Sabtu, 28 Januari 2023

SISTEM KONSERVASI MACROCEPHALON MALEO: KAJIAN KONSERVASI DILAKUKAN BAPAK Hi. SUN DI DESA WOSU, KABUPATEN MOROWALI

Oleh: Fachry Nur Mallo1, Mahdar2 dan Moh. Ihsan Nur Mallo3

Gambar 1.  Macrocephalon maleo sedang mengali sarang di tempat bertelur dibangun Bapak Hi. Sun (Sumber Foto: Mahdar)

A.      PENDAHULUAN

Sekilas tentang penelitian

Tulisan ini dikutib dari laporan hasil penelitian konservasi Macrocephaon maleo di Desa Wosu, Kabupaten Morowali, dilakukan para penulis, merupakan kerjasama Celebes Bird Club (CBC) dan Kelompok Pengamat Burung (KPB) Spilornis-Universitas Tadulako. Penelitian ini dilatarbelakangi karena melihat kondisi kelestarian Macrocephalon maleo di Desa Wosu sangat memprihatikan, karena populasinya menurun tajam. Hal ini membuat para peneliti tersentuh dan terdorong melakukan upaya konservasi burung ini di Desa Wosu. Diputuskan langkah pertama dilakukan adalah mencari faktor-faktor penyebab penurunan populasi dan strategi konservasinya yang tepat. Sehingga out putnya dapat dihasilkan konsep strategi konservasi Macrocephalon maleo di Desa Wosu. Hasil penelitian ini telah disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Morowali, Balai Konservasi Sumber daya Alam Palu dan Morowali, pihak Kehutanan dan pihak terkait konservasi burung ini.

Dari hasil penelitian tersebut ternyata masih ada harapan dapat dilakukan konservasi burung ini, terutama memulihkan populasinya, walaupun hutan primer/sekunder tua menjadi habitatnya telah mengalami fragmentasi dan degradasi, dikonversi menjadi area lahan budidaya, terutama sawit, dan pemukiman. Upaya konservasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sisa-sisa vegetasi yang membentuk koridor di dalam  area lahan budidaya yang  menghubungkan antara tempat bertelur dan hutan tersebut.

Penelitian dilakukan sejak 2 Oktober 2021 s/d 27 Januari 2022 dengan metode observasi langsung di lapangan dan melakukan wawancara semi-struktural kepada semua pihak terkait obyek penelitian.

Tempat bertelur Maleo di Desa Wosu

Di Desa Wosu terdapat dua tempat bertelur Macrocephalon maleo, yaitu: tempat bertelur di pesisir pantai dan lokasi bertelur dibangun Bapak Hi. Sun.

Tempat bertelur di pesisir pantai

Lokasi bertelur ini ditemukan oleh Bapak Tosi dan dikelola sejak tahun 1960 hingga tahun 1970. Saat dikelola Bapak Tosi, saat musim puncak berbiak telur yang dipanen sejumlah 30 butir telur setiap harinya, di luar musim berbiak 4-8 telur setiap harinya. Selanjutnya lokasi bertelur dikelola oleh pemerintah Desa Wosu hingga tahun 2006. Saat dikelola Pemerintah Desa Wosu tercatat sebanyak 15 pasang maleo datang bertelur pada puncak musim berbiak.  

Gambar 2. Foto kondisi vegetasi tepi tempat bertelur di pesisir pantai (Sumber Foto: Mahdar)

Sejak tahun 2007 hingga saat ini dikelola oleh Pak Ahmad bekerja sama dengan pemerintah Desa Wosu dan sejak pengelolaannya dilanjutkan Bapak Ahmad sejak 2007 s/d sekarang jumlah pasangan berbiak datang bertelur 12 pasang pada puncak musim berbiak, sedangkan di luar musim berbiak 3 pasang.

Gambar 3. Kondisi vegetasi tepi di lokasi bertelur di pesisir pantai yang telah dikonversi menjadi lahan budidaya. (Sumber Foto: Fahry Nur Mallo)

Di Sulawesi bagian timur, pesisir pantai Desa Wosu sejak dulu dikenal sebagai tempat bertelur Macrocephalon maleo selain Bakiriang, di Batui, Luwuk.

Lokasi bertelur dibangun Bapak Hi. Sun

Lokasi ini awalnya menjadi tempat bertelur satu pasangan berbiak secara alami. Pasangan berbiak ini menggali lubang pada tanah tandus berwarna kemerah-merahan. Lalu pada tahun 2015 Bapak Hi. Sun pemilik lahan menginisiatif (dengan biaya pribadi) mengangkut pasir dari pesisir pantai ke area tersebut, bertujuan agar pasangan-pasangan berbiak mempunyai area bertelur lebih luas. Dan berhasil dibuat tempat bertelur buatan panjang 72 m, lebar 18 m. Selanjutnya area ini banyak didatangi pasangan berbiak, hingga pasangan berbiak tidak dapat tertampung di area tempat bertelur tersebut. 

Gambar 4.  Tempat bertelur lama dibangun Bapak Hi. Sun di pedalaman (Sumber Foto: Mahdar)

 

Setelah sukses berjalan selama 3 tahun, area tempat bertelur tersebut tidak lagi dikunjungi pasangan-pasangan berbiak, akibat pertumbuhan kelapa sawit yang menyebabkan tajuknya menutupi area tempat bertelur, sehingga permukaan pasir kurang terkena sinar matahari. Karena lokasi bertelur lama tidak berfungsi lagi sehingga bapak Rimba selaku tangan kanan Hi. Sun atas perintah Hi. Sun membuat tempat bertelur baru berjarak 100 meter dari tempat bertelur sebelumnya, berukuran panjang 20 m, lebar 15 m. 

Gambar 5. Tempat bertelur baru dibangun Hi. Sun di pedalaman (Sumber Foto: Mahdar)

Lokasi bertelur ini sampai saat ini masih ramai dikunjungi pasangan-pasangan berbiak. Tercatat saat puncak musim bertelur dikunjungi setiap hari 10 sampai 13 pasangan berbiak. Sebagian pasangan berbiak tidak mendapatkan ruang untuk lubang sarang bertelur.

Gambar 6. Sketsa posisi telur dan kondisi lubang sarang pada satu lubang sarang di tempat bertelur dibangun Hi. Sun


B.  KAJIAN KONSERVASI DILAKUKAN BAPAK Hi. SUN

Tempat bertelur dibangun Bapak Hi. Sun dapat menjadi alternatif solusi bagi kelestarian Macrocephalon maleo di Desa Wosu, karena saat ini tempat bertelur di pesisir pantai tidak dapat diharapkan lagi menjadi tempat bertelur Macrocephalon maleo. Karena saat ini   pasangan-pasangan berbiak berkurang drastis mengunjungi tempat bertelur ini. Hal tersebut disebabkan area bertelur telah terpisah dari habitatnya, akibat hutan asli telah dikonversi menjadi lahan budidaya dan pemukiman, sehingga pasangan-pasangan berbiak hanya memanfaatkan koridor-koridor vegetasi sempit mengunjungi area tempat bertelur.

Akibat konversi lahan, aktivitas pembersihan vegetasi saat ini semakin meluas menyebabkan degradasi vegetasi tepi di area tempat bertelur secara drastis, sehingga area tempat bertelur menjadi terbuka hingga ke jalan raya, dan di tepi  jalan raya sekitar areal tempat bertelur telah dibangun rumah oleh penduduk. Rencananya area tempat bertelur akan dijadikan tempat wisata. Akumulasi dari semua faktor tersebut sehingga tahun ini atau satu hingga dua tahun kedepan diperkirakan tempat bertelur ini tidak akan dikunjungi lagi oleh pasangan-pasangan berbiak.

Pasangan-pasangan berbiak di pesisir pantai diduga akan berpindah ke tempat bertelur dibangun Hi. Sun jika tempat bertelur di pesisir pantai tidak layak lagi digunakan. Dengan demikian tempat bertelur dibangun Bapak Hi. Sun akan menjadi pengganti tempat bertelur di pesisir pantai, dan sangat penting bagi kelestarian Macrocephalon maleo di Desa Wosu dimasa akan datang, dengan pertimbangan:

1. Areal tempat bertelur ini terletak di pedalaman, sehingga relatif sedikit mengalami gangguan dibanding tempat bertelur di pesisir pantai. Walaupun tempat bertelur ini terletak di area perkebunan sawit tetapi masih sering dikunjungi pasangan berbiak, karena jarang dikunjungi manusia dan terdapat koridor vegetasi menghubungkan habitat dan tempat bertelur, yang dapat menjadi pelindung bagi pasang-pasangan berbiak menuju tempat bertelur. Dan masih terdapat vegetasi di sekitar tempat bertelur, yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat monitoring predator dan pengganggu, tempat tidur dan aktifitas lain. 

Gambar 7. Jalur Macrocephalon maleo mendatangi lokasi bertelur. Warna kuning: A dan A1= lokasi bertelur Bapak Ahmad, E= lokasi bertelur di lahan Hi. Sun masih aktif, E1= lokasi bertelur lama/telah ditinggalkan di lahan Hi. Sun, M= lokasi dicadangkan Pemkab Morowali (Konservasi Maleo Senkawor), F,G dan H, hutan dicadangkan Pemkab Morowali untuk habitat Maleo Senkawor

2. Posisinya terletak lebih dekat di habitat utama, sehingga memudahkan pasangan-pasangan berbiak mengunjungi area tempat bertelur ini.

3. Area tempat bertelur ini terletak di lahan milik Bapak Hi. Sun (seorang tokoh masyarakat di Morowali) dan dia telah menugaskan seorang mengelola dan penjaga tempat bertelur, sehingga dengan demikian tempat bertelur ini relatif tidak mengalami gangguan dari manusia.

Gambar 8. Letak posisi lokasi bertelur dan beberapa vegetasi kunci. A: tempat bertelur maleo di pesisir pantai, B: vegetasi tempat beristirahat di tempat bertelur, C: jalan raya, D: vegetasi lintasan tempat bertelur, E dan G: koridor masuk hutan/semak tidak luas dan perkebunan sawit menjadi jalur lintasan pasangan berbiak, F: lokasi bertelur di pedalaman (di lahan Bapak Hi. Sun) dan H: hutan primer/sekunder tua merupakan habitat Maleo Senkawor

Keberhasilan penetasan

Awalnya menjadi tanda tanya penulis bagaimana tingkat keberhasilan penetasan telur di tempat bertelur dibangun Bapak Hi. Sun, mengingat area ini merupakan area buatan, yang mungkin tidak mudah didapatkan suhu ideal menetaskan telur, dan telur diletakkan dalam kondisi tidak normal?. Belum ada penelitian khusus di area tempat bertelur ini terkait hal itu. Namun, penulis menduga suhu ideal telah didapatkan pasangan-pasangan berbiak dalam meletakkan telurnya di tempat bertelur ini, dengan pertimbangan:

1. Karena tempat bertelur lama awalnya ramai dikunjungi pasangan berbiak, tetapi setelah tempat bertelur tersebut areanya ditutupi tajuk sawit yang menyebabkan intensitas cahaya matahari berkurang, sehingga tidak diperoleh lagi suhu ideal menetaskan telur, akibatnya saat ini tidak pernah lagi dikunjungi pasangan berbiak. Hal ini mengindikasikan pasangan-pasangan berbiak meletakkan telur sesuai suhu dibutuhkan agar dapat menetas, karena jika tidak maka pasangan-pasangan berbiak akan tetap meletakkan telurnya di tempat bertelur lama. Sebaiknya penelitian mengenai hal ini dapat dilakukan.

2. Bapak Rimba pengelola tempat bertelur sering melihat anak Macrocephalaon maleo baru keluar dari sarang timbunan pasir, atau berkeliaran sekitar tempat bertelur. Hal tersebut menandakan bahwa suhu tanah di lokasi tersebut mampu menetaskan telur maleo.

b. Pengelolaan masa akan datang

Saat ini tempat bertelur dibangun Bapak Hi. Sun satu-satunya tempat bertelur diharapkan dapat melestarikan Macrocephalon maleo di Desa Wosu. Untuk itu tempat bertelur ini sebaiknya ditingkatkan kapasitas areanya, dan manajemen pengelolaannya agar dapat maksimal berfungsi melestarikan Macrocephalaon maleo. Secara umum ada tiga faktor yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan hal itu, yaitu:

1. Menambah luas area tempat bertelur. 

Dari pengamatan dilakukan, beberapa pasangan berbiak meninggalkan area tempat bertelur karena tidak mendapatkan ruang untuk lubang sarang. Dengan demikian agar tempat bertelur ini dapat menampung lebih banyak pasangan berbiak maka sebaiknya areanya perluas, dengan menambah volume timbunan pasir. Hal dapat dilakukan karena area kosong di sekitarnya masih cukup luas, area tersebut tidak ditanami sawit karena tanahnya tandus dan kurang unsur hara.

Gambar 9. Letak posisi tempat bertelur lama/E1 (B) dan koridor vegetasi tempat istirahat/bermalam sebelum ke areal bertelur (C dan D) dari lokasi bertelur baru (A) di lahan Hi. Sun

2. Menanami pohon di tepi tempat bertelur, agar pasangan berbiak mempunyai tempat untuk memonitoring predator dan pengganggu lain, tempat tidur dan aktifitas lain sebelum dan sesudah bertelur, dan sebagai sumber makanan.  

    Vegetasi di tepi tempat bertelur sangat vital dibutuhkan bagi pasangan-pasangan berbiak. Saat ini vegetasi tersebut berjarak cukup jauh dari area bertelur; pada bagian utara (areal M) berjarak 50 m, bagian barat (sekitar areal D) berjarak 190 m, bagian tenggara berjarak 230 m, tetapi dibagian tenggara berjarak 20 m terdapat vegetasi semak pendek bercampur tanaman budidaya. Mungkin juga pasangan-pasangan memanfaatkan vegetasi ini. Selain itu, juga penting ditanam tumbuhan sumber makanan Macrocephalon maleo, terutama Aleurites moluccana, merupakan makanan favorit burung ini saat berbiak, dan tanaman potensial lain seperti Canarium spp.

3. dilakukan penetasan dengan hatchery (bak penetasan semi alami), bertujuan penyelamatan telur-telur Macrocephalon maleo dari pemangsaan predator alami dan pencurian oleh manusia, karena terbukti di tempat lain sistem ini dapat meningkatkan populasi burung ini.

c. Konservasi Bapak Hi Sun dapat menjadi solusi konservasi di tempat lain

Salah satu permasalahan terbesar pada tempat bertelur Macrocephalon maleo, terutama di pesisir pantai di seluruh Sulawesi adalah terputusnya area tempat bertelur dan hutan sebagai habitat utama, karena hutan tersebut telah dikonversi menjadi lahan budidaya, pemukiman dan pembangunan jalan raya.

Keberhasilan tempat bertelur dibangun bapak Hi. Sun mengganti tempat bertelur di pesisir pantai dapat menjadi contoh solusi bagi tempat-tempat bertelur lain yang mengalami permasalahan yang sama, dengan membuat area tempat bertelur buatan mendekati atau di tepi hutan habitat utama di pedalaman. Walaupun demikian, sebaiknya penelitian terhadap hal ini perlu dilakukan, agar lebih efektif diterapkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Keberhasilan penelitian ini sudah pasti yang utama tidak terlepas dari keberkahan Allah SWT. dicurahkan kepada para peneliti. Selanjutnya juga karena atas peran orang-orang membantu selama di lapangan, terutama Bapak Hi. Sun, Bapak Hi. Ahmad Ali dan Bapak Rimba telah membangun tempat bertelur buatan Macrocephalon maleo, dan telah memberi akses penulis memasuki tempat bertelur tersebut, bahkan bapak Rimba telah mengantarkan penulis ke tempat bertelur dan memberikan banyak data tentang Macrocephalon maleo di Desa Wosu. Juga bapak Kepala Desa Wosu, dan pengurus Karang Taruna Desa Wosu, Bapak Ahmad (pengelola tempat bertelur di pesisir pantai) yang telah mengizinkan tim memasuki tempat bertelur di pesisir pantai, dan telah menemani penulis dalam beberapa kali kunjungan, dan juga telah memberikan banyak data tentang Macrocephalon maleo di Desa Wosu. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu selama melakukan kegiatan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Mallo, N.M., Mahdar & Mallo, M.I. (2021). Laporan Penelitian Konservasi Macrocephalon maleo di Wosu, Kabupaten Morowali. Celebes Bird Club (CBC dan Kelompok Pengamat Burung (KPB) Spilornis-Universitas Tadulako.

Mallo, N.M., Mahdar & Mallo, M.I. (2021) Macrocephalon maleo di Wosu dan Konservasinya. Celebes Bird Club (CBC dan Kelompok Pengamat Burung (KPB) Spilornis-Universitas Tadulako. Dalam persiapan.

 Penulis

1  Anggota Celebes Bird Club (CBC)

2  Anggota Kelompok Pengamat Burung (KPB) Spilornis

3  Anggota Kelompok Pengamat Burung (KPB) Spilornis/Dosen Konservasi Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako-Palu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar