat baru dan terjadi bersamaan dengan peningkatan pesat luas daratan dan ketinggian (Hall, 2002). Dalam 2 Mya pulau-pulau di Busur Banda terbentuk dan sisa New Guinea muncul. Pembentukan lebih banyak pulau selama masa itu menyebabkan peningkatan kesempatan untuk penyebaran, dan akibatnya terjadi spesiasi allopatric. Peristiwa ini bertepatan dengan penyebaran Megapodius (Harris et al. 2014).
Garis keturunan diwakili clade brushturkey (Alectura, Aepypodius dan Talegalla) berlanjut di daratan Australia dan Papua, sementara garis keturunan Macrocephalon dan Megapodius menyebar di pulau-pulau Wallacea. Megapodius dominan menyebar di pulau-pulau, meluas dari Samudra Hindia hingga Pasifik Selatan. Penyebaran baru-baru ini telah menyebabkan rekolonisasi Megapodius ke daratan Australia dan Papua (Harris et al. 2014).
Kolonisasi dan sejarah penyebaran Macrocephalon maleo
Macrocephalon maleo endemik Sulawesi, tersebar di daratan Sulawesi (kecuali Semenanjung barat daya), Bangka, Lembeh dan Buton. Juga Sangihe (?), Siau dan Tahulandang (sudah punah, mungkin introduksi) (Mallo 2020). Burung ini tidak pernah tersebar di pulau-pulau sekitar Sulawesi, kecuali Bangka, Lembeh dan Buton. Karena Ketiga pulau tersebut pernah menyatu daratan Sulawesi, dan belum lama terpisah, kala Pliosen. Sementara di Pulau Sangihe, Siau dan Tahulandang meragukan.
Menurut Samad et al. (2022) dan Samad (2022) populasi Macrocephalon maleo membentuk kelompok yang sama (spesies ingroup), dan karakter pohon filogenetik bersifat monofiletik.
Terjadinya subtitusi basa nukleotida pada interpopulasi Macrocephalon maleo menghasilkan persentase jarak genetik antara Sulawesi Utara, Tenggara dan Tengah (0,2% - 0,3%.). Nilai ambang batas pembeda antarspesies tersebut rendah (di bawah 3%). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan genetik yang signifikan antara populasi Sulawesi Utara, Tenggara, dan Tengah. Hal ini diduga karena individu-individu dalam populasi tersebut masih berasal dari spesies yang sama, sehingga masih mewarisi gen-gen dari nenek moyang (common ancestor) (Samad 2022).
Dengan demikian berdasarkan informasi genetiknya pada tiga populasi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah) masing-masing haplotipenya berbeda. Dan haplotipe populasi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah berdekatan (menunjukkan berkerabat dekat), dibanding Sulawesi Utara. Dan pada pola yang terbentuk dalam jaringan haplotipe menunjukkan bahwa haplotipe populasi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dominan, dengan demikian kedua kawasan tersebut merupakan pusat utama penyebaran atau asal-usul Macrocephlaon maleo (Samad et al. 2022).
Diduga perbedaan haplotipe ini disebabkan individu dalam setiap populasi yang mengalami isolasi geografis. Populasi yang secara geografis diisolasi dari waktu ke waktu akan memiliki pola genetik yang terpisah. Selain itu, aktivitas geologi Pulau Sulawesi diduga berkorelasi dengan penyebaran populasi. Kejadian ini membentuk isolasi geografis dan isolasi reproduksi (Samad et al. 2022).
Selain itu, hipotesis tentang asal-usul nenek moyang megapoda dan biogeografi Pulau Sulawesi dapat dijadikan landasan untuk mengetahui pusat penyebaran Macrocephalon maleo. Kladogram yang dihasilkan dalam analisis filogenetik dan peta distribusi menunjukkan bahwa megapoda semua terjadi di Australia (Samad 2022).
Berdasarkan hipotesis biogeografi Sulawesi dan sekitarnya Shekelle dan Leksono (2004) dalam Samad (2022) menyatakan bahwa lengan tenggara Pulau Sulawesi (Sulawesi Tenggara) berasal dari daratan Australia. Sulawesi Selatan, Barat, Tengah hingga sebagian wilayah utara Sulawesi berasal dari daratan Asia. Sementara wilayah Sulawesi Utara merupakan daratan yang timbul dari lautan. Berdasarkan hipotesis tentang asal-usul nenek moyang megapodiidae, biogeografi Pulau Sulawesi, topologi pohon filogenetik, dan pola jejaring haplotipe yang ditemukan pada interpopulasi maka diduga bahwa wilayah Sulawesi Tenggara merupakan pusat penyebaran Macrocephalon maleo di Sulawesi, selanjutnya melakukan pemencaran (dispersal) pada berbagai kondisi habitat (Samad 2022).
Hipotesis penulis, bahwa hasil penelitian Samad sesuai dengan Harris et al. (2014) bahwa leluhur Macrocephalon maleo berasal dari Australia, dan juga rekonstruksi geologi daratan Sulawesi menurut Hall (2013) dan Frantz et al. (2018). Pada masa 25 Mya Kepingan Benua Sula (terdiri Kepulauan Banggai-Sula, Pulau Buton/Muna/Kabaena/Wawoni, Kepulauan Wakatobi, Semenanjung Tenggara dan Semenanjung Timur) awalnya merupakan bagian dari Australia/Papua, lalu bergerak kearah barat karena adanya strike-slip faulsts, mendekati Sulawesi Barat (saat ini tengah Sulawesi). Selanjutnya Semenanjung Tenggara menyatu dengan Sulawesi Barat.
Menurut Frantz et al. (2018) bahwa barat daya dan Semenanjung utara (Sulawesi Utara) merupakan bagian Sulawesi terakhir menyatu dengan daratan Sulawesi, pada + 1 Mya. Usia penyatuan ini jauh lebih muda dibanding penyatuan Semenanjung Tenggara dan Sulawesi Barat (dalam rekontruksi peta Hall pada + 10 Mya).
Massa kepingan benua Sulawesi Tenggara jauh lebih luas dari semua kepingan benua lain yang hanyut dari daratan Australia/Papua, sehingga jika leluhur Macrocephalon maleo berasal dari Papua/Australia sangat memungkinkan ikut bersama kepingan benua Sulawesi Tenggara, dan setelah kepingan benua Sulawesi Tenggara menyatu Sulawesi Barat (sekarang Sulawesi Tengah) Macrocephalon maleo mengkoloni daratan Sulawesi Barat/Sulawesi Tengah. Sedangkan Sulawesi Utara belum dikoloni karena daratannya belum terbentuk atau masih dalam bentuk pulau-pulau kecil, saling terpisah, belum menyatu dengan daratan Sulawesi. Dan mungkin kolonisasi ke Sulawesi Utara setelah Sulawesi Utara menyatu dengan daratan Sulawesi, terjadi paling lama + 1 Mya, atau mungkin lebih muda usianya. Karena Macrocephalon maleo tipe burung tidak dapat menyeberang mengkoloni pulau-pulau.
Maka tidak heran haplotipe populasi Sulawesi Tenggara berdekatan dengan Sulawesi Tengah, dan kedua haplotipe tersebut jauh dengan Sulawesi Utara. Karena populasi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah lebih sering berinteraksi karena berdekatan pada area luas, sehingga aliran gen (gene flow) lebih berjalan berkesinambungan. Sedangkan populasi Sulawesi Utara lebih terpencil dari populasi Sulawesi Tenggara/Sulawesi Tengah, sehingga tidak sesesering dua populasi lain saling berinteraksi. Selain itu, wilayah Sulawesi Tenggara merupakan pusat penyebaran Macrocephalon maleo di Sulawesi, selanjutnya melakukan pemencaran (dispersal) ke wilayah lain; ke Sulawesi Tengah, terakhir ke Sulawesi Utara.
Filogeni Megapodius Sulawesi
Di Sulawesi terdapat tiga jenis Megapodius (M. cumingii, M. bernsteini dan M. reinwardt) (Mallo 2020). Menurut pohon filogeni Harris et al. (2014) M. cumingii berkerabat dekat Megapodius tanimberensis, membentuk satu clade. Sedangkan Megapodius bernsteini menjadi basal bagi M. geelvinkianus, M. Reindwardt, M. eremita, M. decollates, M. freycinet dan M. forstenii, membentuk satu clade berbeda dengan M. cumingii dan M. tanimberensis.
Evolusi dan filogeni sarang
Sarang megapoda ada dua bentuk; sarang berbentuk gundukan dan lubang. Macrocephalon maleo dan Eulipoa wallacei murni sarang lubang. Sedangkan Leipoa ocellata, seluruh jenis Alectura, Aepypodius dan Talegalla murni sarang gundukan. Dan bentuk sarang Megapodius selain gundukan juga lubang.
Evolusi sarang megapoda saat ini masih belum dapat dipastikan, apakah sarang leluhur awal berbentuk gundukan atau lubang. Tetapai saat ini konsensus umum berpendapat bahwa sarang gundukan berkembang terlebih dahulu, yang kemudian berevolusi pada Macrocephalon maleo dan Eulipoa wallacei dan Megapodius bersarang dalam lubang.
Menurut Dekker & Brom (1992) jika sarang gundukan ditetapkan sebagai sarang leluhur dalam filogenetik, maka sarang lubang pasti berkembang setelah Megapodius dan Macrocephalon telah bercabang. Karena pada Macrocephalon maleo perilaku membangun sarang gundukan hilang sama sekali.
Setelah sarang lubang dikembangkan kelompok Megapodius-Macrocephalon dan menghasilkan dalam karakter polimorfik untuk garis keturunan ini. Pada genus Megapodius beberapa spesies masih polimorfik dalam perilaku perkembangbiakannya (misalnya M. cumingii dan M. laperouse), juga membangun gundukan (M. pritchardii) atau bersarang di lubang (seperti M. nicobariensis dan M. reinwardt) hilang.
Kesimpulannya, bahkan dalam hipotesis Clark (1964a) dalam Dekker & Brom (1992), kemungkinan besar sarang gundukan mewakili kondisi plesiomorfik di megapoda. Hal ini didukung bukti bahwa dari jumlah kuning telur sarang gundukan versus sarang lubang, jumlah kuning telur sarang gundukan 48 hingga 55% (Aepypodius, Alectura, dan Leipoa), dan sangat banyak pada Macrocephalon yang bersarang lubang (61-64%). Dari perbandingan dengan Galliformes yang tersisa, disimpulkan bahwa banyaknya kuning telur di Megapodius dan Macrocephalon adalah apomorphic dalam famili Megapodiidae. Ini mungkin ditafsirkan sebagai dukungan tambahan untuk hubungan kekerabatan antara Megapodius dan Macrocephalon (Dekker & Brom 1992).
Gambar 3. Foto lubang sarang Macrocephalon maleo di Pesisir Pantai Desa Wosu, Morowali |
Meskipun megapoda paling awal tampaknya telah membesarkan anak yang sangat dewasa sebelum waktunya, megapoda leluhur pasti melahirkan keturunan yang kurang dewasa sebelum waktunya daripada di megapoda yang masih ada sekarang. Kesimpulan yang sama dicapai oleh Clark (1964a) dalam Dekker & Brom (1992). Relatif kandungan kuning telur dalam telur megapoda leluhur seharusnya lebih sedikit daripada di telur megapoda yang masih ada, menyerupai kondisi di galliform lainnya.
Gambar 4. Foto gundukan sarang Megapodius cumingii di hutan dekat pesisir pantai Cagar AlamTangkoko-Dua Sudara |
Banyaknya jumlah kuning telur pada megapoda dapat dianggap sebagai adaptasi terhadap strategi berbiak yang menyimpang. Fakta bahwa telur Macrocephalon maleo dan Megapodius spp. mengandung lebih banyak kuning telur daripada telur megapoda lainnya dapat diartikan sebagai indikasi arah pengembangan strategi berbiak megapode: dari dewasa sebelum waktunya hingga super-dewasa, atau dari kuning telur dalam jumlah banyak hingga jumlah yang lebih banyak, dan dari pembuat sarang gundukan hingga pembuat sarang lubang (Dekker & Brom 1992).
Gambar 5. Foto perbandingan telur Macrocephalon maleo dan ayam kampung (Gallus gallus), prosentase kuning telur Macrocephalon maleo jauh lebih banyak dari ayam kampung |
Oleh karena itu, kedua strategi pembuat sarang lubang menggunakan sumber panas selain dekomposisi mikroba tidak dapat dievaluasi dengan melapiskannya pada pohon filogenetik. Namun, masalahnya dapat dinilai dari arah lain. Sarang lubang di pantai yang terkena sinar matahari juga dapat menerapkan strategi lain, tetapi, gilirannya, pembuat sarang gundukan hanya dapat membuat lubang di pantai asalkan mereka juga terapkan lubang sarang di antara akar yang membusuk dan di tanah vulkanik. Misalnya, di Papua, di mana banyak pantai tropis tersedia untuk sarang lubang potensial, keenam spesies (termasuk dalam tiga genera berbeda) mengerami telurnya di gundukan, dan tidak ada yang menggali lubang di pantai. Macrocephalon maleo sebaliknya menggunakan pantai Sulawesi untuk menetaskan telur. Berbeda dengan megapoda di Papua, Macrocephalon maleo tinggal di hutan bukanlah pembangun gundukan sarang, melainkan pembuat sarang lubang di tanah yang dipanaskan secara vulkanis.
Hal ini mungkin menunjukkan bahwa menggali sarang di pantai hanya dapat diterapkan oleh spesies yang (atau sebelumnya) merupakan sarang lubang di tanah vulkanik. Oleh karena itu, tampaknya bersarang di lubang pantai berasal dari bersarang lubang di tanah vulkanik dan tidak langsung dari sarang gundukan. Kajian strategi berbiak megapoda Polinesia dan Maluku M. pritchardii dan M. wallacei dapat memberikan dukungan lebih lanjut untuk hipotesis ini (Dekker & Brom (1992).
Ucapan terima kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu selama dilakukan pengumpulan data dan pengamatan di lapangan. Diantara Dadang Dwi Putra, yang telah bersama-sama menelusuri hutan Cagar Alam Tangkoko-Dua Sudara mengamati Megapodius cumingii, staf di Cabang Kejaksaaan Negeri Poso di Kolonodale: Ihsan, Bushaeri, Iman dan Ilham telah menemani penulis mengamati dan memotret Macrocephalon maleo di Wosu. Juga Mahdar dan Moh. Ihsan Nur Mallo, telah bersama-sama meneliti dan menulis laporan dan buku Macrocephalon maleo di Desa Wosu dan konservasinya, Bapak Abdul Samad telah memberikan seminar hasil disertasinya melalui Moh. Ihsan Nur Mallo, Mas Esli Kakauhe telah memberikan informasi untuk memastikan foto sarang Megapodius cumingii di Cagar Alam Tangkoko Dua Sudara, serta Bapak Ahmad (pengelola tempat bertelur di Desa Wosu) telah berkenaan mengizinkan penulis mengamati dan memotret Macrocephalon maleo di tempat bertelur Desa Wosu. Tidak kalah penting adik saya Moh. Ihsan Nur Mallo, telah membantu mengedit dan memposting tulisan ini. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.
Daftar Pustaka
Dekker, R.W.RJ. & Brom, T.G. (1992). Megapode phylogeny and the interpretation of incubation strategies. Zoologische Verhandelingen 278.
del Hoyo, J. & Collar, N.J. 2014. Illustrated checklist of the bird of the world, Volume. Non Passerines. Lynx and Birdlife International.
Frantz, L.A.F., Rudzinski, A., Nugraha, A.M.S., Evin, A., Burton, J., Hulme-Beaman, A., Linderholm, A., Barnett, R., Vega. R., Irving-Pease, E.K., Haile, J., Allen, R., Leus, K,. Shephard, J., Hillyer, M., Gillemot, S., van den Hurk, J., Ogle, S., Atofanei, C., Thomas, M.G., Johansson, F., Mustari, A.H., Williams, J., Mohamad, K., Damayanti, C.S., Wiryadi, I.D., Obbles, D., Mona, S., Day, H., Yasin, M., Meker, S., McGuire, J.A., Evans, B.J., von Rintelen, T., Ho, S.Y.W., Searle, J.B., Kitchener, A.C., Macdonald, A.A., Shaw, D.J., Hall, R., Galbusera, P., & Larson, G., (2018). Synchronous diversification of Sulawesi’s iconic artiodactyls driven by recent geological events. Proc. R. Soc. B 285: 20172566. http://dx.doi.org/10.1098/rspb.2017.2566.
Hall, R. (2013). The palaeogeography of Sundaland and Wallacea since the Late Jurassic. J. Limnol., 2013; 72(s2): 1-17
Harris, R.B., Birks, S.M. & Leach, A.D. (2014b). Incubator birds: biogeographical origins and evolution of underground nesting in megapodes (Galliformes: Megapodiidae). Journal of Biogeography (J. Biogeogr.) (2014)
Mallo, F.N. (2020). Data base burung Sulawesi (dalam persiapan). Celebes Bird Club (CBC).
Michaux, B. (2010). Biogeology of Wallacea: geotectonic models, areas of endemism, and natural biogeographical units. Biological Journal of the Linnean Society, 2010, 101, 193–212
Samad, A., Solihin, D.D., Sumantri, C. & Purwanta, B. (2022). DNA barcoding of Macrocephalon maleo originating from Sulawesi, Indonesia. Biodiversitas Volume 23, Number 9, September 2022.
Samad, A. (2022). Filogeografi burung Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) di Sulawesi berdasarkan gen Cytochrome B (Cyt b) DNA Mitrokondria. Bahan Seminar Hasil Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar